Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peraturan Kapolri Gagalkan Upaya Jegal Ahok
Oleh : Redaksi
Rabu | 02-11-2016 | 15:14 WIB

Oleh Andreawaty

MENJELANG Pilkada serentak tahun 2017 yang diadakan di lebih dari seratus daerah di seluruh Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengeluarkan indeks daerah rawan yakni DKI Jakarta, Aceh, dan Papua. KPU mengharapkan aparat kemanan dan masyarakat peduli Pilkada, mengantisipasi segala bertuk konflik yang mungkin timbul di ketiga daerah itu menjelang, saat dan setelah Pilkada digelar.

Peraturan Kapolri Gagalkan Upaya Jegal AhokMenjadi rahasia umum, calon Petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama lebih dikenal dengan sebutan Ahok, merupakan figur yang dianggap lawan politiknya sebagai faktor utama munculnya berbagai konflik mejelang Pilkada.

Akibat berbagai aksi yang dilakukan Ahok, berbagai pihak ramai-ramai meminta agar dia segera diproses hukum akibat dari perbuatannya yang dianggap melanggar hukum. Menariknya Ahok berpendapat berbagai tuntutan yang dilakukan kelompok tertentu agar aparat negara segera memproses hukum yang bersangkutan, hanya agar dia tidak bisa ikut Pilkada DKI tahun depan. Dengan kata lain Ahok berpendapat lawan-lawan politiknya takut berhadapan dengan dia dan pasangannya (Djarot) dalam perlehatan Pilkada DKI, sehingga berupaya menjegalnya agar tidak ikut Pilkada.

Ketakutan menghadapi Ahok/Djarot bisa jadi didasarkan pada semacam prediksi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan oleh seorang pakar yang sebenarnya sangat berambisi menjadi calon peserta Pilkada DKI namun gagal total. Tidak Parpol atau gabungan Parpol yang bersedia mengusungnya, meski sudah berusaha mendaftar di sejumlah Parpol. Diungkapkan ada deal politik yang dilakukan Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Megawati SP terkait dilantiknya Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala BIN.

Diyakini dengan diajukannya nama Komjen BG sebagai Kepala BIN, maka Megawati akan mendukung Ahok pada Pilkada DKI. Seakan-akan kemudian menjadi semacam pembenaran ketika DPP PDIP kemudian mendukung Ahok berpasangan dengan Djarot sebagai pasangan calon Gubernur DKI. Belakangan muncul pula tuduhan bahwa BIN mendukung Ahok dalam Pilkada DKI dengan membentuk semacam Tim Sukses, Hal itu tentu saja dibantah Kepala BIN, sebagai institusi Negara BIN tidak akan terjebak dalam mendukung pasangan calon tertentu, sebaliknya akan tetap menjaga netralitas dalam gelaran Pilkada DKI Jakarta.

Jika menoleh kebelakang, tuntutan agar Ahok diproses hukum sudah dimulai sejak kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras berlangsung. Saat itu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta menilai terdapat potensi kerugian negara yang cukup besar dalam proses pembelian lahan tersebut, atau terjadi tindak pidana korupsi. Terkait pemberitaan tersebut memang muncul aksi unjuk rasa besar-besaran di kantor KPK meminta agar lembaga anti korupsi tersebut segera meningkatkan hasil penyelidikan menjadi penyidikan.

Namun berdasarkan hasil pemeriksaan Komisi Penberantasan Korupsi (KPK) tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan dalam pembelian lahan tersebut, sehingga Ahok masih lolos dari proses hukum di KPK. Begitu juga dengan proses hukum seorang anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra yang tertangkap tangan KPK terkait proses reklamaasi Teluk Jakarta. Masa yang diperkirakan orang bayaran kembali melakukan aksi di KPK menuntut hal yang sama.

Terbaru adalah buntut dari munculnya video berdurasi kurang dari satu menit di media social yang menujukan Ahok ketika berbica kepada masyarakat Kabupaten Kepualan Seribu agar tetap tenang menggunakan hak suara atau hak konstitusinya dengan netral sambil mengutip ayat Al-Quran dari Surat AlMaidah 51.

Ahok antara lain menyatakan ”… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”.

Sambutan Ahok tersebut justru menimbulkan kecaman dari masyarakat muslim di berbagai daerah, serta aksi unjuk rasa besar-besar dari masa Front Pembela Islam di Jakarta menuntut Kepolisian segera menetapkan Ahok sebagai tersangka kasus penghinaan umat Islam. Terkait berbagai aksi unjuk rasa tersebut Ahok dengan enteng mengatakan intinya mereka kan cuma mau nyeret aku ke penjara.

Ini kan sebagian orang dari gerakan yang mau nyeret saya, mulai dari kasus Sumber Waras, reklamasi, yang bikin anarkis di KPK, kan tujuannya cuma satu, bagaimana supaya Ahok bisa masuk penjara tidak ikut Pilkada.
Bareskrim Mabes Polri menerima pengaduan masyakat tersebut langsung melakukan penyelidikan, namun jika mengacu pada Peraturan Kapolri (Perkap) No. SE/7/VI/2014 yang dikeluarkan pada era Jenderal (Pur) Badrodin Haiti, Ahok baru bisa diperiksa setelah Pilkada berlangsung.

Menurut Pakar Hukum Pidana, berdasarkan Perkap tersebut semua laporan terhadap calon kepala daerah baik bupati,, walikota ataupun gubernur ketika sudah memasuki tahapan Pendaftaran Pemilu ditangani usai Pilkada. Jika kepolisian patuh pada Perkap yang mengatur Pilkada tersebut, maka harapan sebagian besar kelompok yang ingin menggagalkan Ahok tidak bisa ikut Pilkada seperti dituduhkan Ahok terpaksa harus bersabar sampai Pilkada seretak berakhir.

Masyarakat harus menyerahkan permasalahan ini kepada kepolisian sepenuhnya, Polri sendiri harus bertindak profesional agar tidak dituduh sebagai alat politik pihak tertentu. *

Penulis adalah Kontributor LSISI Jakarta