Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Narkotika, Konglomerat dan Penegakan Hukumnya
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 24-08-2018 | 09:52 WIB
anang-iskandar.jpg Honda-Batam
DR. Anang Iskandar, SIK, SH, MH.

Oleh DR. Anang Iskandar, SIK, SH, MH.

Ribuan penyalahguna narkotika ketika ditangkap karena kedapatan membawa, memiliki, menguasai narkotika dalam jumlah tertentu (sedikit) untuk dikonsumsi sendiri, salah satunya adalah Richard Mulyadi, cucu konglomerat, yang beberapa hari lalu tertangkap secara kebetulan oleh Kombes Pol Herry di restoran Mal Pasific Place Jakarta dan menyerahkan penanganannya ke Polda Metrojaya.

Terhadap perkara narkotika yang menjerat Richard dan perkara penyalah guna lainnya berdasarkan UU wajib bagi penyidik, penuntut umum dan hakim untuk penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif. Terhadap pemasok atau pensupply kebutuhan Richard, penyidik wajib mencari dan menemukan siapa pengedarnya, jaksa menuntut dan hakim menghukum dengan tindakan bersifat represif agar berefek jera.

Terhadap perkara Richard dengan barang bukti dengan jumlah gramasi sedikit, dan hasil pemeriksaan bahwa dia membawa narkotika untuk dikonsumsi sendiri, serta secara laboratorium telah diperiksa bahwa bener menunjukan tanda sebagai penyalah guna narkotika, maka langkah penting penyidik adalah memastikan Richard terlibat sebagai pengedar atau tidak.

Kalau tidak terlibat sebagai pengedar, jelas Richard sebagai penyalah guna yang secara yuridis penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif yaitu ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi sesuai amanat UU Narkotika.

Dengan tindakan rehabilitatif, penyidik punya informan berharga, dengan menggali keterangan sang informan maka penyidik memiliki peta informasi untuk menemukan siapa pengedarnya. Tidak menutup kemungkinan dengan tindakan yang bersifat rehabilitatif dengan cara melindungi menyelamatkan melalui upaya merehabilitasi tersangka Richard dengan demikian bisa menjadi penyebab (whistle blower) terkuaknya jaringan peredaran gelap narkotika khususnya kokain di Indonesia.

Penyidikan kasus ini harus diawasi secara benar, karena tersangkanya adalah cucu konglomerat yang menjadi sorotan masyarakat. Berdasarkan UU Narkotika pasal 4, maka tersangka seperti Richard dijamin untuk mendapatkan rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial serta mendapatkan perlindungan dan penyelamatan dari dampak buruk penggunaan narkotika.

Dalam PP 25/2011 pasal 13, penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan untuk menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya. Oleh karena itu penyidik dan penegak hukum lainnya berkewajiban melakukan upara rehabilitasi bagi tersangka Richard.

Secara khusus terhadap perkara Richard ini, hakim wajib memperhatikan kewenangan yang diberikan UU berdasarkan pasal 103 yaitu menghukum rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah di pengadilan. Artinya penyalah guna berdasarkan UU tidak boleh ditahan maupun dipenjara melainkan ditempatkan di lembaga rehabilitasi dan dihukumnya pun dengan hukuman rehabilitasi.

Tugas penyidik dan penegak hukum sungguhnya adalah mengungkap siapa pelaku peredaran narkotika mulai dari pengecer, pengedar, importir dan orang-orang yang mengendalikan bisnis narkotika di Indonesia.

Ini yang harus menjadi konsentrasi penegakan hukum, tangkap mereka, hukum mereka dengan menerapkan sangsi yang ancamannya berupa pidana seumur hidup/mati, sita aset mereka dengan tindak pidana pencucian uang serta putus jaringan bisnis narkotikanya agar punya nilai 'efek jera'.

Kalau penyalah guna dipenjara tidak punya efek jera. Richard itu sakit adiksi.

Penulis adalah Dosen Universitas Trisakti yang pernah menjabat Ka BNN 2012 - 2015 dan Kabareskrim 2015 - 2016.