Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Soal Klaim terhadap Natuna, Pemerintah Diminta Tegas Tegur China
Oleh : Redaksi
Senin | 13-06-2016 | 17:10 WIB
dash9line.jpg Honda-Batam

Diskusi Klaim 9-Dashed Line Tiongkok Jakarta

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah didesak menegur pemerintah China karena telah mengklaim Natuna sebagai wilayahnya melalui peta 9-Dashed Line. Kejadian terakhir nelayan China diketahui memasuki perairan Natuna yakni pada 27 Mei 2016 lalu. Ketika itu pemerintah China lagi-lagi menyebut nelayan mereka masih berada di area traditional fishing zone dan tak melakukan illegal fishing.

Indonesia sebaliknya, menganggap bahwa nelayan China telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Ahli Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menghubungkan respon China di atas dengan upaya China untuk menegaskan kembali 9-Dashed Line (9 garis putus) di Laut China Selatan.

"Belakangan ada indikasi bahwa China hendak menegaskan klaim 9 garis putus kepada Indonesia," kata Hikamahanto Juwana dalam diskusi Klaim 9-Dashed Line Tiongkok di Jakarta, Senin (13/6/2016).

Setidaknya Hikmahanto mencatat ada 3 indikasi terkait niat China tersebut. Bagaimana respon China atas dugaan illegal fishing di Natuna di atas adalah salah satunya.

"Indikasi lain pemerintah China dalam melakukan protes tidak mendasar pada Pasal 73 (2) UNCLOS. Indikasi ketiga protes atas dasar tradisional fishing ground ketika para nelayan (China) ditangkap," ujar Hikmahanto.

Hikmahanto menjelaskan, pemerintah RI harus firm terhadap hak berdaulat di zona maritim Natuna.

"Memang Indonesia tidak memiliki sengketa kedaulatan dengan China atas pulau Natuna, tetapi Indonesia berpotensi memiliki sengketa atas hak berdaulat di zona maritim," jelas Hikmahanto.

"Pemerintah harus memberi sinyal agar China tidak bermain api terkait hak berdaulat di zona maritim Natuna," lanjutnya.

Sementara itu mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Canada, dan PBB, Hasjim Djalal menambahkan, sejauh ini tak pernah ada penjelasan mengenai di mana letak sebenarnya dari garis-garis putus yang diklaim China tersebut.

Menurut Hasjim, pada September 1994, Menlu RI saat itu Ali Alatas telah mengirim surat ke pemerintah China bertanya mengenai lokasi garis tersebut. Namun tak mendapat jawaban memuaskan. Ujungnya, Indonesia seolah diminta memiliki interpretasi sendiri terhadap garis tersebut.

"Kalau menurut saya, sikap ASEAN itu mencoba mengencourage pihak-pihak yang bertengkar untuk mengadakan dialog," ujar Hasjim.
Selain Hikamawanto Juwana dan Hasjim Djalal, mantan KSAL Laksamana TNI (Purn) Marsetio juga pembicara pula dalam diskusi ini.

Diskusi ini digelar salah satunya dalam rangka menunggu putusan Arbitrase Tribunal United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) atas gugatan Filipinan terhadap China. Salah satu yang digugat Filipina yaitu apakah 9 garis putus yang diklaim China bertentangan dengan UNCLOS atau tidak.

Editor: Surya