Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menanti Momentum Pertemuan Jokowi-SBY
Oleh : Redaksi
Selasa | 13-12-2016 | 15:14 WIB
jokowi-sby.jpg Honda-Batam

Saat Jokowi bertemu SBY. (Foto: Kompasiana)

Oleh: Aprison Mandela

POLEMIK perihal dugaan kasus penistaan agama oleh Ahok secara perlahan mulai merendah. Setelah berbagai macam tuntutan terkait hal tersebut memuncak, namun disyukuri bahwa pada 2 Desember kemarin yang ditandai dengan digelarnya aksi super damai di bilangan monas dan sekitarnya, tampak keindahan kekompakan dan ketertiban umat muslim Indonesia yang menyelenggarakan aksi yang bersifat tuntutan namun tetap menjunjung tinggi ketertiban dan perdamaian.

 

Penistaan agama tetaplah kasus penistaan agama, yangmana hingga detik ini, permasalahan tersebut telah memasuki ranah hukum yang lebih serius guna menjawab sekaligus menyelaraskan aspirasi umat muslim yang menginginkan Calon Gubernur Petahana Basuki Tjahya Purnama agar tetap ditahan. Namun disisi lain, permasalahan politik tetaplah permasalahan politik, sebagaimana permasalahan penistaan agama, dunia perpolitikan Indonesia tampaknya mulai memanas tatkala memasuki babak baru.

Memanasnya sentimen antara Presiden Jokowi dan Mantan Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono muncul tatkala SBY mengadakan konferensi pers yang digelar dikediamannya Cikeas, Kab. Bogor beberapa waktu silam (2/11/2016).

Penuh tanda tanya dan berbalut kontroversi, kehadiran SBY melalui konferensi pers secara gamblang telah memanaskan panggung perpolitikan Indonesia.

Hal yang wajar apabila publik menilai bahwa diantara Mantan Walikota Solo dan Ketua Umum Partai Demokrat ini sarat akan pertarungan politik. Terlebih diantara keduanya berada di kubu yang berbeda pada pesta politik bergengsi yakni Pemilahan Gubernur DKI tahun 2017.

Pernyataan sang presiden yang mengatakan bahwa aksi Bela Islam Jilid II pada 4 November silam sarat ditunggangi oleh kepentingan kelompok politik, memang terkesan bias dan memancing, tatkala sang presiden hanya mengatakan “ditunggangi kepentingan politik” namun salah satu tokoh nasional yang sekaligus ketua partai merasa tersinggung.

Berbagai statemen counter yang dilakukan oleh SBY menambah catatan kelam sang mantan presiden, hal yang baik dan menarik simpati bagi Cikeas apabila publik menilai SBY telah difitnah, namun disayangkan tak sedikit komentar negatif muncul karena konferensi pers tersebut. Bahkan timbul berbagai Judgement dan komentar negatif dari masyarakat yang malah justru menyudutkan kelompok biru. Bias memang, tatkala kita membahas isu permasalahan antara Sang Presiden dan Mantan Presiden.

Diibaratkan sebuah magnet, kasus penistaan agama oleh Ahok telah menarik berbagai macam unsur. Bahkan seorang presiden pun yang jelas-jelas memiliki agenda pekerjaan yang padat, harus disibukan untuk mengurus dan mengawal kasus tersebut hingga selesai.

Wajar apabila sang Presiden disibukan, karena peranan berbagai kelompok mulai dari politik, agama, adat, suku, dan elemen lainnya juga ikut serta dalam penangangan kasus penistaan agama oleh Mantan Bupati Belitung Timur ini.

Mulai dari kunjungan keagamaan Pak Pres ke MUI, PBNU, hingga kehadiran berbagai tokoh politik, mulai dari hambalang, Beringin, PAN, Nasdem, bahkan orang terdekat sekaligus tertua di Partai Banteng Merah, Megawati Soekarno Putri.

Terdapat hal yang unik dari undangan makan siang sang Presiden, berawal dari niatan konsolidasi guna meredam konflik SARA yang berbaju politik oleh Ahok hingga berubah menjadi tren kedekatan tokoh per tokoh politik di Indonesia.

Dari sekian banyak partai nasional yang diundang ke istana untuk menyicipi masakan sang koki istana, tinggal dua perwakilan partai tersisa yang hingga kini belum kunjung datang, yakni PKS dan Partai Demokrat.

Bentuk keinginan pihak Demokrat untuk segera mengundang ataupun diundang oleh Presiden Jokowi dalam rangka menyantap makan siang berlauk politik di istana mulai deras disuarakan oleh kader-kadernya.

Setelah salah satu pernyataan kader Partai Demokrat Syarief Hasan yang mengatakan bahwa “ada baiknya kedua pemimpin ini bertemu saling klarifikasi tentang aktor 411”pada 21 November silam, kini statemen serupa juga dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo. “Kami ingin tidak ada terus dorong-dorongan soal pertemuan kedua Bapak Bangsa ini, Pak Jokowi dan Pak SBY. Ini hanya masalah waktu saja. Tidak harus bertemu dalam waktu yang cepat” kata Roy Suryo, Kamis (24/11) malam.

Dari kedua statemen tersebut jelas sudah bahwa secara tidak langsung Cikeas juga menginginkan adanya komunikasi politik antara SBY dan Presiden Jokowi.

Entah itu perihal untuk memperbaiki situasi dan hubungan politik diatara keduanya terkait tuduhan tunggangan politik atau malah justru untuk menjadi lobby politik terkait beberapa kasus usam mulai dari hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, isu Korupsi di Proyek Listrik diera SBY, hingga kasus pembunuhan oleh Mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang menyisakan beribu misteri.

Apakah bulan Desember akan menjadi bulan yang berkah bagi sang mantan Presiden untuk menjajaki kursi Istana lagi? Atau harus menunggu Lebaran “Kuda” yang masih belum jelas kesimpangsiurannya?
Kadang politik memang selucu itu. *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia