Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mewaspadai Kosmopolitisme HTI
Oleh : Redaksi
Kamis | 05-01-2017 | 15:26 WIB
hti.jpg Honda-Batam

Benera Hizbut Tahrir Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Ken Bimo Sultoni

TERMINOLOGI Kosmopolitisme ini dipopulerkan oleh Bung karno dalam pidatonya pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 tentang Lahirnya Pancasila, yang secara eksplisit disampaikannya bahwa orang-orang Tionghoa klasik tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme yang beranggapan tidak ada kebangsaan tetapi semuanya adalah peri kemanusiaan.

 

Secara umum Kosmopolitisme merupakan sebuah paham yang menyatakan bahwa semua suku bangsa manusia merupakan satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Secara politis, Kosmopolitisme adalah paham atau pandangan yang melihat kosmos (seluruh dunia) sebagai polis (negeri) sendiri sehingga cenderung menafikan pandangan kebangsaan atau nasionalisme secara benar, bahkan dan mengabaikan warisan budaya serta kesesuaian perilaku wajib terhadap bangsanya sendiri.

Sebagai sebuah paham maka kosmopolitan atau orang yang berpaham kosmopolitisme akan merasa diikat oleh ideologi global yang menolak konsep-konsep kebangsaan ataupun kenegaraan. Kosmopolitan hanya mengakui adanya konsep kekuasaan satu negara dunia yang dipimpin oleh satu orang pemimpin, jadi merupakan sistem sentralistik Global. Bahayanya, jika sistem komando Global menerapkan cara-cara radikal dalam gerakan politiknya, yakni menghalalkan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap bersebrangan dengan kelompoknya secara politis.

Konsep Daulah Khilafah Islamiyah yang sering disuarakan Hizbut Tahrir bermaksud membangun kembali satu kekuatan politik dunia yang di dasarkan pada hukum Islam. Hizbut Tahrir yang bermakna Partai Pembebasan pada awalnya merupakan upaya pembebasan Palestina dari cengkeraman Israel namun kemudian mengembangkan misi politisnya sebagai upaya pembebasan umat Islam dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum yang dianggap kafir, serta pembebasan umat Islam dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara yang dianggap kafir.

Konsep Khilafah Islamiyah tersebut sesungguhnya juga merupakan konsep kosmopolitisme yang menolak Nasionalisme dan Demokrasi sehingga layak diwaspadai keberadaannya dalam bumi Nasionalismenya Indonesia. Terlebih Hizbuth Tahrir Indonesia sempat disinyalir melakukan kegiatan-kegiatan radikal seperti yang disampaikan seorang senator Australia, Ian Mc Donald pada tahun 2007 yang lalu.

Namun untuk memahami radikalitas HTI nampaknya perlu kita korek kembali berbagai referensi, juga keterangan-keterangan beberapa orang yang intensif mengikuti perkembangan Islam untuk mencari logika-logika obyektif dalam menguntai kembali mata rantai sejarah yang banyak tercecer.

Pada 1928, seiiring dengan meningkatnya gerakan Nasionalisme Mesir yang anti Inggris setelah diumumkannya kemerdekaan Mesir di bawah pemerintahan kerajaan Arab (1922), Hasan Al Bhana, seorang pemuda yang dilahirkan dari kalangan masyarakat Muslim tradisional yang taat dengan pola pikir yang telah banyak dipengaruhi oleh tokoh pembaharu Mesir Muhammad Abduh memotori beberapa tokoh perubahan Islam membentuk sebuah kelompok yang bernama Ikhwanul Muslimin dengan menekankan 5 prinsip ideologi, yakni pertama Allah Tujuan Kami, kedua Rasulullah Teladan Kami, ketiga Al-Quran Landasan Hukum Kami, keempat Jihad Jalan Kami dan ke lima adalah Mati Syahid Cita-cita Kami yang Tertinggi.

Di dalam Ikhwanul Muslimun ada lembaga bernama Tandzimul Jihad (jaringan jihad). Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer, doktrinnya pakai kesetiaan terhadap pemimpin tertinggi (Mursyid) dan dibawah komando langsung Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompok sekuler yang ingin belajar tentang disiplin militer, bahkan ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Jendral Muhammad Najib (presiden Mesir Pertama), Jamal Abdul Nasser (Presiden Mesir kedua) dan Anwar Sadat (Presiden Mesir ketiga) juga Taqiuddin An Nabhani menjadi anggota atau setidaknya pernah belajar dari kelompok ini.

Pada Perang Dunia II, pasukan Inggris menjadikan Mesir sebagai basis tentara Sekutu. Meskipun selepas perang pasukan Inggris telah angkat kaki dari Terusan Suez, namun perasaan anti-Inggris semakin berkecamuk di tengah masyarakat Nasionalis Mesir.

Dominasi kelompok Pembaharu Islam seperti Ikhwanul Muslimin berusaha mendorong pemerintah kerajaan Arab untuk menyerang Israel yang berusaha menduduki Palestina sehingga terjadi perang Arab – Israel pada tahun 1948, Tandzimul Jihad ini ikut berperang bahkan kelompok ini banyak mengajukan konsep-konsep strategi dan taktik, namun kenyataannya kalah sehingga Negara Israel berhasil berdiri, maka kemudian kelompok Tandzimul Jihad kembali ke Mesir, dalam kelompok ini terdapat seorang tokoh yang bernama Taqiuddin An Nabhani.

Akibat berhasil berdirinya negara Israel yang didukung gerakan Nasionalisme Mesir sikap anti Inggris semakin memuncak. Terlebih setelah Hasan Al Bhana tertembak mati setahun kemudian, diduga pembunuhan itu dilakukan oleh agen pemerintah kerajaan Arab yang didukung Inggris.

Sepeninggal Hasan Al Bhana Tandzimul Jihad diambil alih Sayid Quttb seorang tokoh yang dikenal sebagai ideolog dalam Ikhwanul Muslimin dan penulis produktif, termasuk tafsir yang banyak dibaca oleh kita di Indonesia. Sayid Quttb terus mengobarkan semangat anti Inggris untuk menjatuhkan sistim monarki kerajaan Arab di bawah Raja Farouk terhadap Mesir, dan akhirnya kudeta berhasil menjatuhkan kekuasaan Arab atas Mesir pada 1952 dan merubah sistem kerajaan menjadi Republik dengan mengangkat Jendral Mohammad Najib sebagai presiden pertama.

Sementara itu Taqiuddin An Nabhani masih beranggapan bahwa sebagian besar kelompok Islam termasuk Ikhwanul Muslimin sudah masuk lingkaran jahiliyah karena menerima Nasionalisme dan system demokrasi yang kompromistis dengan Inggris, dia masih bersikeras untuk melakukan perlawanan bersenjata meskipun pimpinan Tandzimul Jihad, Sayid Qutub ini mendatanginya agar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin, tetapi Taqiuddin menolak dan dan terus melakukan kampanye bersama kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania sampai akhirnya mendirikan Hizbuth Tahrir di Yerusalem pada tahun 1953, yang berarti partai pembebasan, yang semula bermaksud pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka dekat membebaskan Palestina dari Israel.

Dan kekhawatiran Taqiuddin tentang berkembangnya Nasionalisme Arab yang ditentangnya mulai terbukti setelah Nasionalis militant Jamal Abdul Nasser melakukan kudeta dan menggantikan Muhammad Najib sebagai presiden pada tahun 1954, kemudian terjadi penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwanul Muslimin yang menolak Nasionalisme di seluruh Mesir.

Pada tahun 1965 Jamal Abdul Nasser kembali memerintahkan penangkapan besar-besaran kepada anggota Ikhwanul Muslimin yang tidak mau bekerja sama. Pemerintah Mesir menjatuhkan hukuman gantung kepada Sayyid Quthb, Yusuf Hawasi dan Abdul Fattah Ismail. Sejak itu organisasi Ikhwanul Muslimin berjalan dengan rahasia.

Hizbut Tahrir di Indonesia

Di Indonesia, Hizbuth Tahrir yang dikenal dengan nama Hizbuth Tahrir Indonesia atau disingkat HTI mendadak populer setelah berhasil menyelenggarakan Konferensi Khilaffah Internasional (KKI) pada 12 Agustus 2008 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat dengan dihadiri oleh presiden SBY pada waktu itu. Sebelumnya, pada Juli 2007, HTI membuat pernyataan terbuka atas dukungannya terhadap NKRI dengan menolak separatisme dan segala bentuk penjajahan asing yang ditanda tangani Jubir HTI, M Ismail Yusanto, berbunyi sebagai berikut :

1. Menyerukan kepada pemerintah dan umat Islam, pada umumnya untuk senantiasa mewaspadai segala manuver yang dilakukan oleh negara asing, khususnya AS dan sekutunya, yang bakal mendorong berkembangnya gerakan separatisme. Landasan utama politik luar negeri negera-negara seperti itu tidak lain adalah imperialisme atau penjajahan. Bisa berupa militer, seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan, maupun ekonomi dan politik seperti yang dialami negeri-negeri Muslim dunia ketiga, termasuki Indonesia .

2. Menghentikan pengaturan ekonomi dengan sistem Kapitalisme yang nyata-nyata telah menimbulkan kesengsaraan dan ketidakadilan di mana-mana. Sebagai gantinya, diterapkan ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, yakni ekonomi yang berdasarkan syariah, kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti minyak bumi, emas, perak tambaga dan lainnya adalah milik rakyat, tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta, apalagi pihak asing. Harus dikelola oleh negara, dan hasilnya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat. Kesejahteraan dan keadilan ekonomi hanya mungkin diciptakan oleh sistem ekonomi Islam yang bersumber dari Zat Yang Maha Adil, Allah SWT.

Dan pendekatan tersebut terbukti berhasil, dengan suksesnya penyelenggaraan dengan menghadirkan puluhan ribu massa dan dihadiri pula beberapa tokoh ulama dari berbagai daerah di Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan tokoh Hizbuth Tahrir, Ismail Yusanto menyatakan bahwa HTI mengusung konsep Khilafah Islamiyah yang dicetuskan Taqiuddin An Nabhani, untuk bersama menjalankan syariat Islamiyah, menolak demokrasi liberal dan menyerukan untuk menghentikan sekularisme. … selama ini HTI sudah menjadi partai karena Hizbuth berarti partai namun belum mendaftar ke lembaga Negara, akan mendukung Pemilu 2009 tetapi bukan untuk memberi kedaulatan kepada pemimpin tetapi memilih pemimpin yang menjalankan syariat Islam … demikian ditegaskan Ismail Yusanto pada setiap kesempatan.

Tidak aneh memahami pernyataan sikap konsisten sebagai turunan Hizbuth Tahrir Taqiuddin An Nabhani yang semacam itu karena sebagaimana di negeri asalnya Hizbuth Tahrir Indonesia yang semula dibawa orang Libanon yang bernama Abdurrahman Al-Baghdadi bersama Mustofa bin Abdullah bin Nuh yang tinggal di Jakarta pada tahun 80-an juga menganggap Demokrasi dan Nasionalisme sebagai jahiliyah, bahkan mereka juga menganggap Pancasila juga ideologi jahiliyah. Hanya ideologi Pan Islamisme itulah yang kemudian diajarkan mereka kepada beberapa orang yang kemudian dikenal sebagai tokoh HTI seperti di Indonesia seperti Ismail Yusanto.

Dalam gerakan-gerakan politiknya, lebih lanjut mereka juga menggunakan pola Taqiyah, yakni pola gerakan ideology Syiah yang juga sering digunakan Taqiuddin An Nabhani untuk senantiasa menyembunyikan agenda gerakan yang sebenarnya, bahkan dengan melakukan penyusupan-penyusupan.

Antara lain dengan membentuk Forum Umat Islam (FUI) untuk merangkul seluruh kalangan umat Islam terutama yang memiliki misi penegakan Syariat Islam seperti Front Pembela Islam pimpinan Habib Rizieq Shihab, Majelis Mujahiddin pimpinan Abu Bakar Baasyir juga beberapa kelompok Salafy Wahabi seperti Muhammadiyah serta kelompok Tradisional seperti Nahdlatul Ulama dengan memperluas pengaruhnya ke dalam Dewan Dakwah Islamiyah ataupun Majelis Ulama Indonesia.

Maka, tidak heran kalau kemudian muncul nama-nama seperti Amien Rais sahabat Hilmy Aminuddin (tokoh Ikhwanul Muslimin Indonesia yang juga pendiri Partai Keadilan), Ismail Yusanto (ketua HTI) yang bersama Al Khathath (FUI) mendirikan HTI, ataupun Munarman (mantan Ketua YLBHI yang mengklaim sebagai panglima Laskar Pembela Islam) dalam kegiatan unjuk rasa Aksi Bela Islam (ABI) beberapa waktu yang lalu dengan berhasil menggalang jutaan massa atas nama masyarakat Muslim Indonesia.

Padahal sesungguhnya semangat pembelaan Islam pada gerakan massa ABI yang lalu lebih banyak didukung oleh kelompok-kelompok Islam tradisional Indonesia dari kalangan Pondok-pondok Pesantren yang masih memegang teguh prinsip kebangsaan. Namun setidaknya HTI telah berhasil mengkibar-kibarkan panji-panji hitamnya di tengah-tengah lautan massa Muslim dalam gerakan ABI yang lalu. Dan hebatnya, gerakan ABI di Indonesia tiba-tiba diberitakan telah mendapatkan dukungan dari berbagai negara juga dengan pengibaran panji-panji hitam.

Sekali lagi, waspadalah terhadap berbagai bentuk soft Propaganda kelompok Kosmopolitisme di ndonesia yang sesungguhnya lebih berbahaya dari separatisme bahkan terorisme sekalipun.

Semoga tetap Jaya Indonesia.

Penulis adalah Pengamat Politik