Oleh: Umar Mubdi @umar_mubdi

Sejak Sabtu, 22 September 1984, seseorang lelaki muda hadir dan menetap di suatu desa terpencil di ujung bukit itu. Lelaki itu datang begitu saja tanpa memberikan riwayat singkat hidupnya secara singat sekali pun. Penduduk desa itu merasakan Sukri – si lelaki muda itu – bagai sebuah danau penuh misteri.

Malam-malam ketika warga desa pulas tertidur, Sukri senantiasa membaca ayat-ayat suci Al-Quran, dengan suaranya yang agak serak tetapi selalu kedengaran merdu.

Suara lelaki muda yang membaca Al-Qur’an itu masih terdengar merdu kadang-kadang dengan suara tinggi dan tiba-tiba saja merendah. Dan tidak diduga-duga berhenti sama sekali. Sukri menangis. Lalu memeluk Al-Quran di tangannya, ia menangis.

Para peronda malam itu, menarik nafas panjang seperti ada suatu kesedihan di sana. Begitulah yang diperbuat lelaki muda itu setiap malam. Kadang-kadang para peronda mengintipnya. Menangis memeluk Al-Quran.

Mereka tak tahu mengapa lelaki muda itu berbuat begitu. Bagi mereka Sukri tetap sebuah misteri. Namun, mereka tidak pernah membenci Sukri. Sukri tidak pernah berbuat jahat. Bahkan sejak Sukri menetap di surau itu, suara-suara kitab suci selalu terdengar.

Beberapa penduduk desa yang mencoba mengorek asal-usul lelaki muda itu tak pernah berhasil. Sukri bersikap ramah, tapi dari keramahan itu mereka tak berhasil menyingkapkan apa-apa.

Sukri senantiasa mengelak dengan halus. Akhirnya, para penduduk desa terbiasa dengan sikapnya itu dan membiarkan Sukri. Dia benar-benar sebuah misteri. Yang orang tahu adalah Sukri datang ke surau itu, tidur dan mandi di situ. Makannya cukup di warung dan tiap hari Sukri membaca Al-Quran, sembahyang, dan berzikir.

Seorang wanita yang hendak ke sungai sepagi itu, sekonyong saja jatuh pingsan. Lalu sejam kemudian, desa di ujung bukit itu menjadi gempar. Mayat lelaki ditemukan di pinggir sungai. Persis pada kening dan pelipisnya seperti ditembusi peluru. Lebih gempar lagi, setelah diidentifikasi ternyata mayat itu adalah Sukri, lelaki muda yang menempati sebuah pojok di surau.

Oleh karena hal itu, segenap aktivitas desa seperti terhenti. Orang-orang bergerombol bicara soal mayat, soal Sukri. Perkerjaan di sawah yang rutin tak diacuhkan untuk sementara, pekerjaan-pekerjaan ditunda. Soal mayat seperti menghalangi mereka bekerja.

Mereka semua ingin tahu setuntas-tuntasnya perihal mayat Sukri. Tetapi sekali lagi mereka tak pernah tahu, mereka cuma menduga-duga. Alhasil, mereka bersepakat untuk mengentikan segala dugaan dan menyepakati untuk menaruh perasaan kasihan belaka.

Sementara itu, seorang warga desa yang bekerja di kota kebetulan hari itu pulang. Mendengar ada mayat tertembus peluru ditemukan di pinggir sungai, dia seperti memaklumi. Lalu dia bercerita bahwa seorang buronan tengah dicari ke desa itu.

Cerita itu dia dapat dari temannya seorang anggota polisi. Tapi katanya, waktu itu dia tidak percaya betul karena dia tahu bahwa selama ini desanya terkenal tentram dan bebas dari tapak-tapak para buronan.

Lalu warga desa yang lain balik bercerita tentang sikap mayat itu selama di surau, tentu ketika mayat itu masih bernafas.

“Akh, saya rasa itu cuma tameng biar dikira sudah tobat betulan," kata warga desa yang baru pulang itu.

“Tapi di shalat, berzikir, baca kitab suci, saya lihat dengan khusyu sekali. Sampai-sampai dia menangis”.

“Apakah itu bisa dijadikan bukti yang sah, bahwa si mayat sudah tobat betulan? Tidak toh?! Sekarang saya yakin bahwa yang dikatakan teman saya itu benar adanya. Mayat itu pasti buronan yang dicari. Apalagi kata kalian mayat itu bertato”.

Ada warga desa sebagian yang seperti ikut paham dan memaklumi, tapi ada juga yang lain seperti ingin menggugat kenyataan.

“Katakanlah dia memang benar seorang buron, tapi tidak layakkah manusia memberi kesempatan bagi manusia lain untuk memperbaiki diri?" kata yang ingin menggugat itu.

“Memang layak sekali. Memang perbaikan bisa dilaksanakan, tapi apakah bisa dijamin dengan perbaikan itu bisa melenyapkan keburukan sama sekali?”

Orang-orang terdiam, dan satu demi satu membubarkan diri.

Malam-malam kini, saat warga dininabobokan angin pegunungan, tak terdengar lagi suara Sukri membaca Al-Quran. Mereka, warga desa itu, seperti kehilangan. Seperti ada sesuatu yang hilang tapi tak dapat lenyap begitu saja.  

Editor: Udin