Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ijtihad Politik Baru Fahri Hamzah
Oleh : Redaksi
Minggu | 18-12-2016 | 09:00 WIB

Oleh: Pangi Syarwi Chaniago)*

KEPUTUSAN Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang mengabulkan sebagian gugutan Fahri patut publik apresiasi.

Setiap warga taat hukum harus menghormati putusan pengadilan tersebut. Keputusan pengadilan itu setingkat UU dan mengikat.

Ini merupakan kekalahan sebagian elite petinggi oligarki PKS (degradasi otoritas kekuasaan) dan injeksi politik bagi pembaharuan (dekontruksi parpol).

Negara kita adalah negara hukum, pakem hukum tertinggi adalah konstitusi, bagaimana memaknai konteks sebagian elite partai soal logika AD/ART PKS lebih tinggi dari UU dan konstitusi. Logika sesat tersebut yang sedang berkembang di internal PKS.

Ini momentum emas bagi PKS untuk amandemen AD/ART partai sehiggga kampatibel dan sesuai dengan semangat pembaharuan, AD/ART meninggalkan nilai-nilai lama (feodalisme), bergeser ke AD/ART partai yang moderen dan demokratis (restrukturisasi kekuasaan).

Preseden buruk bagi sebagian petinggi partai yang diduga membangkang kepada aturan negara. AD/ART partai dianggap lebih tinggi kedudukannya dari pada UUD 1945, jelas berbahaya bagi konstelasi NKRI. Ini bisa dikategorikan sikap makar dan menjadi persoalan yang agak serius.

Sikap DPP PKS menyatakan banding adalah langkah konstitusional dan sah, untuk mendapatkan kepastian hukum.

Pada bagian lain, memaksakan melanjutkan konflik destruktif dengan mengajukan banding, nampak seolah-olah petinggi PKS tak penat berkonflik. Ada kesan elergi “islah” karena gengsi kalah dengan Fahri Hamzah. Kegaduhan, silang sengkarut kembali menjadi komsumsi publik.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat, pertama menangnya Fahri Hamzah melawan PKS di PN Jaksel, otomatis pemecatannya tidak sah, pintu masuk islah, ijtihad politik baru.

Namun sayang beribu sayang, terkesan elite petinggi partai tak mau islah, apakah mencerminkan akhlaqul karimah dan ukhwah Islamiyah? Kontraproduktif mengukuhkan jatidiri sebagai partai dakwah yang tangguh, cerdas, profesional serta berkhidmat untuk rakyat?

Norma dan moral sebagai panduan perilaku politik (valutional theory). Namun realitas pakai diksi emperatif mutlak "pokoke Fahri harus keluar dari PKS”, under ustimate dengan istilah tersebut.

Kedua, mari kita belajar, sudah saatnya PKS memikirkan dan menyiapkan strategi bagaimana fokus menaikkan ceruk potensial magnet elektoral pada pemilu 2019. 

Terlalu banyak energi elite partai tersedot menggurus Fahri Hamzah ketimbang menggurus partai.

Politik "devide et empera", mengajukan banding ketimbang islah, membentangkan karpet merah bagi aktor penyusup bercokol mengoperasikan partai, mengalihkan dan mengendalikan kesadaran palsu petinggi PKS, skenario membelah, menghancurkan PKS dari dalam, nampak sudah kalah set dari awal.

Bukan tidak mungkin, PKS tidak lolos ambang batas (parlemetary thereshold), tanpa dibubarkan, partai bubar dengan sendirinya. Disebabkan nahkoda partai sibuk menyebarkan surat, mantra-mantra dan "taklimat" melarang kader berinteraksi, berkomunikasi dengan mengasingkan Fahri (segregasi politik).

Belakangan banyak tabiat ganjil sikap partai, ada apa dengan PKS? Lebih sibuk mengurus level hilir dari pada level hulu-nya.

Ketiga, partai yang besar dan ke-kinian, prasyaratnya adalah membangun tradisi politik baru (habitus politik) kader partai tak dibungkam berkelindan di ruang panggung opini publik, tak dipaksa untuk "tsiqoh" membabi buta tanpa penjelasan.

Jauh lebih mulia membuka pintu dealetika tesis, anti tesis dan sistesis baru. Awalnya memang pahit, namun jamu atau obat yang menyehatkan bagi partai. Sehingga sosok Fahri bukanlah menganggu dan menjadi gurita namun menjadi lentera bagi partai.

Buat publik sederhana saja, keberanian Fahri menyalakan kritik, bersuara lantang, penyambung lidah rakyat, mesti kita apresiasi sebagai kemampuan otoritatif mengagregasi dan mengartikulasikan kehendak rakyat, terlepas soal gaya bicaranya, itu hal lain.

Apakah ada yang salah dengan gaya dan suara lantang Fahri? Justru Fahri sesuai trayek politik dan tak melanggar syariah, kalau benar PKS menyatakan sebagai partai oposisi, sikap Fahri tentu sudah sangat tepat.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Voxpol Center dan Penulis Buku Titik Balik Demokrasi