Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bagaimana Menyikapi Kasus Freeport
Oleh : Redaksi
Rabu | 15-03-2017 | 14:38 WIB
Freeport_Indonesia.jpg Honda-Batam

Lokasi penambangan Freeport di Papua. (Foto: Ist)

Oleh Ardian Wiwaha

SUDAH sekitar 45 tahun aktivitas pertambangan oleh PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bereksplorasi di ibu pertiwi. Lagi, berbagai macam polemik ditimbulkan oleh penyumbang PDB terbesar Republik ini. Setelah beberapa waktu silam, perusahaan yang dikenal sebagai perusahaan emas terbesar ketiga didunia ini bermasalah dengan penduduk lokal lantaran aktivitas warga melakukan pendulangan emas dari sisa-sisa limbah produksi Freeport.

 

Kini, mendekati masa selesainya kontrak antara PT Freeport dan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2021 nanti, publik kembali ditarik perhatiannya lantaran kedua belah pihak sampai saat ini bersikukuh mempertahankan kepentingan masing-masing terkait dengan kontinuitas kontrak yang konon berpotensi menuai bibit petaka.

Beda sekarang beda pula terdahulu, konon siapapun Presidennya, pemerintah Indonesia sudah dipastikan tersandera dengan kontrak G2B yang merupakan warisan orde terdahulu. Banyaknya sekali diskresi pemerintah Indonesia yang hilang untuk mengeksekusi kebijakan yang bertentangan dengan isi kontrak.

Namun demikian, ibarat sebuah penyakit, sudah seharusnya kita masyarakat Indonesia mendukung penuh upaya pemerintah untuk mendivestasi saham Freeport sebesar 51% guna mengobati berbagai macam penyakit yang selama ini telah akut dibuat oleh Freeport.

Ditahun 2000 an, pada saat era Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid atau yang disapa akrab dengan Gus Dur, pemerintah sempat menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 yang berisikan tentang pengubahan tarif royalti tembaga dan emas yang semula 3,75% dan 1% berubah menjadi 4% dan 3,75%.

Namun yang terjadi, Freeport dengan mudahnya mengatakan bahwa “Kami tidak akan patuh dengan aturan yang menyalahi kontrak”.

Berlanjut ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak sekali peraturan dan kebijakan yang ditetapkan. Ditahun 2009 silam, Presiden yang dikenal dengan singkatan SBY ini mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang secara garis besar berisikan tentang mengubah rezim kontraktual ke lisensi (IUP) dalam industri pertambangan.

Sementara itu, pada pasal 169 Undang-Undang tersebut secara jelas menyatakan Pemerintah menghormati kontrak hingga akhir, akan tetapi ketentuan kontrak yang telah ditetapkan harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU tersebut berlaku.

Selain itu, pada pasal 170, pemerintah juga mewajibkan kontraktor yang sudah melakukan produksi, harus melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba berlaku. Lantas apa respon Freeport? Hingga detik ini pun belum ada ketentuan internal Freeport yang disesuaikan dengan Undang-Undang.

Ditambah lagi dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 yang diharapkan dapat menetapkan kembali tarif royalti, namun apa yang terjadi? Semua seakan angin lewat semata.

Setahun sebelum selesainya masa jabatan Presiden SBY, dirinya sempat menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Pasal 112C angka 3 beleid ini menyebutkan bahwa pemegang KK dapat melakukan penjualan mineral ke luar negeri setelah melakukan kegiatan pemurnian. Namun apa yang terjadi, Freeport justru bermanuver balik kepada pemerintah dengan mengancam akan mem-PHK para karyawannya.

Era Presiden Jokowi

Baru dua tahun menjabat, Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang bertujuan untuk merelaksasi ketentuan terkait syarat ekspor konsentrat.

Pada saat yang sama pula, Pemerintah mewajibkan kontraktor harus mengubah rezim Kontrak Karya kepada IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Selain itu, pemerintah juga berupaya mewajibkan kontraktor melakukan divestasi hingga 51% pada tahun ke-10 sejak produksi.

Namun, Freeport justru secara sepihak menghentikan kontrak dan mengganti ke IUPK dan disertai dengan ancaman akan membawa penyelesaian kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional apabila Pemerintah RI bersikukuh memaksakan kehendaknya.

Menyikapi respon Freeport yang selama ini seolah menjadi raja di Bumi Cenderawasih, selaku generasi penerus bangsa harus mendukung segala kebijakan Pemerintah untuk mengambil alih seluruh operasi tambang Freeport di Timika, Papua melalui kebijakan divestasi saham.

Mulai menatap lembar baru dan memfokuskan kacamata kita ke permasalahan Freeport, karena perlu diwaspadai bahwa perusahaan yang konon dibackingi oleh Central Intelligent Agency (CIA) Amerika ini memiliki banyak strategi dan upaya untuk mengorek luka pemerintah.

Waspadai upaya provokasi dan intimidasi SARA, serta mulai menaruh perhatian secara objektif terhadap keluarga kita di Papua, karena cepat atau lambat, sebuah strategi operasi Freeport untuk mengoalkan tujuannya agar tetap bertahan mengeksplorasi bumi Papua tidak serta merta berhenti sampai disana.*

Peulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia