Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pola Penyebaran Radikalisme Baru
Oleh : Redaksi
Kamis | 01-06-2017 | 09:02 WIB
radikalisme2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Radikalisme. (Foto: Kompasiana)

 

Oleh Ahmad Sobari

BERBICARA mengenai pola persebaran radikal, radikalisasi bukan merupakan sebuah proses yang berlangsung dengan instan maupun sederhana.

 

Tentunya hal tersebut bersifat kompleks dan konkrit yangmana membutuhkan sebuah tahapan kecil yang dimulai dari pengenalan, identifikasi diri, indoktrinisasi, masuknya paham radikal hingga memunculkan sebuah tindakan yang mengarah ke perilaku teror.

Seperti apa yang diketahui umum, radikalisasi merupakan proses adopsi seseorang terhadap paham dan keyakinan yang bersifat ekstrim sehingga mendorong lahirnya sebuah tindak dan perilaku kekerasan guna mencapai tujuan yang diidamkan.

Dalam hal ini, radikalisasi dipahami sebagai bentuk bentuk pemikiran seseorang yang terbuka terhadap dalam mengadaptasi sebuah pengetahuan ataupun ajaran tertentu. Namun demikian, untuk menuju pada tindak perilaku yang bersifat ekstrim, seorang objek tentunya akan melewati sebuah fase atau tahapan, sehingga dapat dikatakan bahwa penentuan hal tersebut sangat bergantung pada subjektifitas masing-masing objek.

Dahulu, sebelum maraknya teknologi, globalisasi serta modernisasi yang semakin meraja rela, sebuah instrumen radikalisme dapat dengan mudah diidentifikasi melalui berbagai tempat mulai dari rumah ibadah, pendidikan, bahkan tempat tinggal/rumah sekalipun. Hal ini sering kali terjadi ketika pertemuan seorang individu terhadap tokoh karismatik yang dapat membuka kesadaran baru.

Disisi lain, hadirnya media sosial seakan membuka ruang tertutup menjadi terbuka. Hadirnya beberapa situs radikal dan ekstrim acapkali mempengaruhi pola pikir masyarakat banyak lantaran kemudahan seseorang dalam bertransaksi menggunakan internet. Karena itulah, media sosial acapkali digunakan oleh kelompok radikal dan ekstrim tidak hanya menghadiri proaganda baru. Tetapi jauh dari itu adalah pola dan bentuk radikalisme baru perlu untuk diwaspadai.

Radikalisme di Meja Sekolah

Pada fase ini, perkembangan bibit radikalisme acapkali sangat masif dan mudah terbangun. Faktor emosi dan labilnya pemikiran anak-anak yang masih berada di kursi sekolah, tak ayal dimanfaatkan oleh segenap kelompok radikal untuk diceoki dengan pemikiran dan paham-paham yang berbau ekstrimis.

Terlebih apabila disandingkan dengan eksistensi media sosial, dimana hampir sebagian besar remaja Indonesia saat ini, telah memiliki smartphone, gadget dan lain sebagainya, yangmana secara tidak langsung media tersebut acapkali digunakan sebagai media propaganda hingga rekrutmen kelompok umur sekolahan.

Hal tersebut secara nyata dan ril dapat dilihat ketika banyak sekali jumlah kelompok umum sekolah remaja yang bergabung dengan kelompok ISIS di Suriah, akibat dari pengaruh hubungan satu dengan yang lain, hingga persebaran paham melalui media sosial.

Di Filipina, terdapat salah seorang professor yang bernama Rommel Banlaoi yang sempat meneliti fenomena kelompok terorisme di Filipina, yang mana hasilnya secara tegas menjelaskan bahwa anak muda yang tergabung dalam jaringan terorisme acapkali memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, buta huruf, miskin, hingga pengangguran sekalipun. Terlebih dengan hadirnya media sosial yang semakin kesini semakin dekat dengan kehidupan masyarakat, tak ayal hal tersebut menjadi suatu pola baru radikalisasi dalam menggaet anggota kelompok di kalngan terdidik.

Berbagai macam bentuk media online maupun media sosial merupakan salah satu bentuk ruang publik baru yang terbuka dan bebas bagi semua orang.

Apabila disandingkan dengan pola rekrutmen kelompok radikal terdahulu yang cenderung mengutamakan hubungan kedekatan satu dengan yang lain, saat ini pola tersebut pelan namun pasti mulai tergantikan dengan meninggalkan prantara pihak ketiga dan mulai memanfaatkan prantara media sosial maupun online.

Karena dewasa ini, proses seseorang untuk berubah menjadi pribadi yang radikal dan ekstrimis dapat saja terjadai baik dikursi sekolah, kelompok belajar, di rumah, dan lain sebagainya, ketika seorang subjek membuka konten radikal melalui gadget ataupun alat komunikasi yang dimiliki.

Oleh karenanya, kedua metode persebaran paham radikal baik melalui metode konvensional maupun metode media sosial, keduanya tetap saja harus diperhatikan dan diantisipasi. Hadirnya internet dalam kehidupan anak muda saat ini acapkali menjadi sangat efektif bagi kelompok teroris dalam menyebarkan paham dan ajaran yang mereka miliki.

Sehingga upaya kontra terorisme di dunia maya dalam konteks ini salah satunya harus diarahkan untuk membentengi generasi muda Indonesia dari pengaruh paham radikal dan ekstrimis yang dewasa ini semakin masif tersebar, serta sikap dan pola perilaku yang cerdas dalam menyaring, memilah, dan memilih informasi yang bersebaran di dunia maya.*

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia