Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Makna Hari Kebangkitan Nasional
Oleh : Redaksi
Rabu | 31-05-2017 | 08:50 WIB
hari-kebangkitan-nasional.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Hari Kebangkitan Nasional. (Foto: Ist)

Oleh Ardian Wiwaha

TANGGAL 20 Mei 2017, merupakan hari kebesaran sekaligus tanda dari perjuangan dan kebangkitan bangsa Indonesia. Tepat pada awal abad ke-20 silam, di mana kala itu masyarakat Indonesia secara umum sedang dijajah oleh bangsa lain, tanggal tersebut merupakan titik dimana kobaran api semangat kemerdekaan indonesia mulai terlihat ada.

 

Kebangakitan Nasional Indonesia merupakan periode di mana perlahan namun pasti, semangat dan kesadaran perjuangan bangsa Indonesia untuk maju dan melepaskan dari genggaman tali kolonialisme barat. Masa kebangkitan tersebut ditandai dengan dua peristiwa penting yakni berdirinya perkumpulan yang dikenal dengan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 dan ikrar Sumpah Pemuda yang jauth tepat pada 28 Oktober 1928.

Kebangkitan pergerakan nasional Indonesia pada dasarnya bukan berawal dari berdirinya Boedi Oetomo. Namun demikian, sejarah mencatatkan bahwa pendirian Sarekat Dagang Islam pada sekitaran tahun 1905 di Pasar Laweyan, Solo lah yang merupakan titik awal pembakar semangat terhadap kebangkitan pergerakan nasional Indonesia. Pendirian sarekat dagang tersebut, beridiri dan dinisiasi untuk menandingi dominasi pedagang Cina, serta kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam pada awal tahun 1906.

Suwardi Suryaningrat yang saat itu tergabung dalam Komite Boemi Poetera, menuliskan sebuah tulisan yang berjudul “Als ik eend Nederlander was” atau yang dikenal dengan “Seandainya aku seorang Belanda”, pada tanggal 20 Juli 1913 merupakan salah satu bentuk protes keras terhadap rencana pemerintah Hindia Belanda yang merayakan 100 tahun kemerdekaa Belanda di Hindia Belanda atau Indonesia saat ini.

Sehingga karena tulisan tersebut, dua tokoh nasional yakni Dr. Tjipto Mangukusumo dan Suwardi Suryaningrat direncanakan akan dihukum dan diasingkan ke daerah Banda dan Bangka. Namun hal tersebut mendapat penolakan dari keduanya dan memilih untuk dibuang dan diasingkan ke Negeri Belanda. Disana Suwardi justru belajar ilmu pendidikan sedangkan Dr. Tjipto dikembalikan ke Hindia Belanda lantaran sakit kerasan yang dialaminya kala itu.

Latar belakang penetapan hari Kebangkitan Nasional Indonesia merupakan hasil dari inisiasi Bung Karno yang kala itu menilai bahwa tanggal kelahiran Budi Utomo merupakan waktu yang tepat untuk dijadikan simbol kebangkitan bangsa Indonesia menghadapi para penjajah.

Berawal dari tahun 1948, dimana dinamika sosial politik di Indonesia kala itu mengalami kegoncangan yang sangat menyulitkan. Belanda yang memboncengi sekutu dan sempat melancarkan agresi militer pertama diawal tahun 1947 menjadi “momok” kehidupan bangsa Indonesia yang sedang dalam tahapan menata dan menyusun kemajuan politik ekonomi.

Diakhir Desember 1947, perjanjian di atas kapal USS Renville dilangsungkan dalam rangka pembahasan batasan wilayah Indonesia dan Belanda. Akibat perjanjian tersebut, wilayah Indonesia yang semula merupakan seluruh daerah jajahan Belanda mulai dari Sabang hingga Marauke berubah hanya sebatas sebagian Pulau Jawa dan Sumatera.

Tak dapat dipungkiri berbagai macam perubahan dan pergolakan pun lahir kala masa itu, Ibu Kota Pemerintahan yang semula dari Jayakarta (Jakarta) dipindahkan ke daerah Yogyakarta, munculnya kelompok oposisi pemerintah Front Demokrasi Rakyat berhaluan kiri yang digawangi Amir Sjarifuddin, dan kondisi krisis ekonomi akibat minimnya pasokan beras. Untuk itu, Bung Karno berinisiatif melahirkan sebuah simbol perjuangan sekaligus momentum mempersatukan bangsa untuk menghadapi ujian-ujian tersebut.

Mari, ditengah badai topan menerpa kehidupan bangsa Indonesia saat ini, kesenjangan ekonomi menggelora dipenjuru negeri, perebutan kursi politik tanpa moral mulai menggeliat, degradasi moral dan budaya terjadi diseluruh aspek, terlebih dengan suara-suara pengadu domba Suku, Ras, Agama, dan Golongan yang kian menguat. Tak dapat dipungkiri apabila semangat nasionalisme merupakan hal terpenting yang menjadi titik untuk menghapuskan hal-hal tersebut.

Mari memaknai arti persaudaraan, persatuan, dan toleransi dengan serius, bukan dengan kemewahan terlebih lagi dengan diskriminasi. Melihat bangsa dan negara lain mulai maju dengan karakternya masing-masing, tegakah kita bersifat egois tatkala semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik lagi hanya diisi oleh orang-orang yang peduli terhadap bangsa, bukan semua orang yang menjadi penduduk di negeri ini.

Tak sulit mengencangkan ikat pinggang untuk memajukan segenap tumpah darah bangsa Indonesia, Berbanggalah dengan budayamu, tingkatkan semangat toleransimu, jadilah orang yang berguna dengan terus tetap memegang api semangat persatuan dan kesatuan dalam bingkai dwi warna Pancasila. *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia