Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ini Pembicaraan Panglima TNI dan Kapolri Soal Impor Senjata
Oleh : Redaksi
Sabtu | 07-10-2017 | 08:24 WIB
panglima-tni-jenderal-gatot.jpg Honda-Batam
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (kanan) dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. (Foto: REPUBLIKA/Prayogi)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan sudah melakukan komunikasi dengan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian terkait impor senjata. Gatot mengatakan, keributan tersebut impor senata dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan perpecahan antara Polri dan TNI.

 

Panglima TNI pun mengaku bingung kenapa proses impor senjata oleh Polri menjadi kegaduhan. "Senjata saja dibuat ribut ," ujar dia dalam acara pengajian bulanan di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya No.62, Jumat (6/10).

Gatot pun mengatakan, sempat berdialog dengan Kapolri, mengapa menjadi keributan. "Pak Tito kok bisa (ribut) begitu ya? (Tito menjawab) sudah biarin saja, lagi seneng (mengadu domba)" kata Gatot.

Oleh sebab itu, lanjut Gatot, hal tersebut merupakan bagian proxy war yang sering disampaikan olehnya. Gatot yakin, ada yang sengaja mengadu domba rakyat Indonesia, karena memang ada pihak yang menginginkan perpecahan di Indonesia. "Kita sedang diadu, karena dalam pembangunan, ini lah bentuk yang sering dikatakan proxy war," kata dia.

Gatot juga mengatakan, tidak ada negara yang bisa menaklukkan Indonesia kecuali dengan adu domba. Oleh karena itu, Indonesia harus berhati-hati dalam adu domba yang dilakukan oleh pihak-pihak yang sengaja menginginkan perpecahan di Indonesia.

Acara pengajian tersebut merupakan rangkaian acara pengajian bulanan yang rutin dilakukan PP Muhammadiyah. Pengajian kali ini mengangkat tema "Tentang Islam, TNI dan Kedaulatan Bangsa".

Pengajian tersebut dihadiri oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Sedangkan dari tokoh Muhamadiyah hadir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haidar Nasir, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsudin dan pengamat militer, Said Salim.

Sumber: Republika
Editor: Dardani