Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Di Balik Manuver Diplomasi Indonesia
Oleh : Redaksi
Selasa | 11-10-2016 | 11:38 WIB
menlu.jpg Honda-Batam

Menlu Retno Lestari Priansari Marsudi. (Foto: Okezone)

Oleh Andre Penas

UPAYA yang dilakukan pemerintah Indonesia menarik simpati negara-negara kecil di kawasan Pasific Selatan guna meredam aksi gerakan separatis Papua Merdeka, nampaknya masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Diplomasi Indonesia dilakukan guna memperkuat peran Indonesia di Pasific Selatan menyusul ekspansi yang dilakukan gerakan pembebasan Papua atau United Liberation Mouvement for West Papua (ULMWP) di kawasan itu.

 

Gerakan pembebasan Papua telah mendirikan kantor di Vanuatu, Solomon serta di beberapa kota di Papua antara lain di Wamena Kabupaten Jayawijaya. Pemerintah menyadari perlu menjalin hubungan dengan negara-negara di wilayah tersebut, selain untuk memperbaiki hubungan yang tidak terlalu bagus pada masa lampau, juga dilatarbelakangi munculnya kesadaran bahwa kawasan tersebut berpengaruh terhadap Papua.

Dukungan beberapa negara di kawasan Pasific Selatan terhadap gerakan pembebesan Papua selalu mengangkat masalah pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang dituduhkan kepada aparat keamanan. Beberapa negara kecil di kawasan tersebut menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar melakukan intervensi atas pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri bagi Papua. Pemerintah Indonesia diminta memberi ijin dan membuka akses seluas-luasnya kepada Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berkespresi, maupun Pelapor Khusus Anti Penyiksaan guna melakukan investigasi independen atas situasi tersebut di Papua.

Ketika berpidato dalam Sidang umum ke 71 PBB di New York, enam kepala pemerintahan di Pasific yakni, Presiden Republik Nauru, Baron Divavesi Waqa; Presiden Kepulauan Marshall, Hilda C Heine serta Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas; PM Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare; PM Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga dan PM Tonga, Samiuela Akilisi Pohiva sempat menyerukan kemerdekaan Papua karena Indonesia dituduh melakukan pelanggaran HAM di wilayah tersebut.

Bagi mereka, wilayah Papua merupakan bagian dari rumpun Melanesia juga merupakan bagian dari mereka, sehingga tidak mungkin membiarkan Papua dalam masalah terutama, mengenai pelanggaran HAM. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat, tentu saja tidak bisa menerima tuduhan tersebut. Papua adalah bagian sah dan tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus tetap dijaga dan dipertahankan keberadaannya.

Menanggapi pidato dari ke enam kepala pemerintahan negara Pasific tersebut, Indonesia melalui juru bicaranya seorang Diplomat Muda, Nara Masista Rakhmatia menyampaikan protes resmi. Menurutnya Indonesia terkejut mendengar dimimbar yang sangat penting ini dimana para pemimpin bertemu untuk membahas implementasi awal SDGs, transformasi dari tindakan kolektif kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang akan paling terdampak. Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya.

Mereka betul-betul mencerminkan ketidakpahaman terhadap sejarah, situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris. Pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi-provinsi tersebut yang begitu bersemangat terlibat menganggu ketertiban umum, dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan. Jelas pernyataan yang dibuat oleh negara-negara itu benar-benar melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.

Negara-negara ini sudah menggunakan Majelis Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik mereka, dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan politik dan sosial di negara mereka. Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ngada sebagai landasan pernyataan mereka. Sikap negara-negara ini meremehkan piagam PBB dan membahayakan kredibilitas Majelis ini.

Komitmen Indonesia terhadap HAM tidak perlu dipertanyakan, sebagai anggota pendiri Dewan HAM PBB, dan sudah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode, dan saat ini menjadi anggota keempat kalinya. Indonesia adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah ASEAN, dan komisi independen permanen OIC. Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM, semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional Indonesia, dibanding hanya empat oleh negara Kepulauan Solomon, dan lima oleh negara Vanuatu. Indonesia adalah diantara sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM, dan saat ini generasi keempat dari Rencana tersebut dari 2014 sampai 2019.

Indonesia memiliki Komnas HAM yang aktif dan kuat sejak tahun 1993, masyarakat sipil yang aktif dan media yang bebas. Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya. Dengan demokrasi yang begitu dinamis bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level, hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.

Kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia, juga di tingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Indonesia terus memberi fokus yang sesuai dengan pembangunan di Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua. Sebagai kesimpulan kami sudah mengatakan di kawasan Asia Pasifik, ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada yang lain, jari jempolnya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri.

