Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Apindo Nilai Inkonsistensi Regulasi Hambat Investasi di Indonesia
Oleh : Irawan
Kamis | 03-11-2016 | 12:38 WIB
Danang-Girindrawardana4.jpg Honda-Batam

Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindra Wardhana. (Foto: Dok)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah diminta berupaya keras memberantas penyakit inkonsistensi dan ketidaksinkronan antarlembaga negara, baik di pusat maupun daerah, terutama terkait kepastian regulasi bagi para pelaku usaha sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan iklim investasi di Indonesia.

Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindra Wardhana mengatakan, tantangan terbesar berinvestasi di Indonesia terletak pada regulasi yang inkonsisten dan tidak bisa diprediksi.

"Inkonsistensi regulasi dan ketidaksinkronan antarlembaga negara membuat pelaku usaha kesulitan melakukan perencanaan investasi di Indonesia," ujar Danang dalam rilis yang diterima BATAMTODAY.COM, Kamis (3/11/2016).

Danang mencontohkan, di tengah upaya pemerintah melakukan deregulasi berbagai kebijakan untuk menyehatkan iklim investasi di Indonesia, muncul Undang-undang (UU) No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang mensyaratkan semua produk harus mendapatkan sertifikasi halal.

"Harus melakukan sertifikasi halal untuk segala jenis produk, tentu akan menambah beban bagi dunia usaha. Inilah salah satu bentuk inskonsistensi regulasi yang ada di Indonesia," ungkapnya.

Jika menginginkan terjadinya reindustrialisasi dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi para investor dalam dan luar negeri, kata Danang, semestinya pemerintah menerapkan regulasi yang konsisten mendukung perbaikan iklim investasi. Pasalnya, dalam melakukan perencanaan investasi, katanya, para pelaku usaha melakukan perhitungan hingga 20 tahun ke depan.

Danang juga mengungkapkan, kementerian dan lembaga dalam jajaran pemerintahan serta pemerintah daerah malah menampilkan citra inkonsistensi pemerintah dalam penrbitan perizinan dan regulasi lainnya.

"Misalnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan telah mencabut regulasi tentang izin gangguan (hinder ordonantie/HO). Namun, pada praktiknya di daerah izin tersebut masih ditagih oleh pemerintah daerah," ujarnya mencontohkan inkonsistensi regulasi di Indonesia.

"Izin ke BKPM cuma tiga jam, tapi untuk mendapatkan persyaratan yang hendak dibawa ke BKPM itu lamanya minta ampun. Tanpa HO, usaha tidak bisa dijalankan," tambahnya.

Pihaknya juga menilai, upaya deregulasi yang dijalankan pemerintah selama ini tidak sejalan dengan pihak legislatif, yang justru kerap membahas regulasi yang mengganggu iklim investasi. Hal ini merujuk pada penyusunan rencana undang-undang (RUU) tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) yang diusulkan oleh Komisi VIII DPR.

"Anehnya, dalam penyusunan RUU ini, pemerintah juga ikut membahasnya. Seharusnya, kalau mau konsisten pemerintah tidak perlu ikut membahas RUU yang diperkirakan bisa mengganggu iklim investasi. Hal ini sudah kami sampaikan ke Wakil Presiden Jusuf Kalla," paparnya.

Mantan Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) ini juga menyoroti pola sosialisasi berbagai paket kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah. "Apindo telah melakukan survei, dan menemukan bahwa hanya 12 persen pelaku usaha yang mengetahui tentang informasi tersebut langsung dari pemerintah. Sisanya, hanya mengetahui dari media," ungkap Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo ini.

Semestinya, Danang menambahkan, pemerintah bisa menyebarluaskan langsung ke para pelaku usaha sehingga mereka bisa melaporkan temuan inkonsistensi pelaksanaan paket kebijakan di lapangan. Upaya ini, katanya, bisa membantu kelompok kerja evaluasi paket kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah.

"BKPM sudah punya data alamat surat elektronik pelaku usaha. Langsung dikirim saja ke email sehingga semua bisa mengetahuinya dan melaporkan kalau terjadi hambatan implementasi paket tersebut," tukasnya. (*)

Editor: Surya