Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wawasan Kebangsaan, Benteng dari Komunisme
Oleh : Redaksi
Rabu | 14-12-2016 | 15:21 WIB
wawasankebangsaan.jpg Honda-Batam

Ilustrasi Wawasan Kebangsaan. (Foto: Ist)

Oleh Dimas Oktavian

HINGGA hari ini di hadapan masyarakat kita masih tersaji isu kebangkitan komunisme di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai polemik yang diinisiasi oleh orang-orang yang mengatasnamakan keadilan HAM, namun cenderung untuk ikut membangkitkan isu komunisme di Indonesia.

 

Baru saja Republik Indonesia merayakan HUT Kemerdekaannya yang ke-71, namun para aktivis malah mengharapkan pemerintah Indonesia memperhatikan keputusan Panel Hakim Internasional di International People’s Tribunal on Crimes Against Humanity (IPT 1965) yang isinya menuntut pemerintah Indonesia meminta maaf kepada para korban 1965.

Patut disayangkan, peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia seharusnya dijadikan momentum merefleksi diri sebagai sebuah bangsa yang memiliki persatuan dan kesatuan yang kuat guna menyongsong tantangan kompleksitas perkembangan zaman ke depan, bukan malah berkutat tentang polemik yang jauh telah menjadi masa lalu, yang pada kenyatannya sudah semakin baik keadaanya.

Jika mengkaji lebih dalam, IPT 1965 atau lebih dikenal dengan Sidang IPT 65 yang digelar di Den Haag, Belanda, bukan merupakan peradilan formal. Perlu diketahui bahwa sidang ini membahas peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 dengan hanya menghadirkan pihak-pihak yang merasa sebagai korban simpatisan PKI. Sidang Pengadilan Rakyat Internasional 1965 ini tidak menginduk ke badan-badan resmi sehingga proses maupun keputusan sidang tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga Pemerintah Indonesia tidak mengakui sidang tersebut.

Sidang IPT 1965 yang sudah dilaksanakan mulai tanggal 10-13 November 2015 silam, mendapat berbagai tanggapan dari beberapa kalangan, salah satunya Pakar Hukum Internasional, Ko Swan Sik yang mengatakan sidang rakyat yang digelar di Den Haag, Belanda, itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjadi rujukan dalam menjustifikasi siapa yang salah dan siapa yang benar di balik peristiwa 1965.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia yang juga merupakan mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Prof. Dr. Nazarudin Sjamsuddin, juga mengungkapkan ketidaksetujuannya apabila pemerintah Indonesia meminta maaf, karena sehari saja TNI dan rakyat telat bertindak, semua bisa jadi korban komunisme.

Bandingkan saja peristiwa 1965 yang direkomendasikan IPT 1965 sebagai genosida dengan revolusi Bolsyevik di Rusia yang notabene merupakan negara komunis di Eropa, apakah ada permintaan maaf di sana? Peristiwa 1965 juga menyisakan luka bagi korban kebiadaban PKI, yang hingga hari ini belum pernah sekalipun mengungkapkan permintaan maaf atas tragedi 1965.

Selain terkait IPT 65, para aktivis juga menuntut adanya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan tujuan yang sama agar pemerintah Indonesia menyelesaikan permasalahan HAM di masa lalu dan meminta maaf kepada para korban. Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Jamil, menilai pembentukan KKR itu tidak tepat karena Undang-Undang HAM yang dimiliki Indonesia bisa menjadi jawaban negara untuk menyelesaikan permasalaham HAM selama ini.

Pembentukan KKR seolah-olah akan membuat ketidakpercayaan terhadap Undang-Undang HAM yang telah ada, yang telah memiliki instrumen yuridisial dan non yuridisial, bukan melalui Pengadilan HAM ad hoc.

Melihat dua upaya yang dilakukan para aktivis untuk membuat pemerintah Indonesia mengakui adanya kesalahan pada masa lalu, seolah mengindikasikan adanya usaha untuk terus mengembalikan paham komunisme agar dapat diterima masyarakat melalui segala cara. Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober harus kita jadikan momentum untuk membangkitkan wawasan kebangsaan kita seiring pada era reformasi ini komunisme bergerak dengan cara lebih halus.

Tercatat banyak aktivis, tokoh, politisi, bahkan akademisi, baik dengan sadar atau tanpa sadar mendukung bangkitnya komunis Indonesia yang membonceng isu HAM, demokrasi, hak-hak buruh, anti SARA dan lainnya. Gerakan PKI Gaya Baru ini juga mencoba merusak pikiran anak-anak muda yang tak paham sejarah. Mereka berupaya memutarbalikkan fakta dengan menyebut PKI sebagai korban kekejaman Pemerintah Orde Baru.

Bahaya komunisme tidak boleh dianggap remeh, karena mereka terus akan bermetamorfosa dalam berbagai bentuk yang mungkin tidak seekstrim jaman dahulu yang terang-terangan menampilkan identitas dan kekerasan dalam melakukan pemberontakan.

Sekali lagi, mari kita bangkitkan kembali wawasan kebangsaan dan pemahaman ideologi Pancasila, melalui metode pendekatan kontekstual secara terus menerus. Penyebaran paham dan gerakan transnasional tersebut meningkat karena memanfaatkan alam kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi seperti itu peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting.

Karena Pancasila merupakan ideologi bangsa, maka Kesaktian Pancasila dapat dilihat dari seberapa mampu ideologi bangsa tersebut menghindarkan rakyat Indonesia dari berbagai krisis dan ancaman. Dengan kata lain, hal ini dapat dilihat dari seberapa banyak rakyat Indonesia yang masih mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya sehingga mereka terhindar dari krisis multidimensional.

Isi butir-butir Pancasila sangat bagus jika kita amalkan. Pancasila merupakan warisan nenek moyang kita yang harus diyakini dapat mempersatukan bangsa Indonesia dengan beragam agama dan budayanya. Marilah bentengi diri kita dengan menjadikan Pancasila sebagai pemersatu keberagaman. *

Penulis adalah Peneliti Senior di Bidang Sosial dan Budaya