Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wapres Tak Dianggap, Terjadi Lagi
Oleh : Opini
Kamis | 28-04-2016 | 12:26 WIB
jokowi-jk_bbc.jpg Honda-Batam

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. (Sumber foto: BBC)

Oleh: Andreawaty*

BELUM lama terjadi, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti menolak permintaan Wakil Presiden (Wapres), Jusuf Kalla untuk merevisi sejumlah kebijakan yang dilakukan MKP. Konon, pada saat melakukan kunjungan kerja ke wilayah Indonesia Timur, Wapres menerima masukan dari para pengusaha perikanan di Bitung, Ambon, dan Tual terrkait sejumlah larangan yang dikeluarkan MKP.

Dalam suratnya, Wapres menyebutkan bahwa kebijakan MKP mengenai moratorium, pelarangan transhipment dan pengaturan sertifikasi kapal telah mengakibatkan ribuan nelayan, baik eks asing atau milik nasional tidak dapat berlayar dan menangkap ikan. Akibatnya hasil produksi dan ekspor ikan sangat menurun. Selain itu terjadi pula pengangguran pekerja di kapal dan pabrik pengolahan serta coldstorage. Dampak lanjutannya, adalah angka kemiskinan dan pengangguran di Maluku dan Sulut meningkat, karena itu Wapres meminta MKP agar mau merevisi kebijakannya.

Namun, ternyata MKP menyatakan bahwa semua kebijakan yang dilakukan sudah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo, karena itu menteri menolak permintaan Wapres merevisi kebijakannya. Bahkan tidak kurang Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat maupun pengamat di bidang perikanan menganggap surat Wapres bernomor B02/Wapres/03/2016 perihal Tindak Lanjut Kunjungan Kerja ke Maluku dan Sulawesi Utara 16-18 Maret 2016 itu, merupakan titipan dari pengusaha perikanan.

Berita terbaru terkait permintaan Wapres adalah pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau dikenal dengan sebutan Ahok, jika Wapres mengiriminya surat imbauan resmi agar pekerjaan reklamasi Teluk Utara Jakarta dihentikan untuk sementara tidak dapat dikabulkan. Sebelumnya kepada pers, Wapres mengatakan proses reklamasi di Jakarta harus mengacu pada aturan yang berlaku.

Menurutnya di tengah tumpang tindih aturan yang ada, yang harus menjadi acuan adalah aturan tertinggi, yakni Undang-undang. Namun tampaknya sama seperti MKP, Ahok masih merasa berat untuk menghentikan reklamasi karena dasar hukum untuk menghentikan reklamasi tidak ada. Ahok justru khawatir jika reklamasi dihentikan, pihaknya ada digugat pengusaha dan jika sampai kalah di Pengadilan maka Pemprov DKI harus memberikan ganti rugi yang diperkiarakan sampai triliunan rupiah.

Akibat tertangkapnya Ketua Komisi I DPRD Jakarta, M. Sanusi terkait suap pembuatan Perda Reklamasi, nampaknya coba dimanfaatkan oleh penentang Ahok dalam Pilkada DKI tahun 2017 untuk meminta reklamasi dibatalkan. Ahok bahkan mengatakan kasus dugaan korupsi kebijakan reklamasi Teluk Utara Jakarta banyak ditumpangi kepentingan politik. Menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah permintaan Wapres juga terkait dengan kepentingan politik menjelang Pilkada DKI 2017.

Wapres mesti sadar bahwa penghentian reklamasi tidak serta merta dapat dilakukan karena pelaksanaan proyek tersebut didasarkan pada aturan induk Keputusan Presiden RI Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Selain Keppres, proyek reklamasi yang telah berjalan juga telah memiliki banyak dasar hukum turunan, mulai dari Undang-undang, Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), hingga Peraturan Presiden (Perpres). Lagi pula pasal 4 dari Keppres Nomor 52 Tahun 1995, memberi Gubernur DKI wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Ataukah mungkin permintaan kali ini juga dilakukan karena Wapres mendapat masukan yang kurang pas, entah dari pihak mana.

Sebelumnya, Menko Rizal Ramli pada saat diangkat dalam perombakan Kabinet, sudah menunjukkan sikap tidak menghargai Wapres dan menantang Wapres berdebat di depan umum terkait beberapa kebijakan yang dianggap RR justru merugikan kita sebagai bangsa.

Sungguh kita melihat sepertinya kedudukan Wapres kurang dihargai, apalagi sampai Presiden justru mendukung sikap Menko. Sebagai contoh saja terkait pembangunan Blok Masela di Maluku Tenggara Barat, Presiden jelas berpihak kepada RR dan menyetujui pebangunan kilang gas alam cair (liquefied natural gas atau LNG) di darat sesuai keinginan Menko RR.

Memperkuat Kedudukan Wapres
Dari sisi etika pemerintahan, seharusnya para Menteri apalagi cuma Gubernur, wajib mematuhi teguran Wapres, harus diingat bahwa pertanggungjawaban mereka adalah kepada Presiden dan Wapres. Oleh karena itu jika Wapres meminta untuk mengevaluasi suatu kebijakannya atau menghetikan suatu proyek yang sedang berjalan, harus dpatuhi.

Di sisi lain, teguran Wapres kepada bawahannya seharusnya dilakukan melalui mekanisme yang tepat dan baku, jangan dipublikasikan ke publik. Sebaiknya semua surat Wapres bersifat rahasia sehingga hanya pejabat tertentu saja yang boleh membacanya, sehingga jika masih mengandung perdebatan tidak sampai harus menjadi konsumsi publik.

Organisasi pemerintahan harus memiliki struktur hirarkinya, bawahan harus menjalankan keputusan apapunyang diambil oleh pimpinannya, demi tercapainya tujuan organisasi. Perseteruan yang terjadi dalam Kabinet bisa dilihat publik sebagai bentuk perpecahan yang terjadi di internal pemerintah.

Perselisihan antara para Menteri dan Gubernur dengan Wapres, kemudian berujung pada permintaan sejumlah pihak agar segera dilakukan amandemen UUD 1945 untuk memperkokoh sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia. Amandemen UUD 1945 dengan sejumlah agenda besar untuk memantapkan landasan konstitusional RI saat ini perlu didorong. Salah satunya dengan memperkokoh peran Wapres.

Dalam Amandemen UUD 1945 tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan secara tegas fungsi dan peran Wapres dalam roda pemerintahan. Peran Wapres hanya disebutkan dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Penyebutan Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden seakan-akan menegaskan bahwa Wapres statusnya setara dengan tugas Menteri yang juga disebutkan sebagai pembantu Presiden. Dalam tradisi pemerintahan disebutkan kalau Presiden berhalangan tetap atau sedang tidak berada di tempat, Wapreslah yang mengisi kekosongan tersebut.

Sayangnya, selama ini peran Wapres hanya berdasarkan konvensi, dalam praktiknya pembagian tugas di antara mereka diserahkan kepada kebijakan politik Presiden. Tugas Wapres harus disebutkan dengan tegas dalam UUD 1945, mengingat tugas menteri sudah diamanatkan oleh UUD 1945 untuk diatur lebih lanjut dengan UU. Selain itu juga harus disebutkan bahwa penetapan menteri sebagai pembantu presiden sekaligus juga sebagai pembantu Wakil Presiden. Harus ada ketentuan yang menyebutkan bahwa jabatan menteri berada di bawah Presiden dan Wakil Presiden.

*) Penulis adalah Pengamat Sosial Politik