Yang menarik tanggapan Indonesia disampaikan seorang diplomat yunior baru berusia 34 tahun, menjabat Sekretaris II pada Perwakilan Tetap Indonesia di PBB. Tanggapan yang dibacakan oleh seorang diplomat yunior terhadap pernyataan kepala pemerintahan tertinggi suatu negara, merupakan sebuah tamparan diplomatic keras. Kini namanya dikutip berbagai media internasional, dibalik itu semua kita patut bersyukur bahwa dalam rangka mempertahankan harga diri bangsa di forum internasional muncul angin segar terkait kaderisasi diplomat oleh Kemenlu.

Nampak jelas Kemenlu memberikan kesempatan bagi diplomat muda tampil bertarung diarena manca negara untuk menjajal kemampuannya berdiplomasi. Kita bangga memiliki seorang diplomat muda yang begitu percaya diri melaksanakan tugas negara. Kedepan wanita Indonesia seperi Nara diharapakan bisa berhasil seperti diplomat dunia lainnya yang selalu bisa membuat orang terpaku dan terpaksa harus mau mendengar pernyataannya.

Bantahan Indonesia mendapat dukungan Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato bahwa sikap negaranya menganggap Papua adalah bagian integral dari Indonesia. Menurutnya keberadaan Gerakan Papua Barat Merdeka membuat dampak negatif terhadap negara-negara pasifik. Kini negara pasifik terbagi menjadi dua kubu yaitu, kubu yang mendukung Gerakan Papua Barat Merdeka, seperti Solomon Island, Vanuatu, New Caledonia dan lain-lain, serta negara yang menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia seperti, Papua Nugini dan Fiji. Negara-negara pasifik sekarang terpecah belah akibat keberadaan Gerakan Papua Barat Merdeka. Selain itu, kubu pendukung Gerakan Papua Barat Merdeka juga terkesan sangat memaksakan kehendaknya dan tidak menerima kalau ada negara lain di Pasifik yang tidak setuju dengan keputusan mereka.

Dibalik itu disayangkan dari dalam negeri ada kelompok tertentu mendukung pernyataan keprihatinan enam negara Pasific terkait terjadinya pelanggaran HAM di Papua. Pernyataan para pemimpin enam negara Pasific itu sudah pasti didasari pada laporan dari berbagai lembaga HAM lokal di tanah Papua dan Jakarta maupun dari luar negeri yang sangat tendensius. Advokad dan Pembela HAM di Papua bahkan menyerukan Presiden Barak Obama serta negara besar lainnya agar memberi dukungan bagi PBB mengirimkan Pelapor Khusus untuk Penyiksaan dan Kebebasan Berkerpresi ke Papua sebelum Desember 2016.

Sementara itu Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta justru mengkritik pernyataan wakil Indonesia dalan Sidang Umum PBB. Menurut LBH Jakarta, data yang dihimpun dari jaringan yang ada di Papua sejak April 2016 hingga September 2016 saja telah terjadi penangkapan disertai intimidasi dan tindak kekerasan terhadap 2.282 orang Papua yang sedang melakukan aksi damai.

Dari serangkaian bentuk penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan di Papua, pemerintah Indonesia sama sekali tidak hadir dan justru menganggap masyarakat Papua yang menyampaikan aspirasi secara damai sebagai pembrontak atau kelompok separatis. Indonesia diilai tidak serius mengungkap dan mengusut pelanggaran HAM di Papua dan jelas bertolak belakang dengan pernyataan Indonesia melalui perwakilannya dalam Sidang Umum PBB.

Bahkan disebutkan pernyataan dalam SU PBB sebagai upya menutupi berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Terlihat ada kesamaan pandangan antara Pemimpin enam negara Pasific yang menyerang Indonesi di Sidang Umum PBB dengan sikap dan pernyataan pelapor HAM dari dalam negeri. Nampaknya merekia tidak bisa membedakan antara penegakkan hukum dengan pelanggaran HAM. Sikap aparat keamanan menegakkan hukum dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM. Mereka mestinya menyadari meski saudara-saudara kita asal Papua melakukan aksi secara damai, tetapi dengan menyuarakan kemerdekaan Papua terpisah dari NKRI pasti akan ditindak dan diproses sesuai hukum yang berlaku.

Di Maluku saja setiap ketahuan adanya penaikkan bendera Benang Raja oleh simpatisan gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), pelakunya langsung ditangkap dan diproses hukum, masyarakat Maluku sendiri menganggapnya sebagai bentuk penegakkan hukum dan bukan pelanggaran HAM. Hal yang sama juga diterapkan terhadap aparat penegak hukum terhadap orang Papua.

Patut dicatat pemeritah terus berupaya memberikan perlindungan HAM terhadap setiap warga negara dimanapun berada. Karena itu jika mengetahui adanya pelanggaran HAM, penggiat HAM dapat melaporkannya untuk diselesaikan menurut norma hukum yang berlaku. Pemerintahan Jokowi sedang berusaha menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi di masa lalu, mari kita dukung bersama. *

Penulis adalah Pengamat Masalah Hubungan Internasional