Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Provokasi dari Barat
Oleh : Opini
Rabu | 27-07-2016 | 12:26 WIB
bendera-bintang-kejora.jpg Honda-Batam

(Foto: istimewa)

Oleh: Aar Ndog*

BELAKANGAN ini Kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sering melakukan aksi demo dengan menyampaikan tuntutan-tuntutan kepada Pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah perubahan status United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) yang mana sebelumnya berstatus sebagai observer agar berubah menjadi anggota tetap Melanesian Speard Group (MSG).

 

KNPB mengatasnamakan seluruh rakyat Papua dalam upayanya melancarkan kemerdekaan Papua. Namun, kesepemahanan KNPB dengan rakyat Papua sendiri masih gamang dan kabur. Belum jelas apakah KNPB benar-benar mengerti dan memahami rakyat Papua sepenuhnya.

Sem Ukago (Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Wilayah Timika) mengatakan, pertemuan yang akan dilakukan di Honiara, Solomon Island pada tanggal 14-16 Juli 2016 beberapa hari mendatang untuk membicarakan persoalan Pimpinan MSG dan akan menanyakan kesiapan ULMWP dan Indonesia. Selanjutnya warga Papua akan berteriak Papua Merdeka di jalanan untuk mendukung ULMWP di Forum MSG. Oleh sebab itu, KNPB wilayah Timika akan menilai pergerakan TNI dan POLRI saat kegiatan aksi turun jalan.

Penggunaan kata "kolonial" yang selalu digunakan dalam tuntutan KNPB, menunjukkan bahwa, aktivis jalanan dari organisasi ilegal ini kurang memahami sejarah Papua dimana Indonesia tidak pernah menganeksasi Papua dan Integrasi Papua ke dalam NKRI melalui Pepera tahun 1969 sudah sah secara internasional dan konstitusi nasional. Sem Ukago mengatakan, pihaknya merasa pertemuan MSG tersebut, membantu untuk menemukan ras yang pernah hilang ditelan oleh Negara kolonial NKRI dan Amerika.

Hal di atas ternyata tidak disetujui oleh beberapa warga Papua sendiri. Kartel Latuhiu dalam sebuah komentar mengatakan, dasar KNPB mengatasnamakan rakyat Papua dan kau Papua, ya kau mau merdeka. Kau pikir negara ini milik nenekmu. Kalau berpikir jangan pakai botol. Kahar Suwari mengatakan, sudah tahu KNPB itu tidak pernah belajar sejarah. Indonesia bukan kolonial, namun pernah dijajah oleh Kolonial Belanda selama 350 tahun. KNPB berdemo tidak jelas di jalan dan hanya buang-buang tenaga.

Melihat kondisi ini, KNPB tidak dapat mengatakan bahwa mereka mewakili seluruh rakyat Papua. Terkait rencana demo yang digelar KNPB pada 14 Juli 2016 di Lapangan Trikora, Abepura, Yunus Wonda (Ketua DPR Papua) berpesan kepada rakyat yang akan melakukan demo agar mengurungkan niatnya karena selama ini dirinya menilai bahwa demo yang dilakukan KNPB ini bersifat Makar dan menentang ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demo oleh KNPB ini selalu mengganggu aktivitas masyarakat dan pemerintah. Seluruh komponen masyarakat agar tetap menjaga situasi keamanan dan selalu waspada karena demo KNPB ini kerap dilakukan dengan cara-cara yang frontal, dan tidak beretika, sopan serta santun terhadap masyarakat Papua. KNPB juga sering membawa dan mengibarkan bendera Bintang Kejora, yang jelas-jelas bendera itu dilarang untuk dikibarkan di negara ini. Tidak diperbolehkan ada tindakan-tindakan diluar batas, apalagi sampai harus mengibarkan bintang kejora.

Datuak Tjumano (Peneliti Bidang Permasalahan di Daerah-Daerah Konflik dan Dinamika Komunikasi Massa di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) Jakarta) mengatakan, KNPB sering melakukan aksi demo dengan menyampaikan tuntutan-tuntutan kepada Pemerintah yang bisa dibilang tidak masuk akal dan dinilai bersifat separatis serta berbau subversi asing.

KNPB menolak Tim Penanganan Pelanggaran HAM di Papua buatan kolonial Indonesia, dimana orang-orang yang terpilih menjadi tim investigasi penaganan HAM ini merupakan tokoh-tokoh Papua yang telah dipercayai oleh Pemerintah Pusat, diantaranya Marinus Yaung, Matius Murib, dan Lien Maloali. Terlihat jelas kearoganan yang ditunjukan oleh KNPB yang merasa dirinya paling hebat, paling pintar dengan merendahkan tokoh-tokoh Papua yang telah dipercaya pemerintah pusat.

Namun, KNPB melalui ULMWP mendesak dikirimkannya tim atau pengawasan internasional terhadap suara West Papua guna menentukan nasib sendiri (Referendum). Tuntutan ini juga dinilai sangat berbau separatis dan kurangnya pemahaman mengenai politik Internasional, dimana kita ketahui bersama bahwa intervensi asing terhadap wilayah sah sebuah negara merupakan pelanggaran hukum yang berat, dan Papua merupakan bagian dari NKRI yang tak bisa dipisahkan.

KNPB mendesak tim pencari fakta dari Pasific Island (PIF) segera ke Papua menangani dugaan kasus pelanggaran HAM. Namun, KNPB mendesak semua aktifis HAM, agama, korban dan seluruh rakyat Papua untuk tidak terlibat, serta menolak tim pencari fakta pelanggaran HAM bentukan Menkopolhukam RI.

Hal ini memprovokasi rakyat Papua dan tidak perlu didengarkan oleh rakyat Papua, sebab aktivis KNPB bukanlah tokoh agama, tokoh adat dan juga bukan tokoh pemuda yang disegani di Papua, melainkan hanya "gerombolan politik" yang pekerjaan utamanya selalu menciptakan kehebohan politik (political furor) saja di Papua. KNPB bukan mewakili rakyat Papua, melainkan antek asing dari kelompok subversi asing ataupun negara lainnya.

Mantan tokoh organisasi Papua Merdeka, Herman A.T. Yoku mengadakan jumpa pers bersama wartawan terkait rencana aksi 14 Juli 2016 yang akan digelar kelompok anti pembangunan di Papua, KNPB di Jayapura, Selasa (12/7). Yoku memberikan himbauan kepada seluruh masyarakat Papua bahwa apa yang disuarakan oleh KNPB selama ini adalah kebohongan saja dan hanya untuk kepentingan kelompok mereka sendiri.

Dia juga mengungkapkan bahwa sebenarnya Benny Wenda (Juru Bicara ULMWP) hanya bersenang-senang saja di luar negeri dan saat ini dirinya sedang kebingungan karena belum membayar uang sewa rumah selama dua bulan. Benny hanya membohongi orang Papua dengan isu kemerdekaan, kenyataanya dia sedang kebingungan dengan biaya hidup di luar negeri. Benny Wenda merupakan rakyat Papua yang aktif dalam menyuarakan kemerdekaan Papua di luar negeri.

Awal tahun 2015 lalu Benny melakukan tour ke sejumlah negara, dimulai dari Inggris lalu ke Belanda, Amerika, Vanuatu, New Zeland dan Papua Nugini untuk berkampanye tentang kemerdekaan Papua. Pulang dari tour, Benny lalu membeli sebuah rumah di kawasan elit di Oxford yang kini dijadikan kantor perwakilan OPM itu. Rumah dengan nilai miliaran rupiah itu telah diresmikan 28 April 2015 lalu oleh Dewan Kota Oxford.

Melihat keadaan Benny Wenda seperti ini, sangatlah berbeda dengan isu HAM di Papua yang mengatakan bahwa warga asli Papua terpinggirkan secara ekonomi. Bukankah hal ini bertolak belakang dengan keadaan Benny Wenda yang membeli rumah di Oxford. Dengan segala apa yang telah tertulis di atas, tidak salah apabila masyrakat kebingungan akan siapakah sebenarnya yang menjadi bidak asing dan menghambat kesejahteraan nasional.

Sampai kapan Papua akan digunakan sebagai kepentingan politik beberapa orang saja. Sudah cukup waktu untuk bercengkrama bahagia dengan sanak saudara dan teman-teman terbuang untuk memperjuangkan kemerdekaan sekelompok orang. Masyarakat, terutama masyarakat Papua harus lebih mampu melihat pergerakan kelompok yang konstruktif dan bermanfaat. Bukan sekedar ikut-ikutan dan malah merugikan bangsa sendiri seperti upaya provokasi yang dilakukan oleh KNPB.

*) Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan