Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspadai Eskalasi Propaganda Aktivis OPM
Oleh : Redaksi
Senin | 10-04-2017 | 14:14 WIB
papua.jpg Honda-Batam

Ilustrasi pergerakan Papua Merdeka. (Foto: Ist)

Oleh Adrian Wiwaha

MANUVER politik Vanuatu dan Kepulauan Solomon bersambut dengan menggeliatnya kegiatan politik aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Hal ini memperkuat sinyalemen koneksitas antara aktivis separatis Papua di Indonesia, dan yang berada di luar negeri dengan faksi-faksi politik di negara lain, terutama kawasan Pasifik.

Tidak lama berselang dengan pernyataan kontroversial dan tidak berdasar yang dikeluarkan saat Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-34 di Jenewa, Swiss pada Jumat, 3 Maret 2017oleh Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu, Ronald Warsal, tentang isu pelanggaran HAM, dan permintaan misi khusus PBB untuk menginvestigasi ke Papua, aktivis KNPB dan simpatisannya segera meningkatkan propaganda politiknya dan menuntut pemisahan Papua dari NKRI.

Aksi Vanuatu itu jelas melanggar prinsip dalam Piagam PBB untuk saling menghormati kedaulatan teritorial dan tidak mencampuri urusan domestik negara lain. Selain itu, aturan dalam Sidang Dewan HAM PBB juga melarang politisasi isu HAM untuk mendiskreditkan serta menyerang kedaulatan negara lain sesama anggota PBB. Manuver negara di kawasan kepulauan Pasifik itu jelas melanggar norma internasional dan ancaman bagi kepentingan nasional Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya.

Langkah tidak bersahabat itu menuai kecaman dan reaksi keras darinegara kawasan Afrika yang menilai Vanuatu telah mempolitisasi HAM untuk kepentingan domestiknya. Begitupula dengan pernyataan negara kawasan Amerika Latin, Venezuela yang juga merangkap Ketua Gerakan Non Blok, menyebut tindakan Vanuatu sebagai bentuk campur tangan masalah domestik Indonesia sebagai negara berdaulat.

Memanfaatkan Momentum

Manuver di forum internasional tentang isu pelanggaran HAM di Papua pasti akan menjadi momentum politik bagi aktivis separatis Papua dan simpatisannya untuk berkampanye di Indonesia. Targetnya adalah untuk membentuk wacana seolah mendapat dukungan internasional sehingga dapat menggalang massa yang lebih luas. Dukungan juga mereka harapkan dari road show ke negara lain yang dianggap mudah dimanipulasi dengan sentimen solidaritas Melanesia, isu pelanggaran HAM, wacana tentang hak-hak penentuan nasib sendiri atau self determination, sertanegara yang memiliki hidden agenda di Papua.

Adalah Ketua KNPB Pusat, Viktor Yeimo yang segera merespondengan instruksinya kepada Ketua KNPB Biak, Yulianus Mandowen, agar pendukung dan simpatisanPapua merdeka, terutama wilayah Biak dan Supiori, menggalang dana untuk operasionalYakob Rumbiak, aktivis NRFPB yang saat ini berada di Australia dan menunggu bantuan biaya dari jaringannya di Papua untuk berangkat ke Uganda.

Yakob Rumbiak diduga bermaksud mempengaruhi dan menggalang simpati dari negara-negara Afrika yang selama ini justru menjadi sahabat baik Indonesia.Hal ini juga sejalan dengan skenario pendukung separatisme Papua di kawasan Pasifik untuk menarik simpatinegara kawasan Afrika lainnya.

Aksi serupa dilakukan oleh sekelompok mahasiswa Papua yang terlibat dalam jaringan aktivis pro Papua merdeka.Investigasi Kepolisian pada aksi keributan 3 Maret 2017 di Tanah Hitam telah mengarahkan pada 4 orang aktivis jaringan pendukung separatisme Papua, yakni Michael Yikwa, Anto Yikwa, Friaki Mea, dan Lenius Kogoya. Mereka diamankan oleh Polres Jayapura bersama sejumlah senjata tajam yang diduga kuat sebelumnya digunakan dalam aksi kekerasan, dan sejumlah kegiatan melanggar hukum yang menimbulkan gangguan keamanan serta ketertiban umum.

Aksi Mahasiswa Papua juga berlangsung di Jogjakartaoleh kelompok Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRIWP).Mereka berunjuk rasa mendukung provokasi tujuh negara Pasifik yang membawa masalah domestik Indonesia dalam Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.AMP menuding bahwa TNI/Polri dianggap telah melakukan tindakan brutal dan melanggar HAM sejak 1980-1990-an, serta bertanggungjawab atas sejumlah peristiwa yang kekerasan atas aktivis KNPB seperti penembakan terhadap Mako Tabuni dan Hubertus Mabel.

Mereka juga meminta agar pemerintah menarik aparat TNI/Polri dari Papua. Permintaan ini tentu tidak masuk akal karena TNI/Polri justru akan terjadi anarki dan potensi chaos dalam masyarakat.Keberadaan PT. Freeport dan legalitas Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia yang dianggap tidak merepresentasikan masyarakat Papua juga menjadi sorotan AMP, termasuk isu konflik Pilkada 2017 di Intan Jaya yang menimbulkan kekerasan dan memakan korban jiwa.

Media massa lokal, Tabloid Jubi juga ambil peran dalam memanaskan situasi di Papua. Kehadiran Victor Mambror, Pemimpin Redaksi Koran Jubi, dalam Sidang Dewan HAM PBB 2017 sebetulnya tidak akan menjadi persoalan jika pemberitaan yang dilakukan objektif sebagaimana kaidah jurnalistik dan berkontribusi dalam membangun Papua.

Sayangnya, pemberitaan media Jubi justru ikut mendiskreditkan Indonesia dan membela separatisme Papua.Secara sengaja, masyarakat hanya disuguhi informasi yang dianggap perlu untuk diketahui dan sejalan dengan agenda propaganda aktivis pro Papua merdeka.

Metode framing ini jelas bertentangan dengan kaidah jurnalistik yang menekankan objektifitas dan cover both side. Sejumlah isu yang dilansir media Jubi seperti seolah Indonesia telah ditekan agar membuka akses bagi jurnalis internasional, pengamat independen, organisasi HAM dan Palang Merah oleh Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) jelas merugikan integritas sebagai negara berdaulat.

Tanpa tekanan manapun, Indonesia selama ini telah membuka diri terhadap komunitas internasional untuk mengakses Papua sebagai bentuk komitmen memajukan perlindungan HAM di Papua.Namun, tentu akses internasional ini tidak boleh kontraproduktif dengan pembangunan dan kepentingan nasional Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan integritas wilayahnya.

Framing juga dilakukan dalam hal pemberitaan mengenai Dewan Gereja Dunia yang menaruh perhatian terhadap isu-isu kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.Menurut pemberitaan Jubi, Konferensi Gereja-Gereja Pasifik menyatakan keprihatinannya tentang isu kekerasan di Papua dan mendesak agar ada solidaritas dan aksi global untuk Papua.

Pemberitaan Jubi ini menjadi sangat tendensius karena seolah bahwa persoalan Papua memiliki dimensi teologis yang secara vis a vis melibatkan Gereja dan menghadapkan dengan pemerintah Indonesia. Selain itu, Jubi tidak mempublikasikan secara objektif berbagai capaian perlindungan HAM, kemajuan pembangunan sosial, ekonomi, infrastruktur dan SDM di Papua yang telah diraih sejak pemberlakuan Otonomi Khusus tahun 2001.

Pemberitaan Jubi terkesan mendukung aksi yang dilakukan oleh negara kawasan Pasifik seperti Vanuatu dan Kepulauan Solomon yang merugikan Indonesia.

Semestinya, Jubi juga mempublikasikan kecaman yang muncul dari negara-negara di Afrika dan Amerika Latin, serta dukungan yang mereka berikan terhadap Indonesia.Victor Mambror sebagai Pemred Jubi telah secara manipulatif berlindung di balik kebebasan jurnalistik untuk mengkampanyekan agenda terselubung mendukung aktivitas kelompok separatis di Papua.

Sikap tersebut tentu sangat tidak patriotik sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya mendukung negaranya sendiri.Selain itu, siapapun individu warga negara, juga terikat dengan kewajiban konstitusionalnya untuk melakukan bela negara ketika dihadapkan pada kegiatan baik di dalam maupun luar negeri yang dengan kepentingan nasional Indonesia.

Penegakan Hukum dan Fokus Pembangunan

Dukungan separatisme dan manuver asing terhadap masalah dalam negeri Indonesia merupakan ancaman serius dan perlu direspon oleh pemerintah dengan didukung oleh segenap komponen bangsa. Aksi-aksi propaganda politik dalam negeri yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa sepanjang masih dalam koridor demokrasi, otokritik terhadap kebijakan dan bersifat konstruktif dalam bingkai memperkuat akses terhadap pembangunan dan NKRI tentu harus direspon persuasif dan memperkaya gagasan untuk mengakselerasi kemajuan Papua sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Namun, jika aksi-aksi itu telah menjurus memecah belah, menimbulkan gangguan ketertiban dan kegaduhan dalam masyarakat, serta dapat menjadi ancaman bagi kepentingan masyarakat Papua khususnya, dan Indonesia secara keseluruhan, maka pemerintah tidak boleh tinggal diam, hukum harus ditegakan secara efektif agar menjamin kelangsungan pembangunan di Papua dan memberikan rasa aman bagi masyarakat.

Sementara itu, terkait dengan media massa yang justru provokatif, dan dapat menimbulkan keresahan massa dan berkontribusi terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat tentu tidak hanya cukup dengan pembinaan saja dan berlindung di balik kebebasan pers.

Victor Mambror dalam pemberitaan Jubi yang justru kerap merugikan Indonesia dan berpotensi meresahkan masyarakat tentu harus diluruskan agar objektif dan sesuai dengan kaidah jurnalisme yang benar.Jika langkah ini tidak efektif, pemerintah dapat mencekal seluruh akses Victor Mambror untuk keluar negeri sesuai dengan hukum yang berlaku. Pencekalan Victor Mambror dibenarkan menurut hukum jika dalam kerangka melindungi kepentingan nasional Indonesia.

Pemerintah memiliki legitimasi dan justifikasi untuk menata kehidupan pers agar sejalan dengan kepentingan nasional dan aspirasi masyarakat Papua untuk meningkatkan akses kesejahteraan dan ekonominya. Apapun langkah pemerintah sepanjang untuk kepentingan kemajuan masyarakat Papua tentu akan mendapat dukungan, tidak hanya dari masyarakat Papua, tetapi seluruh Indonesia.*

Penulis adalah pengamat masalah strategis Indonesia di LSISI Jakarta