Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Merawat Eksistensi Kerukunan Bangsa
Oleh : Redaksi
Selasa | 14-02-2017 | 14:14 WIB
makrufamin.jpg Honda-Batam

Ketua MUI Kyai H. Makruf Amin saat menjadi saksi dalam persidangan Ahok. (Foto: Liputan6)

Oleh Ardian Wiwaha

MANTAN Bupati Belitung Timur Basuki Tjhaya Purnama atau yang akrab disapa dengan Ahok kembali mengangkat panggung kontroversi di jagat ibu pertiwi. Setelah kasus dugaan penistaan agama Surat Al Maidah ayat 51 belum juga selesai, kini kontroversi ucapan dirinya yang berencana melaporkan KH Makaruf Amin kepada Pihak Kepolisian.

 

Pasalnya, lantaran adanya indikasi kesaksian Makaruf yang kurang objektif pada sidang kasus Ahok dan dugaan keterkaitan hubungan politik antara Ketua MUI Pusat ini dengan kubu politik dinasti SBY, menimbulkan sumbu negatif di kalangan kelompok dan ormas pendukung Makaruf. Mungkin karena posisi Makaruf Amin yang merupakan tokoh agama bangsa ini, seolah hampir semua elemen bergerak menyusun skenario dan mulai menabuh genderang perang.

Bukan berniat provokatif apalagi menyulut sumbu perpecahan, namun dalam perspektif umum, hal yang wajar apabila seorang tokoh atau pemimpin umat beragama yang seolah direndahkan posisinya dimuka umum, akan direspon negatif oleh kelompok pendukung yang sewarna dengan dirinya.

Terlebih pada kasus Makaruf Amin yang merupakan pemimpin Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang juga merupakan Tokoh Agama umat Islam selaku agama yang mendominasi di negeri ini.

Meskipun Ahok telah berpesan ke awak media perihal rencananya yang akan menemui Makaruf Amin dalam waktu dekat untuk meminta maaf, namun permintaan maaf tertulis tersebut dirasa belum cukup dan menyeluruh lantaran beberapa ormas dan kelompok di negeri ini telah secara masif merespon pernyataan negatif Ahok.

Setelah kasus penistaan agama Islam oleh Ahok diharapkan dapat diselesaikan dimeja hijau dalam waktu dekat karena Pilgub DKI semakin mendekat untuk disemarakkan, lagi dan lagi Ahok seolah membuat blunder yang berdampak terhadap genderang perang yang padahal mulai menurunkan tensinya.

Kembali beberapa rencana aksi muncul layaknya Aksi Bela Islam terdahulu, kini berubah menjadi beberapa aksi seperti Bela Al Maidah, Aksi Bela Ulama, hingga rencana Aksi Bela Agama.

Sebenarnya bukan sesuatu yang mesti ditakutkan oleh masyarakat ataupun aparat pemerintah penjaga stabilitas bangsa Indonesia, terlebih apabila benar dikemudian hari ketiga aksi tersebut dapat digelar dan direncanakan sama persis seperti halnya ABI sebelumnya.

Namun apa yang terjadi apabila ketiga rencana aksi diatas memancing respon beberapa kelompok kepentingan yang berupaya untuk memanfaatkan situasi dan kemelut yang ada guna menjalankan misi terselubung yang digenggam.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, siapa sangka kasus dugaan penistaan agama Ahok masih bergulir hingga saat ini. Hal tersebut seolah tidak memiliki akhir dan masih berjalan dibenang yang kusut tanpa ada sebuah penyelesaian.

Apalagi dengan adanya kecenderungan beberapa kelompok kepentingan yang berupaya untuk memafaatkan kondisi dalam aksi guna mendeskreditkan pemerintah hingga memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Coba dirunut secara gamblang, ketika kasus dugaan penistaan agama Ahok dimulai dan berjalan hingga saat ini, berapa banyak kemelut dan permasalahan yang lahir.

Seperti halnya rencana makar hingga perang cyber dalam rangka menurunkan peran dan memunculkan upaya provokasi tokoh dan elit bangsa, publik seolah dibingungkan dengan sebuah bentuk kebenaran yang hakiki akibat kebingungan yang dihasilkan dari hoax atau pemalsuan kebenaran yang terus saja bergulir.

Sampaikan kapan bangsa Indonesia akan terus berjalan seperti ini? ketika fokus dan lokus pemerintah hanya dibuat terfokus dan lupa karena satu kasus.

Kapan sebuah kedamaian hakiki akan terwujud apabila kerukunan berbangsa dan bernegara tiada henti terus disulut. Mari tingkatkan rasa toleransi dan saling menghargai karena Indonesia itu dikenal sebagai bangsa yang tenggang rasa bukan bangsa yang merusak rasa. *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia