Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme, Harga Mati!
Oleh : Irawan
Rabu | 19-10-2016 | 10:10 WIB
tnilawanteroris.jpg Honda-Batam

Ketua Pansus RUU Terorisme DPR RI Raden Muhammad Syafiie dalam Forum Legislasi RUU Terorisme dan Keterlibatan TNI di Jakarta, Selasa (18/10/2016). (Foto: Irawan)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Tentara Nasional Indonesia (TNI) perlu dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Karena Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror terbukti tidak bisa menjangkau wilayah perbukitan atau pegunungan, laut, udara dan lain-lain, seperti terjadi dalam operasi Tinombala menumpas kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Sehingga, pemberantasan terorisme tidak bisa hanya melibatkan Polri saja, tapi juga perlu melibatkan TNI dan stakeholder lainnya yang berkepentingan.

"Jadi terorisme itu meliputi pencegahan, penindakan, dan penanganan korban. Dengan spirit pemberantasan, penegakan hukum, dan menghormati hak asasi manusia (HAM). Hanya saja yang harus ditegaskan adalah apa itu definisi terorisme? Sebab, terorisme itu bisa by design (rekayasa), sparatisme, dan terorisme sendiri," tegas Ketua Pansus RUU Terorisme DPR RI Raden Muhammad Syafiie dalam Forum Legislasi RUU Terorisme dan Keterlibatan TNI, di Jakarta, Selasa (18/10/2016).

Dalam Forum Legislasi yang juga menghadirkan dua anggota Pansus RUU Terorisme Akbar Faisal dan Muhammad Nasir, serta analis pertahanan dan militer Universitas Indonesia (UI) Connie Rahakundini Bakrie, Romo panggilan akrab Raden Muhammad Syafiie itu, mengatakan, teroris muncul bisa sebagai reaksi terhadap ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan dalam berbagai persoalan masyarakat, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

"Bisa juga akibat pemahaman agama yang salah, maka melibatkan berbagai pihak berkepentingan termasuk TNI. Jadi, TNI dan Polri harus sinergi seperti dalam menangani teroris di Poso, Sulawesi Tengah," kata Romo.

Selain itu, kata politisi Partai Gerindra ini, juga diperlukan dewan pengawas agar dalam menjalankan tugasnya sesuai standar operasional (SOP), termasuk dalam penanganan korban sesuai dengan UU No.31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Jadi, UU ini jangan sampai kehilangan momentum dan mampu menjawab berbagai persoalan ke depan," katanya.

Sedangkan Akbar Faizal mengatakan,TNI dangat dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme ini, karena TNI memiliki kemampuan dan alat pertahanan yang lebih canggih dibanding kepolisian, baik di wilayah laut, darat, dan udara, dan di dalam maupun di luar negeri.

"Jadi, TNI sangat siap dalam pemberantasan terorisme. Kita hanya lemah dalam hal koordinasi," kata politisi Partai Nasdem ini.

Sementara Nasir Djamil mengatakan, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) sebagai koordinator memiliki tugas dan fungsi untuk mengkoordinasikan TNI dan Polri.
Sebab, keberadaan BNPT selama ini belum optimal, padahal Densus 88 mendapatkan pelatihan dari Kopassus, satuan pasukan elit TNI AD.

Sehingga mestinya antara guru (Kopassus) dan murid (Densus 88) harus dlibatkan dalam pemberantasanya terorisme saja, bukan hanya murid saja yang terlibat, sementar sang guru hanya jadi penonton saja.

"Pada prinsipnya negara harus melindungi warganya dari ancaman terorisme, tapi harus menghindari dikte dunia internasional. Negara juga harus menjamin keadilan, kenyamanan, kesejahteraan dan kemakmuran kolektif, serta tidak menjadikan Islam atau umat Islam saja sebagai subyek terorisme," kata politisi PKS ini.

Connie Rahakundini Bakrie menegaskan, kondisi bangsa ini mengharuskan TNI harus bergerak dalam mengamankan NKRI. Sebab, terorisme dalam perpertif TNI tidak saja masalah pidana, tetapi juga sudah masalah ancaman terhadap negara seperti diatur dalam resolusi PBB.

"Resolusi PBB itu tidak hanya pidana, karena kejahatan terorisme tidak saja pidana, melainkan kejahatan massif yang bedampak kepada hancurnya ekonomi, sosial politik dan lain-lain," kata Connie.

Menurutnya, di global saat ini ada ancaman terorisme dan radikalisme, sehingga beberapa negara bergabung dengan Amerika Serikat dan Nato dalam upaya perang terhadap hal itu.

Bagi Indonesia sendiri, lanjut Connie, perlu segera Dewan Keamanan Nasional (National Security Board). Karena itu, ia meminta DPR mendorong pemerintah untuk membentuk Dewan Keamanan Nasional.

"Dewan Keamanan Nasional-lah yang juga merekomendasikan Polri dibawah departemen tertentu tidak bisa langsung dibawah Presiden. Polri dalam upaya pemberantasan terorisme menerima banyak dana dari luar negeri, kalau TNI tidak bisa," katanya.

Connie menilai ada ketidakadilan yang diterima TNI paska reformasi, yakni supremasi sipil yang berlebihan, sementara TNI harus dikembalikan ke barak dan dituntut tetap professional.

"Pasca reformasi ini TNI kecewa, kembali ke barak tapi dibiarkan. Padahal, harus professional. Jadi, supremasi sipil terhadap militer pasca reformasi ini jomplang dan melenceng," tegas analis pertahanan dan militer ini.

Editor: Dardani