Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membongkar Agenda Terselubung Bom Samarinda
Oleh : Redaksi
Senin | 21-11-2016 | 15:14 WIB

Oleh Ade S Nauval

SITUASI Nasional yang sedang mengalami eskalasi semenjak kasus Ahok rupanya telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kelompok radikal. Hal ini terbukti dari serangan bom molotov yang dilakukan di Gereja Oikumene, Loa Janan, Samarinda, Kalimantan Timur. Berbeda dengan aksi teror biasanya yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan, aksi tersebut lebih bertujuan untuk memprovokasi masyarakat Indonesia.

 

Serangan teror di gereja Oikumene dilakukan oleh Juhanda alias Joh alias Jo bin Muhammad Aceng Kurnia. Ia adalah seorang mantan narapidana terorisme kasus bom buku pada tahun 2011. Saat ini Juhanda diketahui bergabung dengan kelompok Jemaaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syira (ISIiS).

Seperti yang diketahui bahwa strategi utama ISIS dalam mengembangkan organisasinya adalah dengan menunggangi situasi chaos disebuah negara. Dengan manfaatkan situasi chaos maka pergerakan ISIS dalam membangun basis disebuah negara terbukti lebih mudah, seperti yang terjadi di Irak dan Suriah. Disaat negara tersebut sedang menghadapi konflik komunal, ISIS mengambil kesempatan untuk mendirikan basis mereka disana.

Strategi ISIS itu sepertinya sedang berusaha diterapkan oleh jaringan teror di Indonesia. Dengan memanfaatkan situasi nasional yang sedang mengalami peningkatan, para pelaku teror berusaha melakukan provokasi guna memicu terjadinya konflik komunal umat beragama. Dengan memanfaatkan hal tersebut, para pelaku teror berharap akan lebih mudah untuk menguasai Indonesia.

Hal ini dapat dilihat dari waktu dan tempat yang dipilih untuk melakukan aksi teror bom molotov. Pulau Kalimantan dipilih sebagai tempat untuk melakukan aksi teror karena tingginya jumlah umat dayak yang mayoritas bergama nasrani. Dengan menyerang gereja, tentunya para pelaku teror berusaha untuk memicu amarah dari para umat Nasrani agar melakukan tindakan pembalasan terhadap umat Islam.

Dari sisi waktu, aksi teror ini menunjukan bahwa para pelaku teror berusaha memanfaatkan momentum 4 November 2016. Karena pasca aksi 4 November 2016, semangat juang umat muslim untuk membela agama Islam sedang berada di titik tertinggi. Sehingga para pelaku teror tentunya berharap aksi teror yang dilakukan dapat menjadi inspirasi bagi umat muslim lainnya yang sedang ingin melalukan jihad.

Menciptakan konflik SARA dari amarah umat nasrani dan umat Islam yang terinspirasi untuk melakukan jihad adalah tujuan utama dalam aksi tersebut. Karena dengan terciptanya konflik SARA maka negara ini akan lemah. Suatu kondisi yang selama ini selalu diinginkan oleh para pelaku teror.

Namun, para pelaku teror tersebut mungkin lupa bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat cerdas yang berdiri dalam suatu asas yang sama, Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat tentunya sudah mengetahui bahwa aksi tersebut hanya merupakan tindakan provokasi dari suatu pihak yang ingin memecah belah bangsa. Masyarakat tidak lagi mudah terprovokasi oleh tindakan – tindakan keji yang dilakukan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Mengutip perkataan menteri Agama, Lukman Hakim bahwa masyarakat Indonesia tidak seharusnya terprovokasi. Kerja sigap aparat kepolisian telah memberikan jaminan kepada semua pihak bahwa pelaku teror akan mendapat hukuman yang sesuai.

Bukan aksi saling balas serangan yang menjadi tugas utama masyarakat Indonesia. Namun kegiatan saling menjaga dan melindungi adalah hal yang perlu dilakukan. Kita perlu menunjukan kepada para pelaku teror tidak ada tempat bagi terorisme di NKRI dan tidak ada tempat bagi provokasi dalam Bhinneka Tunggal Ika. *

Penulis adalah Pengamat Politik