Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Reklamasi Berbuah Somasi untuk Menko Luhut
Oleh : Redaksi
Sabtu | 17-09-2016 | 08:00 WIB
somasi_reklamasibybbcindonesia.jpg Honda-Batam

Pembacaan somasi terbuka untuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Luhut B Pandjaitan terkait keputusan melanjutkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. (Foto: BBC Indonesia)

KEPUTUSAN kontroversial Menteri Koordinator Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Pandjaitan untuk melanjutkan proyek reklamasi sejumlah pulau buatan di Teluk Jakarta disambut somasi terbuka yang diajukan oleh nelayan serta kelompok masyarakat.

 

Somasi terbuka tersebut dibacakan Jumat (16/09), dan menuntut agar Luhut sebagai Menko Maritim menghormati putusan Pengadilan Tata Usaha Negara pada Mei 2016 lalu terkait reklamasi Pulau G yang memutuskan untuk menunda pelaksanaan pemberian izin pelaksanaan reklamasi sampai ada perkara berkekuatan hukum tetap.

Sebelumnya -setelah pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok- Luhut mengatakan bahwa putusan hukum terhadap Pulau G sebagai salah-satu aspek yang kami dengar tidak masalah, karena belum ada ketetapan hukum tetap.

"Kesimpulan sementara, tidak ada alasan kami untuk tidak meneruskan reklamasi di pantai utara Jakarta," kata Luhut, Selasa (13/09) malam.

Namun hal ini dibantah oleh Pengacara Publik YLBHI, Wahyu Nandang Herawan. Setelah pembacaan somasi, Nandang mengatakan bahwa pernyataan Luhut tersebut seolah "membiaskan" berbagai persoalan hukum yang ada di seputar reklamasi.

"Satu, terkait masalah suap-menyuap (PT Muara) Wisesa dengan Sanusi, itu terkait apa? Terkait rencana wilayah pulau-pulau kecil kan, yang menjadi dasar keluarnya izin reklamasi. Yang kedua terkait kontribusi 15 persen (dari pengembang), ada nggak dasar hukumnya? Yang ketiga, terkait gugatan ini (reklamasi di PTUN), artinya masih jalan."

"Terkait keputusan ini ada tiga hal yang dibiaskan, masalah-masalah hukum yang ada seolah-olah tidak ada masalah," jelas Nandang.

Dia juga menambahkan bahwa keputusan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberi rekomendasi moratorium untuk reklamasi. "Ini ditentang semua," kata Nandang.

Sementara itu Arieska Kurniawaty dari Solidaritas Perempuan mengeluhkan tidak transparannya hasil kajian yang menjadi dasar pertimbangan Menko Maritim dalam mengambil keputusan.

"Kita tidak pernah tahu apa dasar dia (Luhut) mengatakan (reklamasi) tidak ada masalah, karena hingga hari ini hasil pengkajian yang dilakukan oleh tim komite bersama tidak pernah bisa diakses oleh masyarakat," kata Arieska.

Menurutnya, bahkan ketika Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta meminta secara resmi kajian tersebut dan juga mengajukan surat keberatan karena tak ada respons, mereka tetap tidak mendapat jawaban.

"Keputusannya (Luhut) atas dasar apa, kajian apa, oleh siapa. Ketika Luhut menyatakan memerintahkan prioritas nelayan, nelayan yang mana, gimana bisa tahu bahwa yang dibutuhkan itu adalah rumah susun, atau kapal besar?" kata Arieska lagi.


Minimnya pelibatan nelayan setempat dalam rencana reklamasi tersebut dibenarkan oleh Iwan, seorang perwakilan nelayan Muara Angke.

"Pertanyaan nelayan itu cuma bertanya-tanya, untuk siapa, dan nelayan itu mau dikemanakan kalau ada pengurukan, bendungan itu. Nelayan jelas terusir dari Teluk Jakarta," kata Iwan.

Adapun Parid Ridwanuddin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA mengatakan bahwa proyek reklamasi nantinya tidak hanya bermasalah secara lingkungan bagi nelayan di Teluk Jakarta, tapi juga bagi nelayan di lokasi-lokasi di mana pasir reklamasi tersebut diambil.

"Karena butuh pasir yang banyak, hitungannya 1 hektare itu butuh 5000 sekian meter kubik, kalikan. Misalnya Pulau G ini lebih dari 6000 hektare, kalikan saja, ketahuan angkanya. Nah dari mana pasir ini diambil? Tentu ini kan butuh banyak" kata Parid. Salah satu lokasinya, menurut Parid, ada di Pulau Tunda, Teluk Banten.

Dari penelitian yang dilakukan organisasinya, menurut Parid, ada perubahan hasil tangkapan dari sebelum penambangan pasir dan sesudahnya, yaitu antara 30 ton ikan per bulan, dan pasca-reklamasi "hanya 4 ton per bulan", selain itu juga cumi-cumi semakin sulit ditangkap karena habitatnya terganggu.

Sebelumnya, usai pertemuan dengan Gubernur Ahok pada Selasa (13/09) malam, Menko Maritim Luhut Pandjaitan mengatakan pihaknya sudah melakukan kajian dan mendengarkan masukan berbagai pihak terkait, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Semua aspek sudah kita dengerin, termasuk Lingkungan Hidup, PLN, BPPT, KKP, DKI dan aspek hukumnya," ungkapnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan keputusan akhir proyek pulau buatan bergantung pada hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Menko Luhut juga mengatakan khusus kepada nelayan di kawasan reklamasi, pemerintah akan memberikan bantuan berupa hunian di rumah susun bagi sekitar 12.000 nelayan. "Perintah presiden, nelayan harus menjadi prioritas," tegasnya.

Sementara terkait kompensasi bagi nelayan, Gubernur Ahok menjelaskan di sepanjang pesisir utara nanti akan dibuat tanggul dan rumah susun (rusun) bagi nelayan, yang kelak akan disewa dengan subsidi dari pemerintah, tambah Ahok.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Dardani