Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Ajak Semua Pihak Dukung Indonesia Kembangkan Alutsista
Oleh : Irawan
Kamis | 27-04-2017 | 09:26 WIB
diskusi-01.gif Honda-Batam

Diskusi penguatan alutsista melalui transfer teknologi di Jakarta pada Rabu (26/4/2017). (Foto: Irawan)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Industri Pertahanan Indonesia memerlukan adanya auditor teknologi agar lebih transparan. Pasalnya, selama ini masyarakat hanya menerima informasi satu arah soal kemajuan industri pertahanan tanpa bisa diverifikasi kebenarannya.

 

"Tidak adanya auditor teknologi yang mampu menjadi tolak ukur terhadap industri pertahanan kita menjadi penyebab utama terus berpolemiknya persoalan alutsista di Indonesia," ujar pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie dalam diskusi "Penguatan Alutsista Melalui Transfer Teknologi" di Jakarta, Rabu (26/4/2017).

Connie mencontohkan, tidak adanya auditor teknologi terhadap PT Dirgantara Indonesia misalnya membuat setiap adanya penawaran kerja sama dari produsen alutsista selain Airbus selalu dilihat sebelah mata.

"Tidak adanya audit teknologi, PT DI demi menjaga monopoli Airbus selalu berlindung di balik wacana adanya upaya asing mematikan BUMN unggulan kita," ujarnya.

Connie melanjutkan, Airbus sudah bekerja sama dengan PT DI selama 40 tahun. Tapi hingga hari ini tidak ada helikopter buatan Indonesia.

"Kita baru mampu membuat komponen, bukan membuat Heli. Bandingkan dengan Airbus yang baru 20 tahun kerja sama dengan RRC, Airbus sudah beri ToT 100 persen," paparnya.

Connie menambahkan, untuk Airbus seri Z5 sampai Z9, baik desain lisensi maupun production line ada di BUMN Negeri Tirai Bambu tersebut.

"Kenapa PT DI manut saja 40 tahun kerja sama dengan Airbus cuma menjadi agen penjual heli, ini aneh. Bukan ini tujuan didirikannya industri pertahanan RI. Cougar contohnya, ToT kita cuma tujuh persen. PT DI harus jelas mau spesialisasi ke mana agar optimal. Jangan semua diambil sendiri lalu tak ada yang jadi," sindir Connie.

Untuk diketahui, pemerintah Indoensia sedang menerima sejumlah tawaran kerja sama Transfer of Technology (ToT 100 persen) dari beberapa pihak. Bahkan, termasuk dari merk papan atas dunia yang siap membagi 100 persen teknologi canggihnya.

"Tapi seolah mentah karena PT DI selalu menuding tawaran ToT 100 persen sebagai cara asing membunuh industri pertahanan. Padahal kalau ada audit tech dan fasilitas BPPT, semua terukur dan tidak bisa main klaim sepihak," tegas Connie.

Senada, mantan Menteri Riset dan Teknologi Muhammad AS Hikam mengakui selama ini industri pertahanan seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Dahana, PT Pindad dan lainnya selalu mengklaim telah mencapai kemajuan.

"Namun masyarakat tak ada akses dan tolak ukur yang dapat dijadikan pembanding dan penentu kewajaran. Jadi seolah kita diminta percaya saja pada klaim yang dipublikasikan," ungkapnya.

Hikam menambahkan, dengan adanya auditor teknologi, industri pertahanan bisa benar-benar bersaing di kancah internasional.

"Kalau sekarang, RI klaim unggul, dunia tidak akui karena tidak ada tolak ukurnya," jelasnya.

Industri strategis

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus (TB) Hasanuddin yang juga hadir dalam diskusi menyetujui perlu adanya audit teknologi pada industri pertahanan Indonesia.

"Audit teknologi memang perlu. Tapi jangan sampai mematikan PT DI melainkan untuk membangun ulang PT DI agar lebih baik lagi. Jadi semangatnya kritik membangun bukan mematikan PT DI," kata TB Hasanuddin.

Namun, TB Hasanuddin mengajak semua pihak ikut mendukung dan mengembangkan industri strategis pertahanan dalam negeri, khususnya mendukung langkah PT Dirgantara Indonesia (DI) mengombinasikan kemampuan yang ada.

"Di PT Dirgantara Indonesia tidak hanya bicara industri strategis pertahanan saja namun industri lain seperti angkutan udara," kata TB. Hasanuddin.

Dia menjelaskan selama ini PT DI sudah melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam pengembangan produk-produk Alutsista.

TB Hasanuddin mengatakan selama ini PT DI sudah menjalin kerja sama dengan beberapa negara seperti Spanyol dan Boeing serta Heli dengan negara Eropa.

"Jadi begini awasi saja, kalau ada kekurangan kecurangan yang dilakukan partner kita tegakkan secara hukum tapi tidak perlu dibunuh pelan-pelan," ujarnya.

Politikus PDI Perjuangan itu menilai "core" bisnis PT. DI bukan hanya industri pertahanan, namun alat angkut nasional, alat angkut udara seperti heli angkut.

Mantan Menteri Riset dan Teknologi AS Hikam dalam diskusi itu menjelaskan kebijakan politik dan pertahanan Indonesia masih belum didasari ancaman yang dihadapi sekarang dan di masa depan.

Menurut dia pradigma yang dianut masih melihat kedalam sehingga mempengaruhi pembelian Alutsista.

"Perkembangan Iptek dan industri strategis harus didasari paradigma yang berubah," katanya.

Dia menilai harus kembalikan industri pertahanan yang lengkap seperti penelitian dan pengembangan industri pertahanan dengan libatkan DPR.

Hal itu menurut dia, kalau tidak maka industri pertahanan Indonesia akan tergantung misalnya kriteria senjata apa yang cocok untuk Indonesia.

Editor: Surya