Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Dukung Upaya untuk Hidupkan Kembali Penataran P4
Oleh : Irawan
Senin | 03-10-2016 | 16:38 WIB
Abdul-Kadir-Karding.jpg Honda-Batam

Ketua FPKB MPR Abdul Kadir Karding MPR RI

BATAMTODAY.COM, Jakata - Ketua FPKB MPR Abdul Kadir Karding MPR RI mendukung upaya untuk dihidupkannya kembali Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), serta menjadikan Pancasila sebagai kurikulum pendidikan nasional.

Demikian disampaikan Ketua FPKB MPR RI Abdul Kadir Karding dalam Dialog Kebansgaan MPR RI bersama pengamat politik Yudi Latief di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (3/10/2016).

Menurut Karding, selain menghidupkan penataran P4 dengan formula yang baru dan kurikulum pendidikan, juga diperlukan penguatan sumber daya manusia (SDM) utamanya di semua aspek kelembagaan negara.

"Misalnya jangan sampai kebiajakan, peraturan, UU dan sebagainya yang dihasilkan akibat intervensi asing, korporasi, dan kepentingan modal yang masuk secara halus ke penyelenggara negara dari pusat sampai daerah, kepala negara, kepala daerah, pembuat UU, yaitu DPR RI dan pemerintah," kata Karding.

Saat ini, lanjutnya, implementasi nilai-nilai Pancasila kering dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yakni baik yang dilakukan oleh pejabat negara, pejabat partai politik, tokoh masyarakat, akademisi, bahkan orang tua di dalam keluarga, dan sebagainya

Karena itu, kata Sekjen DPP PKB, diperluka keteladanan dari pemimpin negara di semua tingkatan, dan pemimpin masyarakat untuk tidak mempertontonkan kehidupan hedonisme, bermewah-mewah, individualistik, egositik, cuek lingkungan dan lainnya, yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

"Jadi, ber-Pancasila, kesadaran kolektif dalam kehidupan berbamasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini harus dihidupkan kembali," jelas Karding.

Sementara dalam politik terkait jabatan publik masyarakat, menurut Karding, parpol harus melakukan rekrutmen calon pemimpin nasional dan daerah secera selektif, agar menghasilkan pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab kepada rakyatnya.

"Saat ini saya sendiri prihatin, karena bukan saja pemimpin, menjadi Caleg saja semua pakai uang, dan masyarakat senang dengan itu, bagaimana? Inilah yang mesti kita perbaiki bersama," pungkasnya.

Sedangkan Yudi Latief menilai pasca reformasi ini, selain tidak ada P4 dan juga minimnya kurikulum Pancasila di sekolah. Pancasila, lanjutnya, hanya dijadikan sebagai pandangan hidup, dibaca dan dihafal saja, tapi tidak dijadikan sebagai pendirian hidup, yaitu perilaku nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal itu karena Pancasila itu sakti, yaitu tahan banting oleh waktu dan nilai-nilai ideal dasar manusia, jasmani, rohani, universal dan partikuler.

"Yaitu, filsafat keseimbangan antara spiritualitas dan materialitas. Untuk itu, kalau pembangunan ini terlalu menekankan kepada spiritualitas maupun materialitas maka akan gagal. Individualidualitas dalam kapitalisme juga gagal, dan melupakan kebersamaan malah melahirkan kekejaman, keserakahan, dan anti kemanusiaan, sosialisme dan komunisme juga ambruk. Jadi, mengelola negara itu harus seimbang antara jasmani dan rohani," tambahnya.

Karena itu kata Yudi, Pancasila itu harus dilembagakan dalam social, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, sehingga berkepribadian dalam budaya, berdaulat dalam politik, dan mandiri dalam ekonomi.

Nah, revolusi mental itu bagaimana nilai-nilai Pancasila itu menjadi pola piker (mainset) dalam kehidupan sehar-hari.

"Harus menjadi life style (gaya hidup, perilaku). Sekarang ini Pancasila hanya diajarkan, tapi tidak menjadi perilaku," ungkapnya.

Khusus untuk P4 menurut Yudi Latief, hanya metodologinya yang harus diperbarui, yaitu tidak terlalu deduktif, monoton, dan doktrinasi. Melainkan lebih induktif, pendekatan kehidupan nyata sehari-hari di masyarakat dan mendorong anak-anak untuk memahami dan melakukan kehidupan nyata tersebut.

"Tapi, untuk P4 ini harus terlebih dulu dilakukan untuk penyelenggara negara, karena masih banyak pejabat negara termasuk anggota DPR RI sebagai politisi jumping, yaitu tanpa modal politik wawasan kebangsaan. Sehingga perilakunya dalam menjalankan tugas dan fungsinya belum mencerminkan Pancasila," tandasnya.

Editor: Surya