Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Nilai Kebhinekaan dalam Multikulturalisme
Oleh : Redaksi
Selasa | 03-01-2017 | 15:14 WIB
bhineka_tunggal_ika.jpg Honda-Batam

Ilustrasi nilai Kebhinekaan. (Foto: Ist)

Oleh Iman S

INDONESIA dengan berbagai suku, agama, ras sudah sejak dahulu saling menghormati dan hal itu terbukti dengan lahirnya Sumpah Pemuda, sementara saat ini bangsa Indonesia sedang diuji kedewasaan dan keragamannya, dengan maraknya kasus intoleran, penistaan agama dan berbagai kasus SARA yang selalu terjadi, padahal di era tahun 70-an sampai tahun 80 an jarang terjadi, mungkin disebabkan karena Orba waktu itu berkuasa sangat kuat dengan menihilkan nilai-nilai demokrasi dan penghormatan terhadap HAM.

 

Harus diingat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar dan jauh melebihi Amerika dalam demokrasi, dimana pemilihan langsung dapat kita amati dari tingkat paling bawah RT, RW, dukuh, kepala desa, hingga Presiden. Walaupun banyak yang menilai bahwa demokrasi di Indonesia masih sebatas pada prosedural dan belum substansial, apa yang dilaksanakan tidak berdampak positif secara signifikan meskipun ada beberapa wilayah cukup maju.

Sedangkan, permasalahan lainnya yang menjadi ancaman bagi kebhinekaan kita adalah rumors adanya fenomena bangkitnya eks PKI. Bagi kelompok pro komunis atau paham kiri selalu mempunyai alibi bahwa masyarakat banyak salah menafsirkan bahwa gerakan kiri itu identik dengan PKI, padahal saat ini partainya saja sudah tidak ada. Partai kiri di awal kemerdekaan itu diartikan sebagai partai yang menolak kapitalisme atau yang menolak kemapanan.

Salah satu partai yang sering dilupakan adalah Partai Murba dengan tokohnya yaitu Tan Malaka yang pernah menjadi tokoh sentral gerakan kiri di Asia. Peristiwa tahun 1965 memang banyak versi namun kebanyakan versi tersebut baru muncul setelah keruntuhan Orde Baru. Beberapa tokoh yang berperan dalam peristiwa 1965 antara lain yaitu almarhum Sarwo Edi Wibowo yang melakukan kegiatan pemberantasan terhadap gerakan kiri atau PKI. Kemudian pasca peristiwa Madiun juga muncul kembali pemberontakan gerakan kiri yang sebenarnya merupakan persaingan antar gerakan kiri.

Persaingan itu antara kelompok gerakan kiri yang dipimpin oleh Tan Malaka, Amir Syarifudin dan Muso. Jadi gerakan kiri itu sebenarnya tidak pernah hilang karena pada suatu waktu bisa saja gerakan kiri itu muncul kembali. Bahkan sampai sekarang pandangan-pandangan kiri akan tetap berjalan dengan meletakkan pada dasar Marxisme yang sering menjelma menjadi sosialis demokrat. Misalnya saja pada waktu penyelenggaraan acara belok kiri fest yang kemudian dibubarkan oleh massa. Secara teoritis, gerakan kiri atau komunis itu menolak adanya modal asing sehingga musuhnya adalah kapitalisme.

Melunturnya Nilai Kebhinekaan

Salah satu perekat nasionalisme adalah nilai kebhinekaan kita. Sayangnya, Bhineka Tunggal Ika yang diagungkan dan digaungkan sejak dulu oleh pendiri bangsa mulai tidak dipahami dan hanya sebatas diucapkan. Kebhinekaan adalah sumber persatuan bangsa Indonesia, dan Pancasila adalah landasan dasar yang sebenarnya telah mengajarkan semuanya, namun lagi-lagi saat ini Pancasila sudah dianggap usang dan tidak diperlukan.

Orang menyanyikan Indonesia Raya atau membaca teks Pancasila sudah tidak bergetar seperti saat jaman kemerdekaan, padahal jaman kemerdekaan menyanyikan harus sembunyi-sembunyi, dan sekarang ini diakui atau tidak diakui generasi muda Indonesia tidak ada respons baik dengan lagu kebangsaannya. Inilah tanda-tanda melunturnya nilai kebhinekaan.

Hal lain dalam melemahnya kebhinekaan dan keberagaman adalah lemahnya penegakkan hukum, banyak kasus SARA yang mengancam kebhinekaan tidak diselesaikan secara tuntas hingga akarnya, akibatnya muncul kembali di lain waktu.
Kondisi tersebut diperparah dengan pendidikan Pancasila saat ini sangat minim, bahkan banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak hafal, bagaimana mau merawat kebhinekaan jika landasan dasar dan ruh kebhinekaan saja tidak hapal dan tidak paham.
Selain itu, kebhinekaan yang ada di Indonesia sudah takdir dan bagaimana kita merawatnya karena tidak akan mungkin dilakukan penyeragaman ini yang masih banyak belum dipahami oleh para pemimpin kita.

Indonesia sebagai contoh keberagaman sudah mulai dipertanyakan karena muncul berbagai kasus yang berpotensi kekerasan baik SARA ataupun yang lain, seperti geng pelajar yang memakan korban menunjukkan adanya gejala-gejala intoleransi dan mengoyak keberagaman.

Ada beberapa upaya yang perlu dilakukan agar nilai kebhinekaan dan multikulturalisme di Indonesia tidak memburuk yaitu : pertama, perlunya literasi media khususnya bagaimana menggunakan media sosial secara bijaksana. Bagaimanapun juga, media sosial yang berkembang pesat menjadikan apapun dapat tersebar masuk langsung ke privat masyarakat, jika tanpa ada filter, kroscek dan literasi Medsos yang berkesinambungan ke masyarakat, maka yang terjadi adalah saling klaim kebenaran ataupun kesalahan.

Kedua, saat ini pentingnya mengembalikan pendidikan moral baik dalam informal dan formal, karena keberagamaan, toleransi dan saling menghormati dapat tumbuh diawali dari pendidikan terbawah informal yaitu keluarga.

Ketiga, mahasiswa sebagai agen perubahan harus ikut memikirkan kondisi nasional, jika tidak maka bersiaplah menjadi mahasiswa korban industrial pendidikan yang tidak mampu mengimplementasikan dharma pendidikan, padahal pendidikan adalah membebaskan bukan sekedar mencerdaskan. Faktor kunci membebaskan itulah yang dapat membuat nilai kebhinekaan dan multikulturalisme kita semakin dinamis dan elastis.*

Penulis adalah Pemerhati Masalah Perkembangan Sosial Budaya, Tinggal di Jakarta.