Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Seberapa Nyata Ancaman Pejuang ISIS yang Kembali ke Negara Asal?
Oleh : Redaksi
Rabu | 25-10-2017 | 08:38 WIB
isis2.gif Honda-Batam
Marawi di Filipina sebagian telah dikuasai pejuang ISIS sejak Mei (Sumber foto: BBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Raqqa - Didorong ke luar dari Ibukota de facto, Raqqa, setelah tiga tahun yang brutal, para petempur dari kelompok yang menyebut diri Negara Islam (ISIS) telah kehilangan sebagian besar wilayah yang pernah mereka kuasai. Tapi seberapa nyata bahaya dan kecemasan bahwa mereka akan bergerak ke negara lain untuk melakukan serangan, tanya Dr Lorenzo Vidino.

Saat ISIS mengalami kekalahan dan keambrukan terus menerus di Irak dan Suriah, pejabat keamanan di seluruh dunia melontarkan pertanyaan penting: apa yang akan terjadi pada milisi ISIS?

Sekitar 30.000 milisi asing bergabung dengan ISIS dan ada kekhawatiran bahwa orang-orang yang makin radikal lewat pertempuran ini akan kembali ke kampung mereka, atau pindah ke tempat lain, untuk melakukan serangan teroris demi membalas dendam 'kekhalifahan.'

Meskipun sulit untuk diprediksi, berubahnya peruntungan ISIS tak dapat diragukan akan memiliki implikasi besar bagi keamanan global.

Ada indikasi, termasuk sebuah kajian yang dibuat oleh para pejabat antiterorisme AS, bahwa sebagian milisi asing akan menetap di Suriah dan Irak.

Kepala badan intelijen dalam negeri Inggris, MI5, mengatakan bahwa jumlah warga Inggris yang bergabung dengan ISIS dan telah kembali baru-baru ini kurang dari 800 yang diperkirakan sebelumnya, dan setidaknya 130 orang tewas.

Para petempur asing yang tinggal diperkirakan akan terus bergabung dengan ISIS, sementara kelompok itu akan berubah menjadi seperti pada masa awal terbentuk sekitar 10 tahun yang lalu: sebuah kekuatan pemberontak yang mematikan dengan taktik-taktik mulai dari serangan teroris hingga perang gerilya.

Para petempur asing banyak yang terlibat dalam serangan terakhir di pertempuran Mosul dan Raqqa.

Dan banyak dari mereka sekarang diadili di pengadilan Irak, menciptakan dilema hukum dan moral bagi banyak negara asal mereka, karena sebagian dari mereka mungkin menghadapi hukuman mati.

Namun, banyak milisi lainnya telah meninggalkan wilayah 'kekhalifahan,' sebagian besar melalui perbatasan sepanjang 822km antara Turki dan Suriah.

Kendati para pejabat berwenang Turki berpatroli dengan semangat yang jauh lebih besar dibanding masa lalu, kondisii pegunungan dan dan canggihnya jaringan penyelundupan membuat perbatasan bisa ditembus.

ISIS memiliki jaringan pendukung yang telah lama ada di seluruh Turki, yang memainkan peran kunci dalam menyebarkan milisi asing dari Suriah.

Mengingat banyaknya serangan yang memporakporandakan negara tersebut dalam tiga tahun terakhir, pihak berwenang Turki sangat dimengerti, cemas dengan arus masuk ini.

Negara tetangga, seperti Yordania dan Lebanon, memiliki ketakutan yang sama.

Dari medan perang ke medan perang

Ada banyak sekali tujuan akhir yang potensial bagi pejuang asing meninggalkan Suriah dan Irak.

Ada bukti bahwa beberapa telah bergabung dengan wilayat resmi, atau "provinsi"yang telah didirikan ISIS di Yaman, Semenanjung Sinai, Kaukasus Utara dan Asia Timur.

