Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Lembaga Survei Mendesak Diatur dan Diakreditasi
Oleh : Irawan
Kamis | 06-10-2016 | 20:13 WIB
Diskusi-DPR-061016-Ak-1.JPG Honda-Batam

Dialektika Demokrasi "Menguji Integritas Lembaga Survei Menjelang Pilkada’ bersama anggota Komisi II DPR RI FPDIP Rahmat Hamka, peneliti utama LIPI Siti Zuhro, dan Philips J. Vermonte dari CSIS di Gedung DPR RI Jakarta (Foto: Antara)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria meminta ke depan lembaga survei harus diatur dan mulai diakreditasi agar hasil surveinya dalam setiap Pemilu, Pilpres dan Pilkada bisa dipertanggungjawabkan.

 

Namun, akreditasi itu dilakukan secara bertahap agar tidak setiap Pemilu tiba-tiba ada lembaga survei baru yang bermunculan.

"Keberadaan survei ini penting di era modern. Seperti halnya di Amerika Serikat yang mengacu kepada hasil survei dalam Pilpres, dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Karena itu lembaga ini perlu diatur secara bertahap, misalnya dengan diakreditasi dan sebagainya," tegas politisi Gerindra itu dalam dialektika demokrasi "Menguji Integritas Lembaga Survei Menjelang Pilkada’ bersama anggota Komisi II DPR RI FPDIP Rahmat Hamka, peneliti utama LIPI Siti Zuhro, dan Philips J. Vermonte dari CSIS di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (6/10/2016).

Hanya saja kata Riza, lembaga survei yang berkembang di Indonesia belakangan ini, cenderung menjadi tim sukses dan konsultan.

"Itu boleh saja disorder, yang penting hasilnya tetap bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu perlu pengaturan karena lembaga ini lembaga ilmiah, intelektual, dan professional, sehingga tidak boleh berpihak, tetap harus obyektif dan menjaga integritas," ujarnya.

Menurut Riza, mengingat lembaga itu penting untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dan mengawal demokrasi yang sehat, maka lembaga ini harus jauh dari kepentingan materi dan untuk nasionalisme.

“Prinsipnya lembaga survei boleh diorder, asal hasilnya tidak manipulatife, meski untuk obyek survei bisa diatur di wilayah mana yang banyak mendukung si A, B, C dan sebagainya," katanya.

Philips mengatakan jika survei itu membantu masyarakat khususnya calon pimpinan, kalau dalam surveinya rendah, maka sebaiknya tidak maju, karena peluangnya tipis. Tapi, meski hasil surveinya rendah belum tentu kalah.

Sebab, masih bisa didongkrak dengan merubah metodologi surveinya. Seperti kasus Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pilpres 2004, dari 6 % sampai sukses menjadi presiden terpilih.

Namun, kata Philips lembaga ini tidak perlu diatur, karena yang akan menilai adalag masyarakat. Cukup meningkatkan transparansi dan terus mendorong kajian ilmiah.

"Memang saat ini banyak lembaga survei muncul dan tidak kredibel, tapi media tetap memuat hasil surveinya. Untuk CSIS kita serahkan data mentah silakan diolah sendiri," katanya.

Harus transparan
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Rahmat Hamka mengatakan selain independen lembaga survei yang penting adalah transparan dalam hal pendanaan. Sebab, kalau lembaga survei ini merupakan bagian dari parpol atau calon kepela daerah, maka hasilnya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara politik dan hukum.

"Harus ada kejujuran, integritas dalam mengelola data, apalagi ada margin error sampai 4 % lebih, yang selalu bisa dimainkan dengan angka-angka survei. Makanya ada ruang publik untuk menggugat hasil survei ke pengadilan. Kalau tidak, lembaga survei bisa menghalalkan segala cara untuk memenangkan calonnya," tegas Hamka.

Sedangkan peneliti LIPI Siti Zuhro mengakui jika dirinya sejak tahun 2008 kurang mempercayai hasil survei, karena sudah tidak lagi membela yang benar, melainkan membela yang bayar.

"Pada 1999 tidak ada lembaga survei, dan baru muncul tahun 2004 saat Pilpres SBY dan 2005 saat Pilkada. Tapi, hasil survei itu justru menimbulkan konflik, karena margin error 5 %, yang bisa dimanfaatkan untuk memenangkan calon tertentu," jelasnya.

Karena itu kata Siti, lembaga survei itu harus professional, kalau tidak maka telah melakukan kebohongan public.

"Jadi, parpol, media, dan lembaga survei harus professional, transparan dan akuntabel. Boleh mencari uang, namun harus proporsional dan tidak menghalalkan segala cara. Kalau tidak, maka kita akan sulit membangun konsolidasi demokrasi ini," pungkasnya.

Editor: Surya