Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bersama Mewaspadai Kerawanan Pilkada Serentak 2017
Oleh : Redaksi
Sabtu | 24-09-2016 | 09:25 WIB
Pilkada-Serentak 2017.jpg Honda-Batam

Ilustrasi Pilkada Serentak 2017. (Foto: Ist)

Oleh Amril Jambak

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) serentak merupakan sistem yang dianggap paling demokratis. Pada pelaksanaan ini, rakyat secara langsung memilih kepala daerahnya sehingga dapat secara langsung mengawasi pola kepemimpinan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pilkada Serentak merupakan bentuk implementasi desentralisasi politik.

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak gelombang kedua pada 15 Februari 2017. Pilkada diikuti 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Untuk provinsi, pilkada digelar di Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Provinsi Papua Barat (7 provinsi). Sedangkan pelaksanaan kabupaten digelar di 76 kabupaten, dan 18 kota.

Kita tidak menginginkan adanya konflik dalam pelaksanaan pilkada di daerah di Tanah Air. Tentunya semua pihak, termasuk lembaga pelaksana pilkada pun tidak menginginkan ini terjadi.

Akan tetapi, jika hanya larut dengan menyatakan tidak ingin adanya konflik, tanpa mencarikan solusi yang tepat, barang tentu ini akan terjadi. Karena banyak titik-titik rawan yang bisa memicu konflik pelaksanaan pilkada. Disinilah dituntut kewaspadaan yang lebih tinggi dari jajaran pengawas pemilihan (Panwaslih).

Ada beberapa persoalan yang bisa memicu konflik dalam pilkada, seperti penyalahgunaan atau penyelewengan anggaran pemerintah serta pembelokan program pemda ke arah kampanye terselubung petahana sangatlah berpeluang terjadi.

Dalam hal ini tidak hanya kampanye petahana yang perlu diwaspadai, tapi juga kemungkinan majunya para pejabat daerah sebagai pesaing incumbent, seperti wakil gubernur, wakil bupati/wali kota, juga sekda dan asisten.

Tentunya ini pun perlu diawasi khusus dengan lebih maksimal agar mareka tidak menggunakan kewenanganya untuk kepentingan pribadi atau golongan dalam pemenangan pilkada nantinya.

Potensi kerawanan pelanggaran yang berpotensi muncul, menurutnya, antara lain penyalahgunaan APBD sebagai uang negara milik rakyat, dan pengerahan pegawai negeri sipil (PNS) ke tempat kampanye atau bahkan menjadi tim sukses.

Dari data yang diperoleh, pilkada serentak tahun 2017, sebagian besar kepala daerah maju lagi dengan wakilnya yang sekarang, atau wakilnya maju sendiri, ditambah pejabat struktural, misalnya, pejabat sekda/asisten yang juga ikut mencalon. Ini akan membuat cukup tinggi tingkat kerawanan dalam hal penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam jabatannya. Bakal ada potensi bias antara program pemerintah lokal dengan kampanye mereka. Keadaan semacam ini penting untuk dikawal, agar pilkada bisa berjalan demokratis, aman, serta damai.

Sebetulnya, Pasal 71 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sudah sangat tegas mengatur tentang pilkada. Penyelenggaraan pilkada bisa dikatakan sukses apabila memenuhi tiga syarat. Yakni, penyelenggara pemilu yang netral, pemilih yang cerdas, dan birokrasi yang netral.

Di sisi lain, konflik pilkada, biasanya muncul karena empat faktor. Yakni, penyelenggara yang tidak profesional, ada kecurangan atas ketidaknetralan, data pemilih yang tidak akurat dan rawan dimanfaatkan oleh kandidat dari petahana, dan mobilisasi pemilih dari yang belum cukup usia, termasuk mobilisasi dari luar daerah, khususnya daerah perbatasan.

Namun semua itu, ia yakin bisa diatasi jika penyelenggara profesional, pengawasan dan penegakan hukum cukup kuat. Untuk mengantisipasi ini agar jangan terjadi, panitia pengawas pemilihan serta masyarakat sipil haruslah serius mengawasi proses pilkada yang melibatkan petahana karena rawan penggunaan fasilitas negara.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini juga mengungkapkan sejumlah titik rawan Pilkada yang perlu diwaspadai oleh penyelenggara Pilkada jelang pemungutan suara.

Titik rawan yang disoroti Titi, antara lain soal anggaran Pilkada serentak yang belum beres, calon kepala terpidana yang berstatus bebas bersyarat, politisasi APBD dan dana desa khususnya calon kepala daerah incumben, dan kualitas Daftar Pemilih Tetap.

Persoalan penegakan hukum dalam pilkada juga belum didesain dengan baik. Misalnya, politik uang dalam pilkada dilarang, namun tidak ada pasal pidananya, katanya disitat dari beritasatu.com.

Pada akhirnya, kita meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) untuk terus menjagai profesionalitas dan independensi sebagai penyelenggara pemilu. Lembaga-lembaga itu diharapkan tetap jujur dan adil agar pelaksanaan Pilkada Serentak berlangsung dengan jujur dan adil.

Kepada aparat keamanan, agar lebih pro aktif dalam menjaga ketertiban dan keamanan. Tentunya langkah-langkah ini terlaksana dengan kerja sama yang baik antar lembaga dan langkah antisipatif hingga gangguan keamanan sudah bisa dicegah lebih awal.

Kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menjaga netralitas dan memantau pelaksanaan Pilkada Serentak di daerah masing-masing. Kepada para gubernur, bupati dan walikota diimbau untuk mengedepankan etika politik serta mengajak rakyat untuk berdemokrasi dalam kegembiraan dan keriangan. ***

Penulis adalah Peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)