Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jangan Kaitkan Aksi Teror dengan Pembahasan Revisi UU Anti Terorisme
Oleh : Surya
Rabu | 05-07-2017 | 15:14 WIB
fadli-zone-011.gif Honda-Batam
Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam Fadli Zon. (Foto: Dok)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Maraknya aksi teror belakangan ini membuat sejumlah pihak mendesak agar pembahasan revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) dapat segera diselesaikan. Pengesahan segera revisi UU tersebut dianggap bisa membuat penanganan atas aksi teror bisa makin efektif.

 

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam Fadli Zon menyatakan bahwa DPR melalui Pansus Revisi UU Antiterorisme bersikap hati-hati dalam membahas draf revisi yang inisiatifnya diajukan pemerintah tersebut. Menurutnya, ada banyak persoalan dalam draf revisi yang diajukan pemerintah, sehingga DPR memilih berhati-hati dalam pembahasannya. Misalnya, ada usulan perpanjangan masa penahanan dari 6 bulan menjadi 510 hari.

"Ini tak bisa diloloskan begitu saja, sebab proses penegakkan hukum atas tindak terorisme juga tak boleh mengabaikan hukum lainnya yang masih berlaku. Jangan sampai penegakkan hukum dilakukan dengan cara melanggar hukum, itu prinsip yang ingin kita jaga. Kita tak berharap tindakan hukum sejenis Petrus di masa lalu kini bisa terulang kembali dalam bentuk lain," kata Fadli Zon, Rabu (5/7/2017).

Ia mengatakan, DPR ingin agar filosofi penanganan tindak terorisme tak berangkat dari prinsip pemberantasan teroris, sebagaimana yang sejauh ini sedang menonjol. Tapi lebih memperhatikan berbagai aspek secara komprehensif. "Info yg saya terima dari Ketua Pansus, saat ini pembahasannya sudah cukup maju kok, sudah lebih dari 60% dari total 112 DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang dibahas di Pansus," katanya.

Politisi Gerindra ini menerangkan, fakta bahwa tindak terorisme dianggap sebagai extraordinary crime, jangan sampai membuat DPR seperti memberikan cek kosong kepada aparat penegak hukum. Harus belajar dari kesalahan dalam menangani extraordinary crime lainnya, seperti tindak pidana korupsi. "Lembaga atau aparat yang menangani extraordinary crime harus tetap bisa dikontrol dan diawasi," tegasnya.

Selain itu, Fadli Zon juga menyabut DPR sangat konsen terhadap isu bahwa penanganan tindak terorisme harus memperhatikan dan tetap berada di dalam koridor hukum dabn tak boleh terus-menerus menggunakan diskresi, harus taat pada due process of law.

"Itu sebabnya, meski ada desakan dari sejumlah pihak agar Revisi UU Antiterorisme segera disahkan, DPR tak bisa begitu saja mengikuti desakan tersebut. Kalau pembahasannya tergesa-gesa, risikonya bisa banyak sekali nantinya," kata Fadli.

Apalagi, lanjutnya, secara teknis dalam revisi UU Antiterorisme semakin banyak pihak yang harus disinergikan, mulai dari Polri, BNPT, BIN, TNI dan juga masyarakat sipil. Sehingga jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang oleh negara atau aparat dengan menggunakan dalih terorisme.

"Masukan yang diterima DPR sangat banyak. Sebagai gambaran, untuk definisi terorisme saja, ada 172 rancangan yang masuk usulan pembahasan. Untuk memformulasikan hal ini, tentu membutuhkan perumusan yang matang," katanya.

Ia kembali menegaskan tidak ada kaitan belum selesainya pembahasan revisi UU Antiterorisme dengan aksi teror yang marak belakangan ini. Apalagi, dengan undang-undang yang masih berlaku aparat sebenarnya juga sudah bisa bekerja.

"Pembahasan yang sedang berlangsung di parlemen saat ini konteksnya hanya merevisi saja, sehingga bukan merupakan faktor penghambat bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi teror," tutup Fadli.

Editor: Yudha