Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gotong Royong Dalam Tekanan Rezim Global
Oleh : Salamuddin Daeng, Institute For Global Justice
Senin | 07-02-2011 | 17:56 WIB

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu Gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong !”

Demikian pidato Bung Karno tentang dasar negara bagi Indonesia merdeka, yang disampaikan dalam sidang Panitia Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.

Saat itu, untuk pertamakalinya istilah pancasila sebagai dasar negara diperdengarkan. Kelima isi dari sila tersebut adalah 1) kebangsaan Indonesia, 2) internasionalisme atau perikemanusiaan, 3) mufakat atau demokrasi, 4) kesejahteraan sosial dan 5) ke-Tuhan-an yang Maha Esa.

Bung Karno mengatakan bahwa sila Kebangsaan dan Internasionalisme dapat digabungkan menjadi sosio-nasionalisme, sila Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial dapat pula digabungkan menjadi sosio-demokrasi. Sehingga ketiga sila yakni sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan yang Maha Esa jika disaripatikan maka menjadi gotong royong.

Sebagai sebuah dasar negara gotong royong merupakan konsepsi ekonomi politik yang berbeda dengan kapitalisme liberalisme dan turunannya. Secara politik gotong royong berarti musyawarah mufakat, secara ekonomi berarti kerjasama (cooperataion) dalam praktek kehidupan sosial dijalankan secara kekeluargaan. Prinsip tersebut merupakan antitesa terhadap mekanisme suara terbanyak dalam demokrasi liberal, persaingan dalam ekonomi pasar bebas dan individualisme dalam hubungan sosial masyarakat.  

Dalam era globalisasi sekarang ini, gotong royong roh dari Pancasila tersebut, tampaknya telah jauh bergeser jauh. Dalam praktek penyelenggaraan ekonomi, semangat gotong royong telah digantikan dengan persaingan bebas. Sebuah norma ekonomi yang datang dari pemikiran dunia barat yang didasarkan pada nilai-nilai liberalisme.

Lebih jauh lagi, tata cara persaingan bebas telah masuk ke dalam konstitusi Indonesia melalui neoliberalisme. Sebuah sistem ekonomi politik yang menghendaki hilangnya peran negara dalam perekonomian untuk digantikan dengan sektor swasta. Sejak era reformasi dan seiring dengan meningkatnya pengaruh neoliberalisme di Indonesia, berbagai UU yang dibuat oleh pemerintah mengadopsi secara membabi buta aturan-aturan global yang neoliberal.

Padahal aturan global tersebut merupakan program ekonomi politik perusahaan transnasional/ multinasional dalam rangka melakukan ekspansi dan eksploitasi ekonomi di seluruh penjuru dunia. Syarat bagi suksesnya program perusahaan raksasa tesebut adalah jika fungsi negara dilenyapkan dalam lapangan ekonomi, termasuk juga fungsi politiknya dalam melindungi rakyat.

Saat ini berbagai aturan global terus menyerbu bangsa Indonesia. Kesepakatan dalam perundingan World Trade Organization (WTO) masuk dalam UU Indonesia secara halus. Lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti IMF, World Bank, Asian Development Bank (ADB),  dan negara maju memberikan utang kepada Indonesia dalam rangka membuat UU yang mendukung kepentingan modal mereka.

Semua rencana rezim global tersebut diamini oleh elite politik Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pemerintahan yang sangat loyal terhadap idiologi globalisasi pasar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia,  preambule WTO sebagai dijadikan landasan sebuah produk perundang-undangan. Dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang  Penanaman Modal (UUPM) yang menetapkan azas national treatment dan most favoured nation (MFN) sebagai dasar pijakannya. UU tersebut memberikan perlakuan yang sama kepada warga negara asing,  modal asing dengan penduduk Indonesia dan modal dalam negeri. Inilah yang menyebabkan kedudukan modal asing menjadi semakin dominan atas negara dan rakyat.

Aturan global juga merangsak masuk melalui Free Trade Agreeent (FTA). Aturan-aturan perdagangan bebas yang berdampak mematikan bagi industri dan ekonomi nasional diadopsi menjadi hukum positip. ASEAN Charter ditandatangani dan diratifikasi parlemen sebagai dasar bagi Free Trade Area ASEAN (AFTA) dan sebagai dasar bagi FTA antara ASEAN China, India, Korea, Jepang, EU dan AS. Persaingan dan  kompetisi  yang menjadi dasar penyelenggaraan FTA  yang semakin menekan ekonomi nasional.

Persaingan menyebabkan peran negara digantikan oleh kapitalis asing, peran kelompok masyarakat/koperasi rakyat digantikan oleh perusahaan swasta. Korporasi besar dari luar negeri menguasai sebagian besar tanah dan lahan. Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara  besar-besaran dan megirimkan kekayaan alam ke negeri-negeri maju. Praktek semacam itu menghasilkan keuntungan yang semakin besar bagi korporasi dan negara maju akan tetapi semakin memiskinkan rakyat dan negara Indonesia.

Dalam arena kompetisi global, Indonesia tidak lebih dari kesatuan wilayah dimana di dalamnya ada kekayaan alam yang dapat dikeruk dan ada manusia yang dapat dibayar atau diupah dengan sangat murah.  Jadilah Indonesia sebagai sebuah koloni dari imperialisme yang sifat, karakter  dan bentuknya tidak berbeda dengan situasi sepanjang 350 tahun dibawah kekuasaan Kolonialisme Eropa dan Belanda.

Untuk mendorong persaingan sebagai jalan hidup bangsa Indonesia, maka dipaksakanlah demokrasi  liberal dalam seluruh proses politik negara. Musyawarah mufakat telah digantikan dengan suara terbanyak (voting), sebuah cara mencapai consensus yang tidak perduli benar atau salah, baik atau buruk, positif atau negatif. Yang kuat akan tampil sebagai pemenang dan yang lemah, tidak peduli  dia benar akan terkalahkan. Dalam alam liberalisasi politik, bahkan uang telah menjadi penentu dalam seluruh proses politik dan sirkulasi kekuasaan.

Penyimpangan terhadap idiologi gotong royong mengakibatkan bangsa ini kehilangan kesempatan menciptakan keadilan sosial bagi rakyatnya. Hukum dan aturan bernegara diabdikan pada segelintir pemilik modal dan pemegang kekuasaan. Negara tidak lagi memberikan perlindungan sosial (social protection) dan jaminan sosial lainnya bagi rakyat.

Penyelenggaran program Jaminan sosial dan perlindungan sosial diserahkan kepada perusahaan swasta dan  perusahaan asuransi yang notabene berorientasi pada profit.  Perlindungan sosial yang seharusnya berbentuk penguatan institusi ekonomi rakyat seperti koperasi dan wadah-wadah sejenis, digantikan dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan beras miskin (raskin). Jaminan pendidikan dan kesejatan gratis bagi rakyat digantikan dengan penjualan jasa, siapa yang mampu membayar, dia lah yang berhak mendapatkan pendidikan dan kesehatan.

Ditengah persaingan global yang saling mematikan, bangsa Indonesia semakin terjebak dalam krisis. Segelintir orang menikmati sebagian besar kekayaan negara, mereka adalah perusahaan asing dan kekuatan tua (establish) yang menjadi kolaboratornya.  Sementara  jutaan rakyat terperangkap dalam kemiskinan, pemuda menganggur, anak-anak miskin tidak bisa sekolah, orang-orang miskin tidak dapat membiayai kesehatan, petani tidak punya tanah, rakyat miskin di kota tergusur, anak-anak jalanan ditangkap karena dianggap mengganggu pemandangan dan ketertiban.

Maka terjadilah dua lapisan penindasan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yaitu ; pertama, penidasan kapitalisme asing atas negara dan rakyat, dan kedua, penindasan pemerintahan negara terhadap rakyatnya sendiri untuk membiayai jalannya kekuasaan. Itulah yang disebut oleh Soekarno sebagai exploitation de l’homme par l’homme atau penghisapan manusia atas manusia.

Jalan keluar segala bentuk penindasan adalah dengan kembali pada falsafah/ dasar negara. Gotong royong merupakan cara yang paling ampuh dalam menghadapi kapitalisme neokolonialisme yang merupakan sebab utama dari penindasan. Secara lebih khusus, strategi ini sangat relevan melawan penindasan yang lebih dalam dari kapitalisme yang sedang krisis.

Hal yang paling utama adalah gotong royong menjadi jembatan untuk mewujudkan kelima sila pancasila dalam kehidupan berbangsa, beregara dan eksistensi dalam pergaulan internasional. 

Sebagaimana kata Bung Karno  dalam pidatonya tentang Pancasila 1 Juni 1945“…dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi…itulah jalan untuk meraih keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.