Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Presiden Jokowi, Antara Banteng Merah dan Sorban Putih
Oleh : Redaksi
Senin | 12-12-2016 | 15:14 WIB
presiden-joko-widodo.jpg Honda-Batam

Presiden Jokowi saat melaksakan sholat Jumat bersama dengan peserta aksi super damai 212. (Foto: Republika)

Oleh: Ardian Wiwaha

KASUS penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama atau yang dekat dengan sapaan Ahok, kembali mengundang simpati kaum muslim Indonesia. Setelah pelaksanaan Aksi Bela Islam Jilid 1, Jilid 2 hingga yang terakhir Jilid 3, mengisahkan kisah manis sekaligus memperlihatkan persatuan kaum muslim Indonesia.

 

Tak berlebihan jika kita mengapresiasi Aksi Bela Islam Jilid 3 atau yang dikenal dengan sebutan Aksi Super Damai sebagai aksi terbesar selama pesta demokrasi berlangsung di ibu pertiwi.

Namun siapa sangka dengan berakhirnya Aksi Bela Islam Jilid 3 yang damai akan menyelesaikan kasus penistaan agama oleh Ahok. Ibarat sebuah bus antar kota antar provinsi (AKAP) yang disetir oleh Presiden Jokowi, kasus Ahok yang sarat akan politik dan kontroversi masih berjalan namun terus mengambang.

Tak perlu waktu lama bagi Polri untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka dan menyelesaikan pemberkasan kasus penistaan agama hingga berstatus P21 atau lengkap, kini kasus dugaan penistaan agama oleh mantan Bupati Belitung Timur ini sedang diproses oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Seperti yang dijanjikan oleh M. Rum (Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung) bahwa tak lama lagi kasus Ahok akan segera diproses di meja hijau, tepatnya di Pengadilan Negeri (PN)Jakarta Utara.

Tentu hal ini akan menjadi drama menarik bagi publik seantaro Indonesia. Publik menonton dan seluruh umat muslim mengawasi, karena disinilah tempat dimana Ahok akan berstatus bebas atau akan meringkup di jeruji besi untuk beberapa tahun.

Jika Ahok ditangkap, besar kemungkinan bahwa kasus yang sarat akan suku, ras, agama, dan golongan ini, akan membuat masyarakat Indonesia terpecah belah.

Bagi kaum muslim yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia, apabila penahanan Ahok menjadi keputusan final, tentunya hal ini akan menjadi preseden baik bagi pemerintahan Presiden Jokowi. Kasus penistaan agama yang dinilai telah mencederai kepercayaan umat muslim diyakini akan tertutup. Sekaligus mengakhiri drama Aksi Bela Islam yang telah berlangsung sebanyak 3 kali.

Namun perlu diantisipasi, penangkapan Ahok yang disertai dengan penahanan, sarat akan potensi konflik komunal, SARA sekaligus kerawanan disintegrasi dari wilayah timur Indonesia. Wajar apabila beberapa kelompok kepentingan yang berseberangan dengan agama muslim dan memiliki pola pandang politik pragmatis, memanfaatkan kasus ini dengan menunggangi kelompok-kelompok di wilayah timur, untuk melakukan aksi demonstrasi dengan berbagai macam ancaman, mulai dari sentimen keagamaan hingga upaya disintegrasi wilayah.

Tidak jauh berbeda dengan potensi kerawanan konflik sosial yang muncul jika Ahok ditangkap. Apabila kasus Ahok berakhir tanpa ada penangkapan dan penahanan, kekecewaan pastilah muncul diraut muka kaum muslim yang telah serius berjuang mengawal kasus ini.

Aksi Bela Islam yang telah berlangsung sebanyak 3 jilid, dan menghimpun jutaan partisipan dari berbagai penjuru negeri, dinilai hanya sebatas seremonial belaka.

Tentu hal ini akan menimbulkan preseden buruk bagi Presiden Jokowi. Berbagai potensi ancaman akan muncul, mulai dari bangkitnya umat muslim dengan menggelar Aksi Bela Islam Jilid 4, memanasnya gerakan Islam Garis Keras yang berujung pada sentimen SARA dan potensi terorisme, hingga ancaman yang paling serius yakni pemakzulan Presiden Jokowi.

Siapa yang bisa menghalangi dan mengantisipasi kerawanan dari potensi berbagai macam gerakan yang dilahirkan oleh kekuatan multiwarna muslim Indonesia? Polisi? atau Tentara? Bahkan sekelas Intelijen pun diyakni tidak akan bisa mengantisipasi permasalahan ini.

Oleh karenanya, diibaratkan sebuah bola panas, kasus pensitaan agama oleh Ahok haruslah diselesaikan dengan penegakan hukum tanpa intimidasi. Disinilah kursi sang Presiden, kebijaksanaan dan kedewasaannya akan diuji.

Tak ayal jika sebuah perumpaaan sang mantan Walikota Surakarta ini berada diantara tekanan sang banteng merah dan sorban putih, karena keduanya bisa menyeruduk dan juga bisa melindungi. *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia