Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

CPOPC, Nyaris Mustahil Tapi Berhasil
Oleh : Redaksi
Minggu | 22-05-2016 | 10:15 WIB

Oleh Edy Mulyadi)*

PRESIDEN Joko Widodo mengukuhkan pembentukan Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit  atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Hal itu dituangkan Jokowi dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pengesahan Charter of the Establishment of the CPOPC, 4 Mei 2016.

CPOPC dibentuk dua negara, Indonesia-Malaysia, dengan tujuan mengendalikan harga minyak sawit global. Lewat Dewan ini, daya saing dan harga CPO Indonesia-Malaysia di pasar internasional akan lebih baik. Di atas semua itu, nasib dan kesejahteraan petani pun akan meningkat.

Pengesahan CPOPC oleh Presiden Jokowi punya arti penting. Pasalnya, dengan meratifikasi Piagam ini, Pemerintah Indonesia memiliki payung hukum untuk mengakui keberadaan dan operasional Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit di Indonesia.

Adalah Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramlli yang menjadi sosok penting di balik berdirinya CPOPC. Dialah yang merintis dan mengambil inisiatif kerja sama dengan Malaysia, sesama produsen utama minyak sawit dunia. Asal tahu saja, kedua negara ini menghasilkan sekitar 85% produksi crude palm oil (CPO) dunia.

“Idenya sederhana saja. Sebagai dua produsen utama dunia, Indonesia dan Malaysia relatif tidak mampu berbicara banyak di pasar CPO internasional. Selama ini pasar CPO dunia lebih banyak ditentukan para pembeli. Mereka bukan saja mematok harga, tapi juga mengatur soal mutu, tata cara budi daya, dan lainnya. Kita ingin mengakhiri dominasi yang tidak fair ini. Kita ingin Indonesia dan Malaysia punya peran lebih besar di pasar minyak sawit dunia,” papar Rizal Ramli, usai mewakili Pemerintah Indonesia menandatangani piagam pembentukan CPOPC, di Kuala Lumpur, (21/11) lalu.

Penugasan khusus

Mungkin orang bertanya, Rizal Ramli kok iseng banget ngurusin CPO? Apa hubungannya kemaritiman dengan minyak sawit? Mestinya, urusan ini ada di ranah Menteri Perindustrian dan atau Menteri Perdagangan.

Tapi, begitulah Rizal Ramli. Tangan dinginnya membuat jejak kinerjanya bisa tertera di mana-mana, menembus area dan domain ‘normal’. Tapi, eit, ini tidak berati dia kurang kerjaan atau serakah sehingga ‘menjarah’ domain kementerian lain, lho.

Keterlibatan RR, begitu dia disapa kalangan dekatnya, dalam soal CPO karena mendapat special assignment dari bosnya, Presiden Jokowi. Kisahnya berawal pada suatu sore, medio September 2016, beberapa pekan setelah dia dilantik menjadi Menko.

Waktu itu, media sedang dijejali pemberitaan ‘perang terbuka’ antara Rizal Ramli versus Wapres Jusuf Kalla terkait program listrik 35.000 MW. Maklum, mantan aktivis sejak mahasiswa itu mengritik proyek tersebut yang dinilainya ambisius dan tidak masuk akal. Kritik juga dilayangkannya karena jika dipaksakan, maka PLN diambang kebangkrutan karena harus membayar sekitar US$10 miliar/tahun untuk membeli 21.000 MW listrik swsta yang idle terkait proyek tersebut.

Perang makin kencang, manakala secara terbuka RR tiba-tiba saja menantang JK untuk berdebat di depan publik soal listrik 35.000 MW. Banyak kalangan menilai RR telah bertindak tidak etis. Mosok atasan dilawan dan ditantang debat terbuka.

“Sesuai konstitusi, atasan menteri adalah Presiden. Sebagai menteri, saya hanya melapor dan bertanggungjawab kepada Presiden. Titik,” kilahnya enteng menanggapi hujatan bertubi-tubi seputar tantangannya kepada JK.

Beberapa hari ini terakhir, ternyata RR terbukti benar. Proyek listrik 35.000 MW dianggap tidak masuk akal. Pemerintah mengakui proyek ini berjalan lambat, bahkan bisa dikatakan gagal. Belakangan, kabarnya, JK mulai menjadikan Direksi PLN sebagai kambing hitam kegagalan proyek tersebut. Targetnya, mereka akan digusur dan digantikan oleh orang-orang yang mau bersikap ‘manis’. Ehem...

Nah, kembali ke soal penugasan khususnya di CPO tadi. Saat dipanggil ke Istana sore itu, publik berspekulasi bahwa RR bakal disemprot habis-habisan oleh Presiden. Maklum, pemberitaan media memang disesaki berita seolah-olah Jokowi tidak happy dengan kelakuan Menkonya yang satu ini.

