Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Upaya PK Hak Setiap Orang

EW Papilaya Akui Diperiksa Tim Kejagung
Oleh : Charles/Lani/Dodo
Selasa | 27-09-2011 | 15:09 WIB
EW.Pavilaya_SH.JPG Honda-Batam

PKP Developer

EW. Papilaya SH Dirut PT TPD. 

TANJUNGPINANG, batamtoday - Direktur PT Terira Pratiwi Development EW. Papilaya SH, mengaku kalau dirinya dipanggil dan diperiksa tim Kejaksaan Agung RI dalam dugaan pemanfaatan lahan negara seluas 1.311 hektare dan penerbitan lima sertifikat HGB di daerah Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari dan Kelurahan Batu IX, Kecamatan Tanjungpinang Timur.

Kendati dirinya mengelak memberikan keterangan atas materi pertanyaan dan jawaban yang diberikan, namun Papilaya menyatakan kalau dirinya menjawab apa adanya, sesuai dengan saat dirinya menjabat sebagai direktur PT TPD yang kini berubah nama menjadi PT Kemayen Bintan.

Papilaya juga mengaku sangat optimis dengan penegakan supremasi hukum di negeri ini. Karena, apa yang dilakukan tim Kejagung RI dengan memanggil orang-orang penting di BPN Kabupaten Bintan dan Kota Tanjungpinang serta tokoh-tokoh masyarakat Dompak, merupakan realita keseriusan aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya dalam penyelidikan sebuah dugaan kasus tindak pidana.

“Kejagung itu suatu lembaga yang cukup prestisius. Jadi mereka melakukan pemanggilan ini, bukan main-main. Tetapi saya belum bisa memberikan banyak komentar, kita lihat saja nanti kebenarannya. Saya dipanggil Kejagung dan ditanya soal pembebasan lahan, penerbitan sertifikat, dan lainnya yang berhubungan dengan itu semua,” kata Papilaya kepada batamtoday di Tanjungpinang.

Disinggung dengan sidang Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan tiga terpidana penambangan ilegal di kawasan lahan PT TPD, Papilaya yang juga merupakan praktisi hukum ini mengatakan kalau upaya itu sah-sah saja, karena setiap orang memiliki hak di mata hukum untuk menempuh dan melakukan PK. 

"PK ini merupakan upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan seseorang, saat yang bersangkutan merasa tidak mendapat keadilan, atas putusan hukum sebelumnya, jadi sah-sah saja," ujarnya.

Persidangan Peninjauan Kembali (PK) kasus penambangan ilegal terhadap tiga terdakwa, masing-masing M. Ridwan, Zurmiyati dan Jendaita Pinem atas putusan Mahkamah Agung  Republik Indonesia (MA RI) No. 112 K/Pid.Sus/2011 tanggal 23 Mei 2011, putusan PT dan PN  telah dilaksanakan di PN Tanjungpinang pada Senin (26/9/2011) kemarin.

Di tempat terpisah, isteri terpidana Jendaita Pinem, Aini Panrangrang, mengatakan dirinya sangat berharap melalui PK yang dimohonkan suaminya pada Mejelis Hakim MA di PN Tanjungpinang itu dapat mengungkap semua fakta dan data secara jujur. 

"Terutama terkait dua peta yang diterbitkan oleh pegawai BPN Kota Tanjungpinang, Arfani, yang tidak bisa dibuktikan dalam persidangan lapangan, serta penggunaan fotokopi sertifikat lahan, yang kemudiaan dinyatakan hilang oleh orang yang mengaku pemilik lahan, hendaknya majelis hakim dapat mempertimbangkan," kata Aini.

Aini juga mengatakan, berdasarkan analoginya sendiri dalam persidangan suaminya bersama dua terpidana lainnya banyak hal yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi.

"Termasuk mengenai barang bukti 50 ribu ton bauksit yang ada di lokasi, yang dalam putusan Hakim diserahakan pada pemilik lahan, tidak sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, atau memang seluruh bumi, air dan segala yang terkandung di dalam bumi Indonesia ini sudah merupakan milik si Suban," katanya berceloteh.

Terkait masalah pokok perkara suaminya, Aini juga menyatakan, kalau putusan Hakim tidak sesuai dengan mencerminkan keadikan sebagaimana UU No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria serta UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, karena dalam putusan hakim PN, dan MA, pelaksanaan UU ini sangat bertolak belakang dengan fakta dan data sebenarnya.