Dugaan Pemalsuan Surat Lahan di Bintan

Ini Penjelasan Penasehat Hukum Terkait Perkara yang Menjerat Mantan Pj Wako Tanjungpinang
Oleh : Devi Handiani
Jumat | 14-06-2024 | 11:44 WIB
Hendie.jpg
Hendie Devitra dan rekan, penasehat hukum tersangka Hasan, saat konferensi pers di Tanjungpinang, Kamis (13/6/2024). (Foto: Devi Handiani)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Hendie Devitra, penasehat hukum mantan Pj Wali Kota Tanjungpinang, Hasan, menjelaskan beberapa poin penting terkait perkara dugaan pemalsuan surat lahan yang menjerat kliennya itu.

Dugaan pemalsuan surat lahan yang diperkarakan PT Expasindo Raya alias PT Bintan Properti Indo (BPI) menyeret beberapa nama, seperti Hasan, M Riduan dan Budiman. Perkara ini ditangani Polres Bintan.

"Kami menduga lahan yang diperkarakan Direktur PT BPI (Constantyn Barail) ke Polres Bintan ini terjadi tumpang tindih dengan masyarakat, termasuk milik Darma Parlindungan," terang Hendie, konferensi pers di Restauran Sei Nam, Kamis (13/06/2024).

Ia menjelaskan, lahan yang diklaim PT BPI tumpang tindih dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT Tenaga Listrik Bintan (TLB).

Hendie menegaskan, lahan masyarakat tersebut belum dibebaskan dan belum dilakukan ganti rugi oleh pihak PT BPI. Karena itu, kliennya (Darma Parlindungan) telah mengajukan gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang pekan lalu. Sidang pertama dijadwalkan pada 26 Juni 2024.

"Lahan milik Darma memiliki kekuatan hukum keperdataan, yaitu diperoleh dari pembelian 6.941 meter persegi tanah dari (alm) Oky Irawan sesuai Surat Keterangan Pengoperan dan Penguasaan Tanah (SKPPT) pada April 2015," jelas Hendie.

Terkait perkara pidana, Hendie menambahkan, harus ditentukan adanya hak perdata sesuai Pasal 81 KUHPidana jo Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1956. Oleh karena itu, proses pidana di Polres Bintan dapat ditangguhkan hingga ada putusan pengadilan mengenai hak perdata.

"Lahan PT Expasindo Raya yang dilepas ke PT BPI pada 1991 diterlantarkan lebih dari 20 tahun," ungkap Hendie.

Ia menekankan pentingnya proses hukum perdata di pengadilan untuk memenuhi asas kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi kliennya mengenai penetapan Hasan sebagai tersangka.

Ia berharap Aparat Penegak Hukum (APH) dapat meninjau kembali kasus ini agar penyidikan berjalan profesional, proporsional, akuntabel, dan transparan.

Selain itu, Hendie siap membantu warga Sei Lekop Kijang, Bintan, yang lahannya tumpang tindih atau belum mendapat ganti rugi. Ia mengungkapkan, Constantyn bersama oknum BPN Bintan mengukur ulang lahan tanpa dihadiri pihak kelurahan, kecamatan, RT, RW, atau masyarakat pemilik tanah. Pengukuran ulang ini menghasilkan sertifikat HGB yang tumpang tindih dengan SHGB milik PT Tenaga Listrik Bintan dan beberapa SHM masyarakat.

Kasus bermula saat PT BPI mengajukan pendaftaran tanah di Sei Lekop pada 18 Maret 2019, namun permohonan ditangguhkan karena terdapat dokumen lahan yang sudah ada. Constantyn melaporkan dugaan pemalsuan surat tersebut ke Mapolres Bintan pada 18 November 2022, melibatkan SKPPT yang diterbitkan kliennya pada 2012.

"Saya siap membantu warga Bintan yang lahannya terjadi tumpang tindih serta pengurusan kepemilikan lahan warga yang belum mendapat ganti rugi," tutup Hendie.

Editor: Gokli