Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kesaksian Pilu Nani, Dituduh Menari Telanjang di Lubang Buaya
Oleh : Redaksi
Selasa | 19-04-2016 | 11:32 WIB
e97e03d7-6e0c-4f11-a8ad-842a9533f4fa_169.jpg Honda-Batam
Nani Nurani, penyanyi Istana yang ditahan rezim Orde Baru tanpa diadili karena dituduh terlibat PKI. (sumber foto: CNN Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Amarah tak pernah pergi dari hati Nani Nurani. Penuh tekad dia berkata, “Saya belum rela mati jika kasus ini belum tuntas.”

Nani ialah penari dan penyanyi di Istana Cipanas pada tahun 1960-an. Namun hidupnya bak keluar jalur sejak menghadiri ulang tahun Partai Komunis Indonesia di Cianjur, Jawa Barat, pada 1965.

Hari itu di ulang tahun PKI, Nani menyanyi lagu Sunda klasik untuk Sukarno. Sang Presiden memang senang mendengar lantunan suara Nani. Namun dari sekadar menyanyi, Nani dituduh jadi anggota Biro Khusus PKI.

Nani Nurani, di sela Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang berlangsung di Hotel Aryaduta Jakarta, membeberkan kisah hidupnya.

Saya dulu pegawai Dinas Kebudayaan Cianjur, juga anak buah Istana. Kebetulan Juni 1965 saya diminta nyanyi di ulang tahun PKI, di gedung pertemuan umum Cianjur. Hadir juga Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah).

Waktu itu ada Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme yang merupakan konsep Sukarno) katanya lagi. Nasakom itu ada ketuanya secara periodik. Kalau misal sekarang (kelompok) nasionalisme yang jadi ketua, namun pada acara 17 Agustus, yang bikin acara adalah kelompok tersebut. Kebetulan gilirannya komunisme  waktu itu sekitar 20 Mei 1965.

Saya kan orang Dinas Kebudayaan, juga penari dan penyanyi. Cianjur itu kota kecil, dan saya satu-satunya yang jadi penyanyi di Istana. Jadi yang dicari ya saya.

Mereka bilang, “Juni nyanyi dong untuk kami.” Ya nyanyilah saya. Waktu itu judul lagunya Sekar Manis. Saya memang penyanyi klasik Sunda.

Saya itu anak yang dididik kuno dan feodal. Ayah mengajarkan kami tidak boleh masuk partai politik. Saya sekolah saja, begitu sekolahnya berafiliasi sama partai, saya langsung ditarik, dikeluarkan dari sekolah itu.

Selesai menyanyi di ulang tahun PKI itu, beberapa waktu kemudian, saya berangkat ke Jakata, pindah ikut kakak. Itu menjadikan saya dituduh ke Lubang Buaya. Saya dituduh diutus oleh PKI. Padahal itu semua (saya ke Jakarta) kebetulan saja.

Tahu-tahu hebohlah di Cianjur. Katanya saya yang bacakan kidung (Panglima Angkatan Darat) Pak Ahmad Yani sebelum dia meninggal. Katanya yang menari telanjang di Lubang Buaya juga saya. Itu dari mana mulai isunya, saya juga enggak mengerti.

Saya lantas mau pulang karena ada keponakan saya yang dipukuli di sekolah (karena saya dituduh ini itu). Dia bilang: enggak, tante saya ada di Jakarta. Dia didatangi CPM (Corps Polisi Militer) di rumah. Padahal alamat saya jelas di Jakarta, tapi mereka (CPM) tak ada yang mau datang ke Jakarta.

Karena dengar kabar itu, saya ingin pulang ke Cianjur, tapi dilarang sama bosnya kakak. Dia bilang, sekarang bukan zamannya jantan, apalagi kalau itu anak Istana, masih mudah, bisa bahaya.

Waktu itu saya enggak mengerti kenapa. Baru setelah ditahan dua tahun, saya sadar kenapa dan persoalannya di mana. Karena perempuan yang ditahan itu semua dapat pelecehan. Jadi bisa dibayangkan apa yang mungkin terjadi pada saya.

Tahun 1968, saya pulang ke Cianjur untuk Idul Fitri. Saya ditangkap, lalu dikasih tahu bahwa seseorang itu enggak boleh ditangkap sendiri. Jadi saya didampingi ayah.

Saya ditangkap di Aria Cikondang, Cianjur, saat sedang tidur malam. Padahal besoknya mau pulang ke Jakarta karena saya kerja di Jakarta. Saat itu saya diancam, ayah mau dijadikan sandera dan segala macam.

Saya ditangkap malam, besoknya sudah dapat surat pembelaan dari Pak Soetarjo Soerjosoemarno (selanjutnya disebut Soerjo), ayah (tokoh Pemuda Pancasila) Yapto Soerjosoemarno, karena kebetulan saya sekretaris Pak Soerjo, di perusahaan yang bergerak di national register. Pada 1965-1968, saya kerja di Jakarta sama Pak Soerjo.

Pak Soerjo langsung kirim surat pembelaan yang menyatakan saya tidak terlibat dalam organisasi terlarang. Bagaimanapun beliau seorang purnawirawan jenderal dan dekat dengan Cendana. Dia Mangkunegaran dan dekat dengan Bu Tien.

Tapi ada konsekuensi lain. Pak Soerjo diancam oleh CPM, sampai tiga kali dipanggil. Katanya kalau saya tidak dipecat, beliau akan dimasukkan ke penjara. Akhirnya saya tahun 1970 dipecat.

Sampai beliau meninggal, dia berkata, “Aku yang sakit hati bukan karena kau ditangkap, tapi karena mungkin terlalu banyak fitnah. Yang aku sakit hati, kenapa harus menunggu sampai tujuh tahun (dipenjara). Kalau sudah enggak ada bukti, kenapa enggak dilepasin saja. Sampai kau kehilangan masa depan, masa indah, karier. Semua hancur lebur.”

Beliau tetap menggaji saya sampai satu tahun meski saya dipecat.

Saya kemudian ditahan di Cianjur sebulan, di Bogor seminggu, di Rutan Guntur (Jakarta Selatan), baru masuk penjara Bukit Duri (Jakarta Selatan) 9 Januari 1969. Dulu di Bukit Duri pernah ada penjara. Sekarang sudah jadi bank dan perkantoran.

Sesudah tujuh tahun dalam penjara tanpa proses hukum tanpa peradilan, saya dinyatakan sakit dan pulang. Saya menutup diri, trauma.

Kemudian awal tahun 1976, saya disumpah dan bebas penuh.

Katanya saya boleh ke ujung dunia, tapi nyatanya KTP saya ditandai, wajib lapor lagi, dan enggak boleh ke luar negeri. Puncaknya, saya enggak dapat KTP seumur hidup.

Di situ dinyatakan, semua orang yang terlibat organisasi terlarang enggak dapat KTP seumur hidup. Saya marah dong. Anggota (PKI) bukan, segala bukan, hanya kebetulan nyanyi saja.

Akhirnya saya maju ke pengadilan dan menang, didampingi pengacara. Camat banding, dan saya menang lagi. Tahun 2008, saya menang, in kracht.

Yang lucu ialah waktu saya maju ke pengadilan untuk rehabilitasi nama dan ganti rugi. Saya tadinya maju sendiri. Jadi pengacara hanya sebagai pendamping. Akhirnya keputusannya, pengacara negara mengatakan bahwa Nani menangnya di Kecamatan Koja, bukan pemerintah pusat.

Jadi saya bukan orang Indonesia ya? Kan lucu. Menang di Kecamatan Koja, bukan di Indonesia. Berarti orang Kecamatan Koja bukan orang Indonesia dong. Jadi untuk apa menang di pengadilan.

Untuk naik banding, saya tunjuk tim advokasi. Ada LBH Masyarakat, LBH Jakarta, Taufik Basari & Associates, Elsam, dan YPBHI. Tetap keputusannya pengadilan tidak berwenang (merehabilitasi).

Mahkamah Agung akhirnya juga mengeluarkan keputusan tahun 2016 ini. Belum tahu keputusannya seperti apa, yang jelas ditolak. Saya belum terima, masih akan menuntut.

Saya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Saya tidak butuh permintaan maaf dari siapapun, tapi ingin kejelasan hak hukum sebagai warga negara, agar tidak selalu dicurigai, digerebek. Nama baik direhabilitasi.

Dinyatakan tidak bersalah, itu yang saya dan eks tahanan politik lain inginkan. Kami ini sudah tua, karier juga sudah habis. Paling tidak kami dapat perhatian, kasih sayang, diberi rasa aman dan tidak didiskriminasi.
(Sumber: CNN Indonesia)

Editor: Udin