Kelompok itu juga memiliki kehadiran yang kuat di Libia. Amerika Serikat menyiratkan bahwa mereka sekarang memiliki hingga 6.500 pejuang, dan beberapa ratus di Afghanistan, dan di sini AS melaporkan setidaknya 94 pejuang tewas dalam sebuah serangan di terowongan bawah tanah.

Ada juga indikasi militan-militan yang bepergian ke daerah konflik di tempat-tempat yang jauh seperti Republik Demokratik Kongo, Myanmar dan Filipina.

Kedatangan pejuang asing ke daerah-daerah ini dapat memperkuat kemampuan kelompok jihad setempat dan mengubah jalannya konflik yang terkadang menghancurkan.

Banyak pejuang asing lainnya memilih untuk kembali ke negara asalnya.

Sementara beberapa orang yang kembali mungkin tidak lagi terlibat dalam kegiatan militan, sebagian lainnya membangun jaringan rahasia yang berusaha melancarkan serangan dan, menurut keadaan setempat, mengacaukan situasi politik negara tersebut.

Negara-negara Afrika Utara sangat rentan terhadap risiko - tidak lebih dari Tunisia, karena sekitar 6.000 warganya pergi untuk bergabung dengan ISIS - tingkat per kapita tertinggi di dunia.

Negara-negara Teluk Arab mungkin juga menderita hal serupa.

Rusia, Kaukasus, dan sejumlah negara Asia Tengah juga memiliki kekhawatiran yang sama, karena banyak warga mereka bergabung dengan ISIS - banyak di antara mereka bahkan memainkan peran penting di medan perang.

Ancaman ke Eropa

Otorita Eropa menganggap kembalinya sebagian dari sekitar 6.000 pejuang asing dari Eropa sebagai masalah keamanan utama.

Sampai saat ini, kurang dari satu dari lima individu yang terlibat dalam serangan di Barat sejak "kekhalifahan" diumumkan pada tahun 2014 memiliki pengalaman sebagai petempur asing, menurut penelitian Institut Studi Politik Internasional (Italian Institute for International Political Studies, (ISPI) dan Program ekstremisme di Universitas George Washington.

Tapi ini mungkin berubah seiring jumlah orang yang kembali - yang diperkirakan mencapai 1.000 - meningkat.

Banyak yang menunjukkan tanda-tanda tidak ingin terlibat dalam kegiatan kekerasan, namun ada kekhawatiran yang valid bahwa sebagian dapat menggunakan keterampilan tempur mereka.

Masuk akal jika mereka bisa menggunakan jaringan kontak dan "status selebriti" mereka di antara penggemar jihad yang tidak berafiliasi untuk merencanakan serangan teroris.

Kerugian teritorial yang diderita ISIS sepertinya tidak mempengaruhi kemampuan operasional militan yang sangat independen ini.

Kembali dengan legal

Sementara masalah signifikan masih ada, otoritas Eropa telah meningkatkan pembagian data intelijen untuk mendeteksi petempur yang kembali dengan lebih baik.

Dan berkat kerjasama yang lebih baik dengan Turki, banyak militan ditangkap sebelum mereka melancarkan aksi lebih jauh.

Beberapa orang berhasil mencapai Eropa secara ilegal, atau dengan berpura-pura sebagai pengungsi - seperti yang dilakukan beberapa penyerang Paris pada November 2015.

Tapi kebanyakan petempur asing akan datang ke Eropa secara legal, kebanyakan menggunakan paspor asli Eropa.

Jika mendeteksi mereka adalah sebuah masalah, mencari tahu apa yang harus dilakukan terhadap mereka sama susahnya.

Menangkap mereka mungkin jawaban yang jelas, namun kenyataannya jauh lebih rumit.

Kementerian Dalam Negeri Inggris, misalnya, mengungkapkan bahwa tahun lalu dari 400 pejuang asing Inggris yang kembali dari Suriah dan Irak, hanya 54 yang dihukum.

Dinamika serupa dapat diamati di seluruh benua Eropa.

Apa yang mencegah pihak berwenang untuk menangkap, menuntut dan mengadili petempur asing yang kembali?

Sebagian besar adalah masalah hukum. Para anggota parlemen berjuang untuk mengikuti lingkungan ancaman yang terus berubah.

Meskipun peraturan perundangan bervariasi dari satu negara ke negara lain, mereka memiliki beberapa masalah yang sama.

Di beberapa negara, bergabung dengan sebuah organisasi teroris atau berperang dalam konflik asing bukanlah tindak pidana pada saat kebanyakan petempur itu pergi ke Suriah.

Beberapa negara sejak saat itu telah memperkenalkan undang-undang baru yang, bagaimanapun, tidak dapat diterapkan secara retrospektif.

Bahkan di negara-negara yang telah lama menerapkan tindak pidana untuk tindakan semacam itu, pihak berwenangnya berjuang untuk mengumpulkan bukti yang dibutuhkan untuk kasus kriminal yang kuat.

Mengetahui bahwa seseorang bergabung dengan ISIS atau melakukan kekejaman di Suriah dari perspektif intelijen adalah satu hal.

Mampu membuktikan dengan kepastian penuh di pengadilan adalah hal lain.

Yang lebih rumit lagi adalah isu anak-anak yang lahir atau dibesarkan dalam "khilafah" oleh orang tua petempur asing mereka.

Meskipun kebanyakan tidak dapat dihukum berdasarkan hukum, mereka patut mendapat perhatian karena trauma yang mereka derita dan, dalam beberapa kasus, karena mereka menunjukkan tanda-tanda radikalisme yang berat meskipun usianya masih muda.

Hasilnya adalah bahwa pihak berwenang kewalahan, harus memantau ratusan pejuang, belum lagi memantau jumlah simpatisan ISIS yang tumbuh dengan cepat di dalam negeri, dalam upaya untuk menentukan mana yang menjadi ancaman keamanan langsung.

Sebaliknya, otorita Eropa semakin banyak berinvestasi dalam program yang berusaha melakukan deradikalisasi pejuang asing yang mundur.

Meskipun mungkin terlalu dini untuk menilai secara pasti, ada indikasi bahwa sebagian, seperti yang didirikan di kota Aarhus di Denmark - menawarkan rehabilitasi dan penyertaan di masyarakat, cukup efektif.

Yang lainnya, seperti rencana Prancis untuk mendirikan 12 pusat deradikalisasi, ditunda.
Melihat ke masa depan

Kehilangan sebagian besar wilayah merupakan pukulan besar bagi ISIS.

Namun kelompok itu dan penganutnya sudah muncul di berbagai belahan dunia dan cenderung melakukannya dengan frekuensi dan kemarahan yang lebih banyak lagi dalam waktu dekat.

ISIS akan berubah menjadi organisasi yang lebih terdesentralisasi yang beroperasi dengan cara yang lebih asimetris, namun tidak akan hilang.

Lebih lagi, merek ISIS dan daya tarik emosional "khilafah"nya sepertinya tidak akan lenyap dalam waktu dekat.

Dan, terlepas dari tantangan kritis, kehadiran digital yang sangat kuat organisasi itu, yang disebut "kekhalifahan virtual", akan bertahan dalam beberapa bentuk, berpotensi menghidupkan kembali komitmen para simpatisan di seluruh dunia dan mendorong sebagian orang untuk melakukan serangan teroris atas nama ISIS.

Jatuhnya "kekhalifahan" menutup sebuah bab, tapi bab yang baru akan dibuka.
Tentang tulisan ini

Analisis ini ditulis oleh seorang ahli yang bekerja untuk organisasi luar dengan penugasan dari BBC.

Dr Lorenzo Vidino adalah direktur Program Ekstremisme di Universitas George Washington dan Program Radikalisasi dan Terorisme Internasional di Institut Studi Internasional Politik Italia (ISPI) di Milan.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Udin