“Jangankan orang lain, saya sendiri tadinya mengira akan dimarahi Presiden karena soal listrik 35.000 MW. Eh, ternyata tidak, tuh. Presiden malah memerintahkan saya untuk segera ke Malaysia menemui PM Najib untuk membahas soal CPO. Dari sisi substansi, CPO jelas bukan area Kemenko-an yang saya pimpin. Tapi ini perintah Presiden. Sebagai menteri, sudah tugas saya untuk melaksanakannya sebaik mungkin,” urai RR.

Langkah Rizal Ramli mendapat sambutan positif Malaysia. Bahkan Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad memuji insiatif pembentukan CPOPC. Menurut Mahathir, Kerja sama itu bagus dan perlu untuk menghadapi tekanan asing terhadap industri palm oil Malaysia dan Indonesia.

Maka serangkaian pertemuan teknis hingga senior official meeting (SOM) kedua negara pun digelar. Hasilnya, dibentuklah CPOPC yang penandatanganannya diwakili Rizal Ramli dari Indonesia dan Menteri Perladangan dan Komoditi Datuk Amar Douglas Uggah Embas mewakili Pemerintah Malaysia. Peristiwa penting itu disaksikan Presiden Jokowi dan dan PM Dato Sri Najib Tun Abdul Razak.

Ngomong-ngomong soal bidang garapan yang ‘melenceng’ dari Tupoksi (tugas pokok dan fungsi), ternyata soal CPO memang bukan kali pertama. Dulu, ketika menjadi Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) di era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli juga pernah ditugasi membenahi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang berdarah-darah.

Kita bisa saja bertanya, apa urusannya Kepala Bulog dengan industri pesawat terbang? Tapi, begitulah maunya Gus Dur. Dan, dengan izin Allah pula, RR mampu membangkitkan IPTN yang kemudian dia ganti namanya menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI). Hanya dalam tempo dua tahun, dia berhasil menyulap perusahaan yang di ambang kebangkrutan menjadi sehat dan berhasil mencetak laba.

Momen bersejarah

Wajah Riza Ramli tampak sumringah usai menandatangani piagam pembentukan CPOPC, di Kuala Lumpur. Maklum, satu tugas berat dan, sepertinya, nyaris mustahil baru saja berhasil ditunaikan dengan gemilang. Harus diakui, menyatukan Indonesia dan Malaysia di bidang minyak sawit jelas bukan perkara mudah. Selama puluhan tahun keduanya bersaing sengit di pasar internasional.

Sebelumnya bukannya tidak pernah ada upaya ke arah sana. Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berkali-kali pertemuan diselenggarakan kedua negara untuk menjajakinya. Namun sejauh itu, berbagai rapat dan pertemuan tadi boleh disebut tidak menghasilkan keputusan berarti. Gagasan pembentukan wadah bersama juga terus saja mengawang-awang, tanpa pernah bisa dibuat berpijak ke bumi.

“Hari ini adalah hari bersejarah bagi Indonesia dan Malaysia. Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun berseberangan, kedua negara bersatu dan bahu-membahu dalam memperbaiki harga dan kualitas hidup petani CPO. Tolong dicatat, membaiknya harga dan pengelolaan sawit yang lestari, tidak ada artinya kalau kesejahteraan petani tidak ikut diperbaiki,” ujar Rizal Ramli

Sejatinya, CPOPC besutan RR ini bukan badan untuk gagah-gagahan. Banyak kalangan mentamsilkannya dengan badan kartel minyak mentah dunia, OPEC. Memang, baik Indonesia maupun Malaysia tidak secara tegas menampik anggapan tersebut. Yang pasti, kedua negara hendak bersatu mengatasi masalah pertumbuhan dan keberlanjutan minyak sawit. Untuk itu, keduanya menyepakati Kerangka Global Prinsip Minyak Sawit Berkelanjutan (Global Framework of Principles for Sustainable Palm Oil/GPSPO).

Secara umum, organisasi internasional di bidang minyak sawit itu bertujuan meningkatkan daya saing industri strategis minyak sawit dan praktik pengelolaan yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Namun seperti ditegaskan Rizal Ramli, konsentrasi terbesar CPOPC adalah meningkatkan kesejahteraan petani kecil.

“Dengan menyeimbangkan dan menyelaraskan tiga komponen ini, kita bisa benar-benar memaksimalkan potensi sawit sebagai industri strategis. Semua itu dimaksudkan untuk manfaat yang lebih besar bagi seluruh umat manusia, khususnya para petani sawit kecil,” ungkap Menko Rizal Ramli.

Semoga.... (*)

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)