Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 Digelar atas Dukungan Pemerintah
Oleh : Redaksi
Senin | 18-04-2016 | 11:31 WIB
a920bbcb-1eea-4215-9ccb-84b4fd161f44_169.jpg Honda-Batam
Mantan Komandan RPKAD Letjen Purnawirawan Sintong Panjaitan berbicara dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965. (Sumber foto: CNN Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Sejarah baru digoreskan Indonesia. Hari ini Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan Sejarah digelar di Hotel Aryaduta, Jakarta. Simposium yang digagas Forum Silaturahmi Anak Bangsa ini berlangsung atas dukungan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.

Simposium yang digelar dua hari, Senin dan Selasa 18-19 April, ini akan mempertemukan korban tragedi 1965, sejarawan, mantan jenderal TNI, dan sejumlah tokoh lembaga yang berada di pusaran peristiwa berdarah tersebut.

Setengah abad telah berlalu sejak tragedi 1965 memecah-belah bangsa ini. Lewat simposium ini, pemerintah berharap konflik dapat diurai dan trauma masa lalu bisa dipulihkan. Setidaknya, peristiwa 1965 dapat diletakkan dengan benar dalam perspektif sejarah.

Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dijadwalkan memberikan pidato pada pembukaan simposium itu, sekitar pukul 8.30 WIB atau tiga jam sebelum ia terbang ke Ternate, Maluku Utara.

Pada keterangan tertulis yang ditandatangani Luhut, Ketua Panitia Pengarah sekaligus Gubernur Lemhanas Agus Widjojo dan Ketua Panitia Pelaksana Suryo Susilo, simposium itu diharapkan dapat menjadi awal bagi penyelesaian polemik Tragedi 1965.

"Pemerintah bertekad tahun ini dapat menyelesaikan konflik dan trauma serta mendudukkan Peristiwa 1965 yang sebenarnya dalam perspektif sejarah," tulis pernyataan pers tersebut.

Simposium Tragedi 1965 merupakan forum pertama yang disokong pemerintah untuk penyelesaian satu dari sekian pelanggaran HAM masa lalu.

Pada forum itu pemerintah akan memfasilitasi diskusi antara korban, saksi dan pakar sejarah. Pemerintah berharap dialog tersebut dapat melengkapi temuan-temuan yang telah dipublikasikan Komisi Nasional HAM tahun 2012 silam.

Sejak publikasi itu, demikian dalam pernyataan pers itu, pemerintah mengakui belum pernah sungguh-sungguh menjalani proses penyelesaian kasus 1965.

Simposium Tragedi 1965 bermula dari gagasan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Perkumpulan itu beranggotakan sejumlah keluarga tokoh nasional yang menjadi korban Tragedi 1965, baik dari unsur militer maupun sipil.

Wacana tersebut berlanjut pada beberapa pertemuan di kantor Dewan Pertimbangan Presiden, tempat Sidarto Danusubroto berkantor. Mantan Ketua MPR yang pernah dipenjara pemerintah Orde Baru itu merupakan pegiat FSAB.

Beberapa lembaga lantas bergabung dengan Watimpres pada penyelenggaraan Simposium Tragedi 1965. Sejumlah institusi itu antara lain Dewan Pers dan lembaga kajian dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Sanata Dharma serta UIN Sunan Kalijaga.

Jelang Simposium Tragedi 1965, beberapa pegiat HAM menyatakan resistensi mereka. Kontras misalnya, menyebut upaya rekonsiliasi yang diusung forum itu tidak akan terwujud tanpa pengungkapan kebenaran atau penegakan hukum terlebih dulu.

"Kalau pelaku tidak diketahui, bagaimana rekonsiliasi dapat berjalan. Dengan siapa korban harus berekonsiliasi," kata peneliti Kontras, Ferry Kusuma, Jumat pekan lalu.

Di sisi lain, komunitas korban seperti yang berkumpul pada Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 telah mengkonfirmasi kehadiran mereka pada simposium.

Bedjo Untung, pegiat YPKP, menuturkan lembaganya mendapat jatah 15 kursi saat simposium.

Yayasan yang lokakaryanya di Cianjur, Jawa Barat, pekan lalu dibubarkan kelompok intoleran itu tidak menolak penyelesaian non-yudisial (rekonsiliasi). Namun mereka mendesak Kejaksaan Agung tetap menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

Hal serupa juga dinyatakan Asvi Warman Adam, sejarawan senior yang bersaksi untuk komunitas korban pada International Peoples Tribunal 1965 di Den Haag, Belanda, tahun 2015 lalu.

"Saya setuju rehabilitasi tapi saya juga mendukung pengungkapan kebenaran," kata Asvi

Berlangsung dua hari, Simposium Tragedi 1965 akan terbagi dalam delapan sesi. Setiap dialog dalam sesi-sesi itu menghadirkan tiga hingga empat pembicara dan seorang moderator.

Berdasarkan susunan acara, selain Asvi, para pembicara pada simposium itu antara lain Todung Mulya Lubis, Putu Oka Sukanta, Yosep Adi Prasetyo, Suparman Marzuki, Kiki Syahnakri, Taufik Abdullah, KH Marsudi Suhud dan Muladi.

Pukul 10.30 WIB, ruangan Simposium

Sesi pertama Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 berlangsung. Sesi ini membahas ciri masyarakat umum di Indonesia dilihat dari berbagai perspektif dan kajian. Pembicara pada sesi ini ialah Limas Sutanto dan Risa Permanadeli. Mereka dipandu oleh Nani Nurrachman, putri almarhum Mayjen Anumerta Sutoyo Siswomihardjo, Inspektur Kehakiman Angkatan Darat yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pukul 10.00 WIB, depan Hotel Aryaduta

Puluhan polisi berjaga untuk mengawal aksi unjuk rasa menolak Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang direncanakan digelar di sekitar Patung Tugu Tani, Jakarta Pusat.

Demonstran yang berjumlah sekitar 50 orang berkumpul lebih dulu di Jalan Menteng Raya Nomor 58, Jakarta. Mereka belum bergerak ke Aryaduta karena masih menunggu peserta lain dari luar Jakarta.

Pukul 09.45 WIB, ruangan Simposium

Intelektual Buya Syafii Maarif dalam sambutannya menyayangkan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 baru dilaksanakan hari ini.

Sementara mantan Danjen Kopassus Letnan Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan dalam sambutannya bercerita tentang operasi militer satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sekarang disebut Komando Pasukan Khusus atau Kopassus di Jawa Tengah untuk menumpas Partai Komunis Indonesia.

Mantan Komandan RPKAD Letjen Purnawirawan Sintong Panjaitan berbicara dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965.

Sintong membantah operasi di Jawa Tengah oleh RPKAD ketika itu membuat banyak nyawa melayang. Menurut dia, hanya satu korban terbunuh. Oleh sebab itu Sintong merasa heran ketika mendengar korban disebut mencapai 500 ribu jiwa.

Ia lantas melontarkan tantangan kepada pihak-pihak yang menyebut korban mencapai puluhan bahkan ratusan ribu orang. "Itu pembohongan karena berhubungan dengan harga diri kami sebagai RPKAD," kata Sinton.

Pukul 09.25 WIB, ruangan Simposium

Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pasti ada pro-kontra selama Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 berlangsung. Apapun, Luhut meminta kepada seluruh peserta untuk berani mengatakan benar dan salah secara terbuka.

Simposium, kata Luhut, merupakan upaya pemerintah Indonesia berdamai dengan sejarah, namun tak berarti meminta maaf.

"Kami tidak sebodoh itu. Kami tahu apa yang akan kami lakukan, dan apa yang terbaik bagi negeri ini. Saya sebagai Menkopolhukam mempertaruhkan kredibilitas untuk menjaga agar simposium berjalan transparan," ujar Luhut.

Simposium pun resmi dibuka.

Pukul 09.20 WIB, ruangan Simposium

Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sambutan. Dia mengimbau agar persoalan bangsa dapat diselesaikan sendiri oleh bangsa itu. Namun Luhut tak menutup pintu jika ada pihak luar hendak melihat proses penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

"Saya mengimbau kalau ada masalah di bangsa ini, (selesaikan di sini). Eloknya tidak perlu cari tempat lain," kata Luhut.

Menurut Luhut, tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan.

Pukul 09.10 WIB, ruangan Simposium

Ketua Panitia Pengarah Simposium Tragedi 1965 Letjen TNI Purn Agus Widjojo mengatakan, pendekatan sejarah dipilih untuk Simposium Tragedi 1965 karena dinilai lebih objektif.

"Sejarah sebagai pendekatan objektif untuk mencari pemahaman komprehensif pada proses sebab-akibat," kata Agus.

Simposium, ujar Agus, membuka seluas-luasnya kepada berbagai pihak untuk buka suara. Metodologi yang digunakan dalam simposium ini tak seperti di pengadilan.

"Metodologinya secara sederhana seperti memutar film 1965. Apa yang terjadi, sehingga kita bisa melihat apa penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya," kata Agus.

Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan memberi sambutan sekaligus membuka simposium.

Pukul 09.00 WIB, ruangan Simposium

Ketua Panitia Pengarah Simposium Tragedi 1965 Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Agus Widjojo yang tiga hari lalu dilantik Presiden sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional memberikan sambutan.

Agus berkata, salah satu tujuan simposium adalah menempatkan tragedi 1965 secara jujur dan proporsional dalam kesejarahan bangsa.

Pukul 08.55 WIB, ruangan Simposium

Hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya serta membaca doa sebelum membuka acara yang dipimpin Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan.

Pukul 08.50 WIB, ruangan Simposium

Pejabat dan peserta Simposium Nasional Tragedi 1965 mulai memasuki ruangan. Peserta dari kalangan korban, akademisi, partai politik, dan unsur pemerintah telah hadir.

Dari perwakilan pemerintah tampak Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Hukum dan Keamanan Yasonna Laoly, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Jaksa Agung M. Prasetyo, serta Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Mereka duduk bersandingan.

Sementara dari kalangan partai politik, terlihat Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahumurziy.

Sebelumnya dalam kesempatan berbeda Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) Bedjo Untung menyebut, total korban tewas dalam tragedi pasca G30S lebih dari 3 juta orang.

Saat itu korban bukan hanya dari anggota Partai Komunis Indonesia yang aktif. Namun juga organisasi sayap atau yang dituduh berafiliasi dengan PKI.

Bahkan menurut Bedjo , organisasi yang sama sekali tidak berkaitan dengan PKI, anggotanya turut ditangkap dan dibunuh. (Sumber : CNN Indonesia)

Editor: Udin