Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Petisi atau Politisasi Papua Merdeka
Oleh : Redaksi
Sabtu | 28-01-2017 | 14:38 WIB
papua.png Honda-Batam

Masyarakat Papua yang cinta NKRI. (Foto: Ist)

Oleh Yusack Keroom

SAAT ini, beredar petisi Papua Barat Merdeka (Free West Papua) yang digalang oleh Benny Wenda. Demikian yang tertulis dalam situs http://secure.avaag.org. Hanya membaca judul tersebut, opini pembaca langsung tergiring pada keinginan warga Papua untuk merdeka.

 

Berita petisi Papua barat merdeka dengan target 10.000 orang sampai dengan bulan agustus 2017 dan sejak 2 (dua) hari diluncurkan sudah menggalang lebih dari 810 dukungan, apalagi dilakukan dengan cara-cara manipulasi rekayasa IT. hal ini nantinya untuk kemudian dibawa renang sejauh 69 KM di danau Jenewa dan disampaikan ke Sekjen PBB. ini mungkin cukup menjadi bensin untuk memanas-manasi situasi bangsa Indonesia versi mereka.

Sekilas tentang Benny Wenda yang merupakan salah satu aktivis Papua Merdeka. Mendapat suaka politik dari Inggris. Menjadi representatif Rakyat Papua di Parlemen Inggris, PBB dan Uni Eropa. Gerakannya ini memiliki kantor di beberapa negara, yakni Australia, Inggris, Belanda serta negara kepulauan pasifik.

Melalui aktivis-aktivisnya, mereka menyuarakan agar Indonesia membebaskan Papua. Penggalangan petisi-petisi internasionalpun juga dilakukan. Pertanyaan genit yang hingga sekarang menjadi tanda tanya sebagian besar pemuda dan mahasiswa Papua yaitu sudah dapat untung berapa seorang Benny Wenda yang merelakan dirinya menjadi antek asing untuk terus menggangu Indonesia melalui isu Papua Merdeka yang tak lain sarat kepentingan ekonomi anasir asing khususnya dalam mengeksploitasi sumber daya alam Papua?

Namun yang menjadi pertanyaan besarnya adalah : Mungkinkah Papua merdeka? Jika sudah melibatkan PBB dan sidang internasional, mungkinkah Papua merdeka seperti Timor Leste? Jawabannya adalah TIDAK. Kemerdekaan Indonesia secara hukum internasional adalah sesuai dengan penandatanganan Serah Terima Kekuasaan dari Belanda ke Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag.

Di mana dalam Akta Serah Terima yang ditandatangani bersama tersebut, seluruh wilayah Dutch East Indies diserahkan ke Indonesia. Papua termasuk dalam wilayah Dutch East Indies yang serah terimakan. Sementara Timor Leste memang bukan wilayah Dutch East Indies. Jadi jelas berdasarkan akta yang sah, bahwa Papua barat BUKAN daerah jajahan Indonesia, melainkan memang wilayah Indonesia. Tidak juga bisa memerdekakan diri lalu bergabung menjadi anggota persemakmuran Inggris yang seluruhnya adalah bekas wilayah Inggris.

Organisasi Papua Merdeka merupakan gerakan segelintir oknum separatis yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Mereka melakukan yang cara-cara sangat ekstrim dan penuh rekayasa serta konspirasi anasir asing dalam memecah Provinsi Papua dan Papua Barat keluar dari Pemerintahan Indonesia. Cara-cara ekstrim seperti pemberontakan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.

Pembentukan sayap militer ini jelas menjadi ancaman bagi keamanan negara yang pastinya merugikan masyarakat Papua itu sendiri. Keberadaan mereka menimbulkan konflik dengan militer Indonesia hingga terjadinya kontak senjata dan timbulnya korban jiwa. Bahkan mereka melakukan dialog diplomatik terhadap negara-negara serumpun (melanesia) dengan tujuan menginternasionalisasi isu Papua untuk dapat pengakuan sebagai sebuah negara, hal ini jelas-jelas merugikan kedaulatan NKRI dimana beberapa negara melaniesia telah ikut campur kedaulatan Indonesia.

Kembali kepada persoalan, OPM, Memutar Balik Fakta Demi Kekuasaan? Kelompok separatis seperti OPM yang dipimpin oleh Benny Wenda adalah orang yang tamak dan curang, hanya mementingkan kepentingan pribadi. Mereka adalah orang-orang egois seperti perompak yang merusak dan membahayakan keselamatan orang lain untuk tujuan pribadi. Lihat saja dalam situs http://secure.avaag.org tersebut terdapat kecurangan dalam perhitungan dukungan.

Sampai dengan Pkl 14.27 WIB sudah 2.280 dukungan, padahal pada pkl 09.23 WIB baru sekitar 800 dukungan. Peningkatan drastis terjadi setelah pukul 11.00-14.25. Dari monitor pkl 13.47-13.57 (10 menit), statistik pemberi dukungan terbesar justru dari Indonesia (15 vote) dengan nama tertulis seperti Annisa, Jawahir, Jauhari, Mohammad, Rahmalia, Abdul Chalim dll yang relatif bukan etnis Papua dan kemungkinan tidak pernah tinggal di Papua. Selain itu dalam 10 menit yang memberi vote adalah Australia (8), United Kingdom (2), dan masing2 satu untuk New Zealand, Spain, US, Finlandia, Belanda, Hongkong.

Ini menunjukan fakta-fakta yang disebarkan mereka sungguh bertolak belakang dengan keadaan Papua saat ini. Papua saat ini semakin berkembang, maju dan modern. Perhatian pemerintah kepada masyarakat Papua semakin meningkat. Buktinya ada beasiswa-beasiswa yang diberikan kepada masyarakat kelahiran Papua yang merupakan warga Indonesia juga. Mereka juga mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya berkuliah di perguruan tinggi.

Bagi saudaraku dari Papua yang ingin melepaskan diri, sadarlah bahwa kita sudah terpengaruh oleh pihak-pihak asing tersebut agar dapat kembali berbakti pada negeri dan ikut serta dalam pembangunan bangsa. Saya sangat-sangat menyarankan untuk berfikir ulang terkait ide atau keinginan tersebut. Banyak pelajaran sejarah dunia yang dapat anda petik. Dimana, melepaskan diri dari suatu negara sama sekali bukan jaminan untuk kebebasan dan kesejahteraan.

Saya sebagai penulis percaya bahwa masyarakat Indonesia sangat perduli dengan nasib Papua. Masyarakat Indonesia sepenuh hati perduli dengan nasib masyarakat dari Sabang hingga Merauke. Perkembangan teknologi informasi akan membuat mata masyarakat Indonesia menjadi semakin terbuka dengan kondisi Papua.

Kebijakan dan implementasi otonomi khusus yang diterapkan dan terus disempurnakan implemnetasinya serta kemunculan poin 3 dalam Nawa Cita sebenarnya adalah salah satu bukti kuat dari telah tumbuhnya keinginan politik pemerintah Indonesia secara kongkrit untuk melindungi, membangun, dan mensejahterakan masyarakat Papua serta masyarakat di daerah lainnya. *

Penulis adalah Mahasiswa Papua di Jakarta, aktif pada Kajian Arus Internasional untuk Demokrasi Indonesia