Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Greenpeace Tuding Ilegal Fishing Taiwan Kian Meluas, Krunya dari Indonesia
Oleh : Redaksi
Selasa | 19-04-2016 | 11:46 WIB
7326038-3x2-700x467.jpg Honda-Batam
Diperkirakan puluhan ribu pekerja termasuk dari Indonesia bekerja di kapal ikan asal Taiwan. (Sumber foto: Greenpeace/Paul Hilton)

BATAMTODAY.COM, Australia - LSM lingkungan Greenpeace menuding kapal-kapal asal Taiwan kian meluaskan aktivitas Ilegal fishing mereka dengan cara melanggar hak-hak pekerja di kapal tersebut. Kru ini sebagian berasal dari Indonesia.

Laporan Greenpeace East Asia mengungkapkan masih terjadinya kegiatan penangkapan ikan tuna dan ikan hidu secara ilegal, unreported dan unregulated (IUU). Padahal, Taiwan selama ini telah didesak untuk membenahi industri perikanannya sesuai ketentuan.

Uni Eropa (EU) misalnya telah menerbitkan Kartu Kuning bagi Taiwan pada Oktober lalu, karena dinilai gagal mengawasi ilegal fishing di perairan Pasifik dan perairan lainnya.

EU memberi waktu 6 bulan kepada Taiwan untuk membenahi sektor perikanan dan jika tidak mengindahkan, akan diberikan Kartu Merah yang akan menblack list produk ikan negara itu ke pasar Eropa.

Bulan lalu Pemerintah Taiwan merevisi UU yang akan menambah nilai denda bagi kegiatan ilegal fishing.

Namun Greenpeace mengatakan, pihaknya memegang bukti-bukti bahwa perusahaan Taiwan masih terus melanggar ketentuan dan "Yakin bahwa hukuman denda sangat jarang diterapkan".

LSM ini mengatakan ada 16 kasus penangkapan hiu secara ilegal yang ditemukan dalam tempo tiga bulan saja di sebuah pelabuhan.

Sementara laporan otoritas perikanan Taiwan menyebutkan dalam tempo satu tahun ada 15 kasus yang terjadi di seluruh Taiwan.

"Setelah EU menerbitkan Kartu Kuning kepada Taiwan, otoritas perikanan setempat langsung merevisi UU Perikanan. Namun kami ingin menekankan adanya perbedaan dalam aturan dan penindakan," ujar Yen Ning dari Greenpeace.

Menurut Greenpeace, penyelidikan selama 12 bulan di sejumlah pelabuhan di Taiwan dan Fiji mengungkapkan adanya pelanggaran hak-hak pekerja.

"Wawancara kami dengan kru asal Asia Tenggara menyebutkan adanya penundaan dan penahanan gaji, belum lagi kondisi kerja yang sangat buruk, eksploitasi oleh agen, pelecehan verbal dan fisik, bahkan kematian," demikian laporan Greenpeace.

Seorang kru asal Indonesia berusia 37 tahun berinisial CK, mengungkapkan bahwa ada rekannya yang pernah ditembak oleh kapten kapal Taiwan saat berada di perarian Panama tahun 2009.

"Saat kami melapor ke polisi, mereka bilang tidak ada bukti. Bukti-bukti sudah hilang. Saya mendengar serta melihat sekitar 30 orang yang mati sejak saya ikut kapal ini," kata CK.

Selain mengalami kekerasan, gaji para kru ini juga seringkali tidak dibayarkan atau dipotong dengan berbagai dalih.

"Saya menandatangani kontrak sebagai pekerja asing dan bekerja di kapal penangkap tuna atau hiu sejak 2006 hingga 2008. Saya kerja rata-rata 17 jam perhari," kata kru asal Indonesia lainnya.

"Saya tinggal di kapal selama setahun saat pertama kali kerja dan gajinya hanya 160 dolar perbulan," kata pria 34 tahun yang tak mau disebutkan namanya ini.(Sumber: ABC Radio Australia)

Editor: Udin