Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Tolak Minta Maaf atas Pembunuhan Massal 1965
Oleh : Redaksi
Selasa | 19-04-2016 | 11:04 WIB
0,,17223241_401,00.jpg Honda-Batam
Aksi kekerasan meluas 1965-1966 terhadap PKI dan mereka yang dicurigai sebagai simpatisannya (sumber foto: DW Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah Indonesia menggelar Simposium 1965 untuk menyelesaikan "sejarah kelam" salah satu pembunuhan massal terbesar di abad ke 20. Tapi Pemerintah Indonesia menolak meminta maaf secara resmi kepada korban.

Simposium dua hari tentang peristiwa 1965 dibuka hari Senin (18/04/16) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Pada pembukaan simposium nasional itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, tidak ada rencana pemerintah untuk meminta maaf terkait peristiwa 1965.

"Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran pemerintah akan minta maaf ke sana atau ke sini. Kami tahu apa yang kami lakukan yang terbaik untuk bangsa ini," kata Luhut.

Setidaknya 500.000 orang diperkirakan tewas dalam pembunuhan massal yang terjadi di Indonesia antara 1965-1966. Perkiraan lain mencatat satu sampai dua juta korban.

Selain pembunuhan massal yang digerakkan oleh tentara, keluarga korban juga mengalami penindasan, penyiksaan dan penahanan ilegal selama puluhan tahun pada masa Orde Baru di bawah Presiden Suharto.

Panitia simposium di Jakarta menerangkan, acara ini menandai pertama kalinya pemerintah Indonesia mencoba mendengar suara dari pihak korban. Sebagian aktivis hak asasi manusia, menyambut upaya dialog pemerintah dengan korban kekejaman rejim Orde Baru, namun sebagian lain mengeritik penolakan jalur hukum dan pengungkapan kebenaran.

Menteri Koordinator Polhukam Luhut Panjaitan sebagai salah satu penasihat terpenting Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah tidak akan tunduk pada tekanan eksternal.

"Kami ingin menyelesaikan sejarah gelap masa lalu kita," katanya kepada ratusan hadirin di Jakarta, termasuk keluarga korban penindasan terkait peristiwa 1965.

"Kita harus berdamai dengan masa lalu kita dan itu tidak akan sempurna, tetapi tidak ada pemikiran bahwa pemerintah akan meminta maaf kepada siapa pun," tandas Luhut.

Pembunuhan massal dimulai setelah Jenderal Suharto mengambil alih kendali militer sebagai reaksi atas penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal militer. Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu dinyatakan bersalah, melakukan upaya kudeta dengan aksi itu.

Militer kemudian menggalang aksi pembalasan dan pembunuhan massal di berbagai tempat di Indonesia, dengan bantuan kelompok-kelompok masyarakat dan berbagai organisasi politik, sosial dan agama.

Pasukan keamanan yang didukung kelompok lokal melakukan aksi pembantaian selama beberapa bulan terhadap orang-orang yang dicurigai punya hubungan dengan PKI. Ratusan ribu orang ditahan, sebagian dipenjara selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.

Suharto kemudian mengambil alih kekuasaan dan memerintah Indonesia secara otoriter selama selama 32 tahun, sebelum akhirnya mundur atas tekanan publik dan internasional setelah perekonomian Indonesia guncang di tengah krisis moneter 1998.

Isu pembantaian 1965 mulai dibicarakan lagi secara lebih luas setelah beberapa karya sastra dan film mengangkat tema itu, terutama film dokumenter "The Act of Killing" dari Joshua Oppenheimer yang sempat masuk nominasi untuk Piala Oscar.

Namun penentangan masih tetap kuat. Beberapa acara diskusi tentang pembantaian 1965 terpaksa dibatalkan setelah aparat keamanan menyatakan ada ancaman dari kelompok-kelompok militan yang siap melakukan aksi kekerasan, jika acara itu digelar.

Baru-baru ini, pemerintahan Jokowi meminta Amerika Serikat untuk membuka dokumen rahasia tentang peristiwa 1965 yang masih disimpan Amerika Serikat. Tapi pemerintah Indonesia hingga kini menolak permintaan maaf kepada pihak korban yang mengalami pembunuhan dan penindasan.

Dalam berbagai kesempatan, para pejabat pemerintahan menegaskan akan mencari "solusi non yudisial" untuk menjaga kerukunan. Alasan lain yang dikemukakan adalah, peristiwa itu sulit diungkap dalam penyidikan karena kebanyakan pelakunya sudah meninggal dunia.(Sumber: kompas.co.id)

Editor: Udin