Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspada Provokasi di Balik Kenaikan Harga
Oleh : Redaksi
Kamis | 12-01-2017 | 15:38 WIB
ilustrasi-kenaikanharga.jpg Honda-Batam

Ilustrasi kenaikan harga BBM. (Foto: Ist)

Oleh Rika Prasatya

DI AWAL tahun 2017, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, di antaranya perubahan biaya penerbitan surat-surat kendaraan bermotor, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), hingga naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).

 

Mulai tanggal 5 Januari 2017, PT. Pertamina (Persero) menaikkan harga BBM. Revisi harga tersebut berlaku untuk BBM non-subsidi seperti Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax DEX dan Dexlite dengan angka kenaikan sebesar Rp. 300,-. Kebijakan ini tentunya menimbulkan polemik di masyarakat. Di sosial media, kenaikan harga BBM cukup menarik perhatian.

Terbukti dari banyaknya keluhan dan tanggapan yang mereka lontarkan. Ada yang berfikir positif, namun banyak juga yang berpikiran negatif. Bagi yang berpikiran negatif, mereka cenderung menyalahkan pemerintah karena dianggap berlaku semena-mena sehingga berdampak semakin susahnya kehidupan rakyat kecil. Padahal jika dipikir kembali, kenaikan hanya sebesar Rp 300,-. Selain itu, patokan harga BBM non-subsidi adalah harga minyak dunia, sehingga wajar saja jika harganya mengalami naik turun.

Contoh lainnya adalah masalah kenaikan biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Tidak sedikit masyarakat yang reaktif terhadap isu tersebut, yang mengira bahwa mereka harus membayar 2-3 kali lipat dari pajak STNK biasanya. Padahal, yang mengalami kenaikan harga hanyalah administrasinya saja.

Sementara itu, kenaikan harga lain yang menarik perhatian adalah harga cabai. Harga cabai terus mengalami peningkatan, bahkan hingga 50%. Diketahui, harga cabai saat ini sudah mencapai Rp 90 ribu – 100 ribu per kilogramnya, dibandingkan pada November 2016 lalu, yang masih di kisaran Rp 60 ribu per kilogram.

Seperti yang telah dijelaskan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, penyebab dari tingginya harga cabai akhir-akhir ini, karena saat ini sedang musim penghujan yang berpengaruh pada kualitas dari cabai tersebut. Jika cabai dipanen pada saat musim hujan, maka akan membusuk. Oleh karena itulah harga cabai jadi meningkat. Amran juga memastikan bahwa pemerintah tidak akan membuka keran impor cabai guna menanggulangi harga yang kian tinggi karena produksi cabai ke pasar masih dalam status aman.

Sebagian besar masyarakat menjadi begitu mudah diprovokasi isu-isu yang belum tentu kebenarannya terkait kenaikan harga-harga tersebut. Dari beberapa kasus tersebut, ada fenomena aneh yang saat ini sering terjadi, yaitu semakin banyak masyarakat yang aktif menggunakan media sosial dan melek internet, semakin mudah pula mereka diprovokasi isu – isu negatif tanpa mencari tahu kebenaran atau alasannya.

Tanpa disadari, pihak-pihak yang sengaja menunggangi isu-isu tersebut berupaya menggiring opini masyarakat untuk selalu menyalahkan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Tujuannya tidak lain adalah membakar emosi masyarakat agar membenci pemerintah, terutama Presiden Jokowi.

Sudah saatnya kita sadar bahwa penyebaran informasi yang provokatif dengan menyebar fitnah, hasutan, maupun hoax dapat mengancam keutuhan bangsa. Beberapa kali informasi berbau fitnah, hasutan, dan hoax yang viral di media sosial telah memicu keributan, bahkan merembet menjadi kerusuhan fisik. Penyebaran informasi tersebut mulai marak sejak media sosial populer digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Hal Ini disebabkan sifat dari media sosial yang memungkinkan akun anonim untuk berkontribusi. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang cerdas, kita diharapkan untuk lebih bijaksana dalam menanggapi isu dan berita yang beredar di media sosial maupun media massa. Jangan menelan informasi mentah-mentah, melainkan harus aktif mencari tahu kebenaran akan isu tersebut.

Di luar daripada itu, kita harus selalu bersyukur, jangan selalu menyalahkan pemerintah. Jika harga kebutuhan pokok naik, kita harus semakin giat lagi untuk bekerja dan lebih teliti lagi dalam mengontrol keuangan. *

Penulis adalah pengamat sosial ekonomi.