Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Cerita Baloi Kolam, Kawasan Miskin Kota yang Berani Meminta Haknya ke Negara
Oleh : Hadli
Jumat | 24-11-2017 | 18:14 WIB
Uba-Ingan-Sigalungging.jpg Honda-Batam
Anggota Komisi IV DPRD Batam Uba Ingan Sigalingging (Foto: Hadli)

BATAMTODAY.COM, BATAM - Permasalahan lahan di kawasan Baloi Kolam Batam Kepulauan Riau, hingga kini masih terus bergulir dan tampaknya masih belum menunjukkan jalan ke luar. Lahan seluas 196,6 hektar yang saat ini sudah ditempati oleh ribuan warga itu, masih menjadi primadona bagi para investor, walau lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung sejak tahun 1994 silam.

"Warga yang bermukim di Baloi Kolam, seperti warga negara yang tidak diakui oleh negara," ujar Anggota Komisi IV DPRD Batam Uba Ingan Sigalingging, Jumat (24/11/2017).

Anggota DPRD Batam yang memulai karir politiknya, dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Gebrak ini menceritakan, sejak 1990 warga tidak memiliki hak atas air dan listrik.

Berangkat dari hal ini dan sila ke-5 Pancasila, ia menggunakan Gebrak untuk mengajukan pengadaan kios air bersih dan akhirnya bisa terealisasi pada tahun 2006. Adanya gerakan bersama masyarakat dari Baloi Kolam ini berbuntut dengan pengadaan kios air di beberapa kawasan ruli lainnya.

"Namun, perjuangan warga guna meminta haknya ini tidak berhenti sampai di situ," ungkapnya. Menceritakan bagaimana warga kembali berjuang meminta haknya atas listrik.

Sejak tahun 2009, warga Baloi Kolam hanya dapat menikmati listrik dari genset dan masing masing warga hanya bisa menikmati daya listrik 1 ampere per harinya.

"Perjuangan bersama warga kita mulai dari surat pengajuan ke bright PLN Batam, DPRD Batam, Pemerintah Kota Batam, hingga ke Otorita Batam," paparnya.

Namun hal ini tidak berjalan mulus, sebab seluruh surat pengajuan tersebut tidak digubris sama sekali, sehingga warga terpaksa melakukan aksi unjuk rasa selama kurang lebih setahun. Hingga akhirnya warga bisa menikmati listrik pada tahun 2011.

Ia juga menceritakan, pada saat memperjuangkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Masyarakat Indonesia ini, ia sempat dipertanyakan oleh warga. "Untuk dapat perhatian warga, kami selalu memberikan edukasi hingga akhirnya warga paham pentingnya air dan listrik dari negara," ujarnya.

Perjuangan warga Baloi Kolam sendiri, hingga saat ini masih belum berhenti dikarenakan pada tahun 2003 pihak Otorita Batam mengubah status lahan, dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi dan kawasan niaga.

Bahkan beberapa cara dilakukan oleh pihak investor untuk mengusir warga. Mulai pertengahan tahun 2016 lahan tersebut sempat dijadikan lahan latihan perang dalam kota. Hingga pada tanggal 4 November lalu, warga hampir bentrok dengan petugas kepolisian.

"Secara tidak resmi, saya pribadi sudah terikat janji dengan warga Baloi Kolam," ungkap Uba Ingan.
Saat ini, warga akan menggunakan Undang Undang Agraria nomor 5 tahun 1960 dan Undang Undang Kehutanan nomor 41. Karena warga sendiri telah menempati lahan tersebut, jauh sebelum pihak Otorita mengubah status lahan menjadi kawasan hutan lindung kota.

Kini warga sendiri meminta Negara melalui instansi terkait, harus hadir guna memberikan penjelasan kepada mereka. Dikarenakan secara tiba-tiba, kini lahan yang tadinya kawasan hutan lindung kota ini beralih fungsi menjadi kawasan niaga, setelah adanya investor yang ingin menggunakan lahan.

"Hal ini menjadi pertanyaan, karena saat warga mengikuti seluruh prosedur untuk penempatan lahan, sejak tahun 1990 selalu mendapat penolakan dari Otorita," paparnya.

Editor: Udin