Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Haripinto Minta Larangan Ekspor Ikan Budidaya ke Kapal Asing Dicabut
Oleh : Irawan
Kamis | 14-04-2016 | 12:26 WIB
Haripinto1.jpg Honda-Batam
Anggota Komite IV DPD RI Haripinto Tanuwidjaja, Senator asal Provinsi Kepulauan Riau (Foto : Dok Pribadi Haripinto Tanuwidjaja)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ribuan nelayan budidaya di Kepulauan Riau (Kepri), terutama di Kabupaten Kepulauan Anambas, Natuna dan Bintan saat ini kesulitan memasarkan Ikan kerapu hasil budidaya akibat peraturan Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP) yang melarang ekspor ikan menggunakan kapal pengangkut ikan milik asing. 

Senator Haripinto Tanuwidjaja, Anggota Komite IV DPD RI meminta agar peraturan tersebut dicabut saat membacakan Laporan Kegiatan Anggota DPD RI di daerah pemilihan Provinsi Kepri pada 18 Maret-10 April 2016 di Rapat Paripurna DPD, Senin 11 April 2016 lalu.

"Padahal pasar terbesar ikan kerapu hidup ada di Hong Kong, dan sebelum adanya kebijakan baru ini, ekpor sudah berjalan dengan baik selama puluhan tahun, dengan menaati seluruh ketentuan yang ada serta memenuhi kewajiban membayar pajak/pungutan perikanan yang berlaku. Kami berharap KKP dapat mengevaluasi kembali kebijakan yang ada saat ini. Jangan sampai kebijakan yang maksud dan tujuannya baik ini, yakni untuk melindungi kepentingan nelayan/pelaku ekonomi kecil, justru pada kenyataannya malah justru semakin menyulitkan dan membunuh mata pencaharian mereka," kata Haripinto.

Seperti diketahui, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya  Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP) tidak lagi memberikan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) Hidup Hasil Pembudidayaan berbendera asing bagi permohonan baru maupun perpanjangan.



Keputusan tersebut dengan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto Nomor 721/DPB/PB.510.S4/II/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hasil Pembudidayaan Berbendera Asing (SIKPI-A), yang diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2016. 

"Yang sudah masa (berlakunya) habis, ya habis. Yang SIKPI-nya masih berlaku, kita juga hentikan," kata Slamet di Jakarta, Kamis (31/3/2016) lalu

Penghentian penerbitan SIKPI-A tersebut kata Slamet bertujuan untuk mengatur dan mengevaluasi kembali apakah kapal-kapal pengangkut ikan hasil pembudidayaan lokal sudah bisa menggantikan pemain asing dan melakukan ekspor secara mandiri. 

"Jadi tujuan kita semata-mata adalah agar bisnis atau usaha di perikanan budidaya khususnya ikan hidup ini bisa dinikmati oleh kita sendiri, secara mandiri ke depan. Ekspor yang melakukan orang Indonesia, galangan kapal tumbuh. Tidak banyak broker, sehingga harganya bisa tinggi bagi pembudidaya," ucap Slamet.

Awalnya, melalui SE Nomor 6672/DPB/TU.210.D5/XI/2014, yang dikeluarkan tanggal 28 November 2014, diberlakukan moratorium SIKPI di Bidang Pembudidayaan Ikan.

Slamet menuturkan, penerbitan SE tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri KP Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Moratorium Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI. "Kenapa ini dari perikanan tangkap larinya ke perikanan budidaya? Karena sebetulnya yang ingin ditertibkan juga adalah kapal-kapalnya," kata Slamet.

Akan tetapi, dengan alasan memberikan kesempatan bagi pelaku usaha lokal untuk mempersiapkan diri mengekspor sendiri hasil pembudidayaannya, akhirnya diterbitkanlah SE Nomor 66/DPB/TU.210.D5/I/2015 tentang Pencabutan SE Nomor 6672/DPB/TU.210.D5/XI/2014. Surat Edaran itu dikeluarkan pada 7 Januari 2015.

Tiga pekan berselang, usai pencabutan moratorium SIKPI-A, DJPB KKP kembali mengeluarkan surat edaran Nomor 721/DPB/PB.510.S4/II/2016. 

Salah satu poin pada beleid itu adalah DJPB tidak lagi menerbitkan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Hidup Hasil Pembudidayaan berbendera asing bagi permohonan baru maupun perpanjangan.

Haripinto menegaskan, pembelian ikan budidaya seperti ikan Kerapu oleh para eksportir Hongkong sudah melalui pemeriksaan aparat TNI AL, Polair, Bea Cukai, KKP dan Karantina, termasuk juga membayar pajak perikanan. 

"Semua dilakukan secara legal, bukan mencuri sudah dilakukan pemeriksaan ada buktinya. Kalau ada kekuatiran bawa narkoba dan lain-lain kan diperiksa aparat. Kenapa dilarang, ini yang kita sayangkan," katanya.

Menurutnya, Hongkong adalah pasar terbesar ekspor ikan budidaya asal Kepri karena mereka suka makan ikan mentah. "Hongkong itu pasar terbesar, orang Hongkong suka makan ikan hidup. Ikan itu diangkut hidup-hidup ke Hongkong," katanya.

Jika pemerintah melarang kapal asing dari Hongkong membeli langsung ke nelayan di Kepri, maka yang akan diuntungkan adalah Singapura dan Malaysia. 

"Kalau ikan budidaya dibawa ke Batam, lalu ke Singapura dan Malaysia. Mereka yang akan jual ke Hongkong, nelayan kita yang dirugikan," katanya.



Harusnya pemerintah tidak menutup larangan ekspor, padahal hal itu mudah dikontrol dan sudah melalui pengawasan yang ketat. Karena itu, jangan membuat kebijakan yang mempersulit dan mematikan mata pencaharian masyarakat.

"Sekarang karena ikannya tidak ada yang beli, mereka mau kasih makan ikan-ikan di karamba pakai apa? Kita minta minta aturan itu dicabut, jangan mempersulit dan mematikan pembudidaya ikan," katanya.

Senator asal Provinsi Kepri ini menilai pemerintah tidak akan bisa membuka ekspor langsung ikan budidaya ke luar negeri, karena harus memiliki jaringan, memperhitungkan resiko dagang dan harus memiliki kapal sendiri.

"Kapal ikan asing yang beli ikan budiadaya tak lebih dari sepuluh yang masuk, itu kapal besar. Itu pembelian ikannya difokuskan ditititik seperti di Sedanau (Natuna), Anamabas dan Bintan. Semua diperiksa disitu oleh aparat, dan bayar pajak," katanya.

Haripinto menambahkan, kebijakan tersebut dianggap berlebihan karena dinilai mematikan usaha pembudidaya ikan budidaya dalam meningkatkan taraf hidupnya. 

Kebijakan itu, justru bisa menguntungkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, karena mereka yang akan mengambil keuntungan menguasai pasar ekspor ikan budidaya ke Hongkong. 

"Karena semua akan dikirim ke Singapura dan Malaysia, kemudian mereka ekspor ke Hongkong. Kalau sekarang eksportirnya langsung dari Hongkong yang datang membeli dengan harga mahal dalam keadaan hidup. Membawa ikan budidaya dalam keadaan hidup ke Hongkong itu risiko," katanya.

Editor: Surya