Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Revisi UU ITE Ditargetkan Dibawa ke Paripurna DPR 28 Oktober
Oleh : Roland Hasudungan Aritonang
Selasa | 04-10-2016 | 16:16 WIB
Syaifullah-Tamliha11.jpg Honda-Batam

Anggota Komisi I DPR RI FPPP Syaifullah Tamliha

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI FPPP Syaifullah Tamliha optimis RUU Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE) akan dibawa ke paripurna DPR RI pada 28 Oktober 2016 mendatang untuk disahkan.

Saat ini sudah tidak ada perbedaan mendasar antara DPR RI dan pemerintah yang mengusulkan RUU ITE yang terdiri dari 75 daftar inventarisasi masalah (DIM) tersebut.

"Pembahasan RUU ITE itu tidak ada perubahan mendasar antara DPR dan pemerintah, maka sebelum 28 Oktober nanti sudah akan dibawa ke paripurna DPR RI untuk disahkan," tegas Syaifullah Tamliha dalam forum legislasi "Mendesak RUU ITE Disahkan" bersama Ketua Panja RUU ITE Pemerintah dari Komenterian Komunukasi dan Informasi (Kominfo) Henri Subiakto, dan pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (4/10/2016).

Menurut Tamliha, yang terpenting jangan sampai RUU ITE itu dilakukan revisi hanya mengikuti perkembangan media sosial (Medsos). Namun, kata Syaifullah, RUU ITE ini juga harus mengakomodir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dikabulkannya gugatan Ketua Umum Golkar Setya Novanto, terkait rekaman saham Freeport yang diadukan oleh mantan menteri ESDM Sudirman Said tersebut.

Dalam revisi UU ITE ini, lanjutnya, hanya 4 pasal yang berubah, dan 2 pasal tambahan. Sedangkan pasal 27 (3) sudah diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP berdasarkan delik aduan.

Sementara pasal 31 terkait intersepsi, penyadapan serta menghapus ayat (4) sesuai dengan putusan MK No.5/PUU-VIII/2016 dimana penyadapan merupakan pelanggaran HAM sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, maka jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara harus dalam bentuk UU, dan bukan dalam bentuk peraturan pemeirntah (PP).

Pasal 45 diubah terkait ketentuan pidana terhadap pelanggaran dalam pasal 27 ayat (3) mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Sanksi pidana terhadap pelanggaran pasal 27 itu yang semula dipidana 6 tahun atau denda Rp 1 miliar, diubah menjadi 4 tahun dana tau denda Rp 750 juta. Untuk tambahan 2 pasal, yaitu pasal 45 A dan 45B, namun hanya terkait penulisan dalam UU.

Sedangkan Henri Subiakto mengatakan, jika revisi UU ITE ini belum juga disahkan sampai akhir Desember 2016 nanti, maka UU ITE yang lama tetap yang berlaku. Tetapi, khusus terkait pencemaran nama baik dalam pasal 27 UU ITE tersebut, polisi tidak boleh lagi melakukan penahanan sebelum ada keputusan pengadilan.

Sementara menyangkut situs yang bisa diakses oleh publik, menurut Henri, bisa dikenakan UU ITE ini apabila ada persoalan. Yakni baik situs yang dibuat di dalam negeri maupun di luar negeri (extra territorial). Termasuk situs yang disebut abal-abal.

"Dulu Kominfo menutup 22 situs yang dinilai bertentangan dengan NKRI dan Pancasila, dan hanya satu dua pemilik situs yang protes ke Kominfo RI, selebihnya berarti abal-abal. Bahkan ada yang dibuat di Suriah, dan negara Timur Tengah lainnya," kata Henry.

Sejauh itu RUU ITE ini lebih demokratis dimana pemerintah tetap melindungi kepentingan umum dengan mem-block medsos atau situs yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. "Jadi, pemerintah berwenang melakukan pencegahan dan penegakan hokum," katanya.

Irmanputra Sidin menegaskan, pasal 27 UU ITE menimbulkan dampak yang dahsyat dan tanpa batas, dimana negara tidak mampu untuk mengontrol seseorang. Instrumen pidana sebenarnya untuk mengawal hak-hak martabat seseorang, yang sebelumnya gugatan tersebut selalu ditolak oleh MK.

Karena itu, dengan revisi UU ini jangan sampai hak-hak orang terus terancam. Dimana pasal 27 UU ITE tersebut secara konstitusi tidak ada masalah, dan hanya masalah implementasi. Seperti tak boleh ditahan sebelum ada putusan pengadilan.

Irmanputra mengatakan, dalam mengadili kasus ini penegak hukum harus menghilangkan hak-hak subyektifnya untuk mempermudah hak-hak orang lain. Sehingga perlu merubah paradigma untuk mempersulit paradigma penahanan itu dipersulit melalui revisi UU KUHP, bukan UU ITE.

"Jadi, tanpa revisi UU ITE ini tetap bisa ditegakkan menjelang Pilkada untuk mencegah pencemaran nama baik seseorang. Bahwa yang menjadi masalah adalah implementasi penegakan hokum pidana itu yang harus direvisi," tegas Irman.

Editor: Surya