Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Zaman Saling Lapor
Oleh : Redaksi
Jum'at | 17-02-2017 | 14:12 WIB
hoaxwarning.jpg Honda-Batam

Ilustrasi warning berita hoax. (Foto: Ist)

Oleh Ardian Wiwaha

KACAU. Mungkin satu kata yang cocok saat ini kita tujukan kepada bapak-bapak yang saat ini sedang menunggu panggilan pak pol. Bukan karena kasus pencurian ayam, narkoba, apa lagi pembunuhan sekalipun. Namun karena laporan sebuah kasus layaknya penistaan agama, pelecehan nama baik, hingga laporan penghinaan, tak ayal telah menutupi setiap lini diskusi hingga pokok bahasan serta kondusifitas negara tercinta.

 

Siapa yang tak kenal Basuki Tjahya Purnama atau yang dikenal Ahok? Seorang figur publik yang dari dulu hingga sekarang setiap hela nafas yang ia hembuskan, acap kali menimbulkan pro dan kontra.

Keterkenalan Ahok selaku pejabat negara mulai diketahui oleh publik seantaro Indonesia saat dirinya duduk menjadi Gubernur DKI Jakarta meneruskan tahta Presiden Jokowi yang kini telah melalang ke Istana Negara.

Prestasi demi prestasi yang ia raih, konon menjadi tapak tilas ketertarikan Presiden Jokowi untuk menjadikannya pasangan Wakil Gubernur DKI terdahulu. Namun siapa sangka, belum selesai dengan bola api yang dipermainkannya sehingga menjadi polemik penistaan agama, konon Ahok pada pertengah Desember 2016 silam, kembali dilaporkan oleh salah seorang Anggota FPI, Novel Chaidir Hasan atau yang akrab disapa Novel Bamukmin lantaran didalam nota keberatan yang Ahok bacakan dalam sidang perdana terdahulu kembali dinilai sebagai ucapan yang dianggap telah menistakan agama.

Masih berkorelasi dengan dugaan kasus penistaan agama Ahok, siapa yang tak kenal dengan Buni Yani? Yang saat ini sedang menjalani status sebagai tersangka pada kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan berdasarkan isu suku, agama, ras, dan antar golongan.

Status tersangka yang Buni Yani miliki pada awalnya didasari oleh kasus pengunggahan video penggalan pernyataan Ahok ke akun facebooknya pada 6 Oktober 2016 silam. Pernyataan Ahok yang dinilai publik menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 sejenak menjadi bom peledak kemarahan beberapa kelompok dan ormas serta menimbulkan pro dan kontra di publik.

Kini Buni disangka melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE). Dia dianggap oleh kelompok tertentu sebagai individu yang sengaja atau tanpa hak telah menyebarkan informasi yang cenderung menyesatkan.

Setelah riuh dengan dugaan kasus penistaan agama Ahok dan pelaporan Buni Yani karena sebuah video yang dinilai menyesatkan, masih teringat jelas bahwa publik Indonesia dikejutkan dengan gerakan makar yang disusun oleh segenap kelompok orang dalam rangka meresistensi pemerintah saat ini.

Tujuh orang yang dietapkan sebagai tersangka dugaan makar disinyalir memiliki agenda untuk menggiring massa aksi damai 2 Desember silan atau 212 untuk menduduki gedung MPR/DPR.

Adapun ketujuh orang tersebut antara lain: Kivlan Zen, Ratna Sarumpaet, Firsa Huzein, Adityawarman, Alvin Indra Al Fariz, Eko, hingga sang adik kadung mantan Presiden kelima Rachmawati.

Ketujuh orang tersebut dipersangkakan lantaran melakukan upaya pasal 107 juncto pasal 110 KUHP yang dalam penjelasan aparat penegak hukum mengatakan bahwa terdapat adanya indikasi pemanfaatan massa untuk menduduki kantor DPR dan mengagendakan terselenggaranya sidang istimewa dalam menuntut pergantian pemerintahan.

Siapa yang tak kenal Habib Rizieq, salah seorang tokoh agama besar yang konon kemarin (dalam aksi 212) berhasil mengakomodir massa yang jumlahnya terbesar sepanjang peradaban bangsa Indonesia.

Namun siapa sangka, sang habib yang dihormati oleh sebagian publik tak ayal juga menyimpan sentimen sesaat oleh beberapa kelompok yang berseberangan dengan dirinya.

Hampir sama dengan Ahok, namun untuk sang habib ujian hukum semakin menyapa lebih. Dimulai dari laporan adanya penistaan agama pada acara agama yang ia selenggarakan, kini sang habib dihantam bertubi-tubi dengan beberapa laporan kasus hukum perihal penyerobotan tanah milik Perhutani di Bogor, dugaan penghinaan Pancasila, hingga pernyataan perihal lambang palu arit dalam uang kertas baru Bank Indonesia. Apa yang akan terjadi kepada sang habib dar0 setiap umpan yang dilempar?

Goresan Tinta di Bendera Merah Putih

Beberapa hari yang lalu (19/1) polisi menangkap seorang laki-laki yang bernama Fahmi lantaran kasus dugaan adanya penodaan lambang negara.

Hal ini disebabkan oleh adnaya bukti bahwa fahmi telah menodai lambang negara melalui lukisan bertulisan arab di bendera merah putih yang ia gunakan sebagai perlengkapan unjuk rasa di depan Mabes Polri beberapa waktu silam. Konon sebelum Fahmi keluar dari proses hukum atas berkat jaminan Ustad Arifin Ilham sebagai penjamin, Fahmi telah dijerat dengan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang lambang negara.

Tak hanya membelenggu Ahok dan Habib Rizieq, mantan Presiden Kelima RI Megawati pun tak ayal menjadi salah satu korban dari hangatnya pasal penistaan agama. Hal ini terbukti atas laporan Baharuzaman selaku hubungan LSM Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti Penodaan Agama ke Bareskrim Polri pada (23/1) silam.

Laporan yang bernomor surat LP/79/I/2017/Bareskrim tersebut murni berisikan tentang adanya tuduhan melanggar Pasal 156 dan/atau Pasal 156 a KUHP tentang penodaan agama yang dilakukan oleh Megawati pada pidato HUT ke-44 Partai PDI Perjuangan beberapa waktu silam. Namun untuk lebih jelas bagaimana hasil dan proses hukum yang terjadi kedepannya, mari kita lihat perkembangannya selanjutnya.

Namun yang pasti, dari sekian banyak kasus saling lapor yang terjadi di ibu pertiwi sudah seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi kita masyarakat Indonesia.

Bukan hanya belajar untuk menjaga tutur kata dan berkata sopan antar umat manusia, namun menjunjung tinggi rasa empati, toleransi, dan menghindari perkataan bohong atau hoax harus senantiasa dikedepankan. Karena ingat, kebebasan berkekspresi dalam bentuk apapun bukan hak asasi manusia mutlak yang kita miliki. Masih ada hak asasi manusia lain yang juga berdiri membatasi. Berkatalah dengan sebenarnya. *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia