Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pengusaha Mebel Keluhkan SVLK, Kemenpeprin Rancang Aturan Baru
Oleh : Redaksi
Rabu | 29-03-2017 | 10:58 WIB
Menteri-Perindustrian-Airlangga-Hartarto-01.gif Honda-Batam

Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian RI.

 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah mempertimbangkan dua opsi kebijakan agar industri mebel nasional bisa memiliki daya saing di pasar internasional. Pasalnya, kebijakan yang diberlakukan saat ini kerap dikeluhkan oleh pelaku usaha.

 

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, saat ini produk industri mebel harus memiliki sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sayangnya, tak semua negara tujuan ekspor mengakui sertifikasi tersebut.

Untuk itu, pihaknya tengah mencari jalan keluar agar industri mebel nasional bisa mudah melenggang ke pasar ekspor.

"Menurut pelaku industri furnitur, SVLK pada dasarnya belum memberikan manfaat bagi mereka, khususnya terkait keberterimaan dokumen V-Legal di negara tujuan ekspor,” ujar Airlangga melalui siaran pers dikutip Rabu (29/3).

Lebih lanjut ia menuturkan, saat ini kerjasama ihwal sertifikasi furnitur baru dilakukan dengan Uni Eropa melalui kerangka kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA).

Namun, di sisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2016 mewajibkan dokumen V-Legal untuk ekspor produk kayu yang diekspor ke seluruh negara. Untuk itu, opsi kebijakan pertama yang akan ditempuh adalah negosiasi dengan seluruh negara tujuan ekspor furnitur agar bisa menerima sertifikasi SVLK.

"Koordinasi dengan pemerintah Uni Eropa diperlukan untuk menghilangkan kendala teknis yang menghambat produk Indonesia masuk ke Eropa. Sehingga, produk furnitur Indonesia dapat privilege masuk ke pasar Uni Eropa melalui Greenline dan melakukan negosiasi dengan negara tujuan ekspor lainnya untuk meningkatkan keberterimaan SVLK," tambahnya.

Ada pun menurutnya, kebijakan lain yang tengah dipertimbangkan adalah mengecualikan SVLK bagi produk furnitur dan kerajinan kayu. "Makanya, SVLK diminta untuk disederhanakan dan bisa dikomunikasikan kepada seluruh konsumen," imbuh Airlangga.

Ia melanjutkan, selain hambatan ekspor, pemerintah juga akan menghilangkan hambatan di sisi penyediaan bahan baku. Untuk itu, Kemenperin mengusulkan agar perusahaan yang sudah mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) tidak perlu mendapat rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam melakukan impor kayu karena akan menghambat jalannya proses produksi.

"Saat ini, banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar. Jenis-jenis kayu tersebut tidak tersedia di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan, perlu dilakukan impor," kata Airlangga.

Hambatan lain yang perlu diselesaikan adalah proses karantina sampel furnitur melalui Kementerian Pertanian. Padahal, produk furnitur merupakan produk olahan, di mana produk tersebut sudah sudah melalui proses fumigasi di negara asalnya sebelum diekspor ke Indonesia.

“Proses karantina sampel furnitur yang memakan waktu mengakibatkan tertundanya proses produksi furnitur. Untuk itu, kami menyarankan agar sampel furnitur tidak lagi harus melalui proses karantina," jelasnya.

Berbagai hambatan ini perlu diselesaikan mengingat industri mebel nasional memiliki potensi yang besar untuk tumbuh. Pasalnya, industri ini didukung sumber bahan baku melimpah dan perajin yang terampil di Indonesia.

"Pemerintah berupaya untuk mengurangi berbagai hambatan yang selama ini dihadapi pelaku usaha mebel nasional dalam proses produksi, pemasaran, maupun ekspor," jelas Airlangga.

Menurut data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor kelompok produk furnitur dan interior mencapai US$1,68 miliar pada tahun 2016, di mana angka ini menurun 7,18 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$1,81 miliar.

Sumber:CNNIndonesia
Editor:Gokli