Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gereja Pasar Minggu, Cerminan Rumitnya Izin Tempat Ibadah
Oleh : Redaksi
Sabtu | 08-10-2016 | 17:13 WIB
gereja-pasar-minggu1.jpg Honda-Batam

Bangunan gereja GBKP telah berdiri di Tanjung Barat sejak 1994. Namun, akhir September lalu jemaat gereja itu dilarang beribadah di sana karena urusan IMB. (CNN Indonesia/Safir Makki)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Keresahan menyelimuti hati ratusan jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu, Jakarta, selama tiga bulan terakhir. Mereka khawatir didatangi kelompok masyarakat tertentu yang menolak keberadaan gereja mereka.

Ketakutan itu menjadi kenyataan. Pada 27 September lalu, gereja mereka disegel. Lurah Tanjung Barat Debby Novita Andriany menerbitkan surat perintah penghentian seluruh kegiatan gereja.

"Keadaan seperti ini sudah berjalan sejak tiga atau empat bulan terakhir. Ini bisa berakibat buruk pada mental jemaat," kata pendeta GBKP Pasar Minggu, Penrad Siagian, Jumat (7/10/2016).

GBKP Pasar Minggu berdiri di atas tanah seluas 864 meter persegi. Tanah itu dibeli seorang jemaat bernama Maruhun Janangkih Pinem pada 1994.

24 September 1995 menjadi hari bersejerah bagi GBKP Pasar Minggu. Untuk pertama kalinya, kidung pujian terlantun di gereja tersebut. Sejak saat itu, ibadah rutin diselenggarakan setiap hari Minggu.

Tanah tempat GBKP Pasar Minggu berdiri akhirnya memiliki sertifikat hak milik pada 1 Desember 1999 bernomor 2905. Sertifikat itu dikeluarkan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Selatan saat itu, Hari Widiarto.

Sertifikat hak milik atas tanah tidak cukup melegitimasi pendirian gereja. GBKP lantas mengurus surat izin mendirikan bangunan (IMB) untuk rumah ibadah kepada Pemprov pada 27 Oktober 2004.

Namun, pada 14 Februari 2005, yang dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso, justru IMB mendirikan bangunan baru dan kantor bernomor 01439/IMB/2005.

Persoalan muncul ketika pengelola merevonasi bangunan GBKP Pasar Minggu pada Januari 2006. Sekelompok orang berunjuk rasa mendesak penutupan gereja.

Jemaat GBKP pun dilarang menyelenggarakan kegiatan kerohanian. "Peristiwa itu terjadi 12 Maret 2006," kata Penrad. Sejak saat itu, seluruh aktivitas kerohanian GBKP berhenti.

Pertengahan 2010, umat GBKP Pasar Minggu kembali berusaha mendapatkan legitimasi bangunan gereja. Mereka mengajukan surat permohonan tempat beribadah kepada Gubernur DKI Jakarta.

Namun, tiga gubernur DKI Jakarta selama enam tahun terakhir tidak menjawab surat permohonan tersebut. Surat itu diabaikan, hingga jemaat akhirnya memutuskan kembali beribadah di gereja mereka, 22 Mei silam.

Belakangan, Lurah Tanjung Barat Debby Novita menganggap jemaat GBKP Pasar Minggu bukanlah penduduk setempat. Debby mencatat, hanya 11 dari 105 jemaat gereja itu yang berdomisili di Tanjung Barat.

Fakta itu tidak sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang menyebutkan rumah ibadah harus menjadi ruang bagi setidaknya 90 umat yang tercatat sebagai penduduk setempat.

Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi menyatakan, umat GBKP Pasar Minggu memang tidak mungkin lagi melantunkan kidung pujian di Tanjung Barat. "Sulit karena 500 warga tanda tangan menolak ada gereja di situ," ujarnya.

Pekan ini, Menteri Lukman Hakim Saifuddin meminta Ahok untuk tidak membiarkan persoalan GBKP berlarut-larut. Ia berkata, Ahok sepatutnya berperan menjadi mediator antara kelompok masyarakat yang bertentangan.

"Di sinilah perlunya kepala daerah untuk bisa memfasilitasi rumah ibadah di tempat lain, kalau memang ada masyarakat yang tidak setuju," ucapnya.

Setelah bertemu Ahok di Balai Kota Jakarta, jemaat GBKP dipersilakan menggunakan kantor Kecamatan Jagakarsa sebagai tempat ibadah sementara. Di sisi lain, ia memerintahkan Tri untuk mengurus IMB GBKP Pasar Minggu yang selama ini terbengkalai.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Yudha