Taba Iskandar Tegaskan Izin PT MEG Tahun 2004 Tak Sama dengan Izin Sekarang
Oleh : Saibansah
Selasa | 12-09-2023 | 18:44 WIB
TABA_PERDA_KWTE1.jpg
Anggota DPRD Provinsi Kepri Taba Iskandar (kanan) dan Wahyu Wahyudin mengundang sejumlah wartawan untuk ngopi di Kedai Kopi Atoek Batam Center, Senin (11/9/2023). (Foto: Saibansah/BTD)

BATAMTODAY.COM, Batam - Rencana relokasi 10 ribu warga Melayu di 16 kampung tua di Pulau Rempang dan Galang masih menyisakan banyak masalah. Bahkan, belum tampak titik temu atas penolakan warga yang akan 'dihijrahkan' demi memberi laluan investasi PT MEG (Makmur Elok Graha), anak perusahaan Artha Graha milik konglomerat Tomy Winata.

Sebelumnya, beredar kabar bahwa Wali Kota Batam ex-officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, H. Muhammad Rudi bahwa dirinya hanyalah melanjutkan saja dari perjanjian antara PT MEG dengan Pemerintah Kota Batam dan Badan Otorita Batam (BOB) pada tahun 2004 lalu.

Hal itu disampaikan Rudi saat menemui masyarakat Melayu yang demo di depan Kantor BP Batam, Rabu (23/8/2023).

Setelah mendengarkan tuntutan massa pendemo, Rudi --yang didampingi Ketua DPRD Kota Batam Nuryanto, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Batam Herlina Setyorini dan Direktur Humas dan Promosi BP Batam Ariastuty Sirait-- menjelaskan, perjanjian antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) sidaj ada sejak tahun 2004 lalu.

"Perjanjian ini sudah dimulai sejak 2004. Di tahun 2004, telah ada nota kesepahaman (MoU) antara BP Batam dan PT MEG. Hari ini, perjanjian ini ditegaskan kepada kita bahwa mereka akan melanjutkan investasi. Ini artinya saya melanjutkan apa yang disepakati pada tahun 2004," kata Rudi.

PT MEG juga meminta agar perjanjian tersebut diteruskan oleh BP Batam. Rudi mengakui bahwa dirinya juga telah dipanggil ke Jakarta terkait Rempang Eco-City. "Saya dipanggil ke pusat, hal ini menunjukkan bahwa ini adalah kebijakan dari tingkat pusat hingga daerah," tambahnya.

Rudi menjelaskan bahwa dirinya telah beberapa kali dipanggil oleh Menko Perekonomian, Menko Marves, BKPM, dan Menkopolhukam. Para warga terdampak juga meminta Rudi untuk turut memperjuangkan hak-hak masyarakat Melayu di Pulau Rempang dan Pulau Galang.

"Tidak berarti tidak memperjuangkan. Kami memperjuangkan, tetapi kewenangan kami terbatas. Karena kami di daerah, kami adalah perpanjangan tangan dari pusat dan kami harus bertindak sesuai itu. Namun, tentu saja, kami tidak ingin menyulitkan bapak dan ibu sekalian," lanjut Rudi.

Menanggapi pernyataan Rudi kepada masyarakat Melayu tersebut, Anggota DPRD Provinsi Kepri Taba Iskandar dan Wahyu Wahyudin mengundang sejumlah wartawan untuk ngopi di Kedai Kopi Atoek Batam Center, Senin (11/9/2023).

Dalam pertemuan itu, Taba --yang pada tahun 2004 lalu menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Batam-- memberikan klarifikasi dan meluruskan penjelasan Rudi tersebut. "Saya perlu mengklarifikasi, karena belakangan ini viral ya di masyarakat, bahwa proyek PT MEG ini sudah dimulai sejak 2004 lalu. Ini tidak sama, sama sekali berbeda," tegas Taba Iskandar.

Ketua Badan Kehormatan DPRD Provinsi Kepri itu menambahkan, saya menjabat Ketua DPRD Kota Batam 2000-2004 bersama dengan Pak Suryo Respationo, Pak Muhammad Nabil, Pak Ahar Sulaiman dan Walikota Batam saat itu H. Nyat Kadir. Jadi, izin PT MEG saat itu tidak sama dengan izin yang dikantongi PT MEG sekarang ini.

"Ini kan seolah-olah sama, karena ini kan hanya meneruskan. Padahal berbeda. Silahkan dibuka datanya. Tahun 2003 lalu, dilakukanlah kerjasama MoU antara Badan Otorita Batam (BOB) dan Pemko Batam dengan PT MEG itu. DPRD Kota Batam memberi rekomendasi," ungkap Anggota DPRD Kepri dari daerah pemilihan Kota Batam itu.

"Apa isi rekomendasi itu?. Isi rekomendasi DPRD Batam itu adalah, agar dapat dibukanya investasi di Pulau Rempang dengan landasan Perda Pariwisata atau yang lebih populer dengan Perda KWTE (Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif), dalam rangka memindahkan segala aktivitas dunia hiburan malam di Batam ke Pulau Rempang.

"Rempang saja ya, tidak Rempang-Galang. Rempang-nya pun Rempang pulau yang terpisah dari daratnya," tegas Taba Iskandar.

Politisi Partai Golkar itu melanjutkan, semua pihak harus ingat baik-baik, tahun 2004, status lahan itu HPL-nya belum ke BOB atau BP Batam. Tidak juga ke Pemko Batam. Makanya, Pemko Batam mengklaim ini kewenangan pemerintah pusat, bukan wilayah kerja BOB. Makanya BOB saat itu tidak bisa memberikan HPL. Begitu juga dengan Pemko Batam, belum mendapatkan kewenangan dari negara. Maka munculah istilah status quo.

Barulah sekarang Presiden Jokowi mencabut status quo dari Jembatan 1 sampai Pulau Galang. Artinya apa? Tidak boleh BP Batam atau pun Pemko Batam mengalokasikan lahannya lagi. Sekarang kewenangannya ada pada negara dalam hal ini pemerintah pusat. Terus, bagaiamana dengan status Perda KWTE tadi dan Rekomendasi DPRD Kota Batam untuk PT MEG? Jawabnya: Batal!

"Rekomendasi DPRD Kota Batam tidak berlanjut, karena Kapolri saat itu melarang perjudian. Karena dia beranggapan bahwa KWTE itu akan dibuat judi. Karena memang KWTE Rempang itu akan membangun proyek judi seperti Sentosa di Singapura. Saat itu, judi di Sentosa Singapura belum ada. Jadi, judi di Sentosa itu berhasil dibangun karena batalnya KWTE di Pulau Rempang itu," ungkap Taba Iskandar.

Maka Perda KWTE atau perda pariwisata tersebut menjadi tidak berlaku lalu. Selesailah nasib MoU atau kerjasama antara Pemko Batam, BOB dan PT MEG tidak berlaku lagi.

"Kalau sekarang yang masuk PT MEG, itu betul PT MEG yang dulu. Jadi dia ingin melanjutkan investasinya, dia ini masuknya lewat mana? Melalui pemerintah pusat!" tegas mantan Ketua DPRD Kota Batam itu mengakhiri.

Editor: Dardani