Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Selamat Bekerja Setelah Diresmikan Struktur DK dan BP Batam yang Membawa Harapan Baru
Oleh : Opini
Kamis | 31-03-2016 | 14:44 WIB

Oleh Ampuan Situmeang

SUDAH hampir sepuluh tahun, konsep Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB)/Free Trade Zone (FTZ) tidak dapat dilaksanakan di Batam, khususnya transhipment yang tidak pernah dilaksanakan. Bahkan, beberapa regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat justru membelenggu, kalau tidak mau disebut sebagai tindakan mengubur hidup-hidup konsep FTZ itu sendiri, yakni sebagai kawasan yang terpisah dari daerah pabean sehingga tidak dipungut PPN, PPn-BM, dan Cukai.

Sulit dihindari inkonsistensi pengembangan Batam sejak diawali sebagai proyek yang berbasis pada logistik dan operasional bagi usaha-usaha yang berhubungan dengan eksplorasi & eksploitasi minyak lepas pantai, kemudian menjadi daerah industri, bonded zone, dll. Selalu berubah, dan selalu juga membawa harapan baru.

Namun, masa depan pengembangan Batam tidak terlepas dari fasilitas yang harus selalu menjadi perhatian pusat untuk memudahkan pengusaha dalam berinvestasi, bukan sebaliknya. Zaman juga sudah berubah. Dunia juga sudah berubah. Negara tetangga juga sudah merubah diri. Mudah-mudahan perubahan yang dilakukan untuk Batam selaras dengan perubahan yang terjadi dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah dalam terlaksana.

Struktur DK dan BP Batam yang baru, dengan bobot dan kualifikasi yang mumpuni. Tidak ada yang meragukan kepiawaian struktur itu di bidangnya masing-masing, termasuk tim tehnisnya. Malahan justru berlebihan untuk penyelesaian persoalan sengkarut dualisme kewenangan di Batam --yang sebetulnya hanya sengaja dibesar-besarkan tanpa niat dari pelaku birokrasi itu sendiri untuk melakukan kerjasama dan koordinasi yang terpadu.

Malah sebaliknya, saling lempar tanggung jawab dengan kondisi Batam yang semakin tidak memiliki daya tarik serta daya saing. Saling menjelek-jelekkan, apalagi menyangkut perebutan kewenangan terhadap lahan yang erat kaitannya dengan tata ruang untuk popularitas sesaat. Maka, struktur baru lembaga tersebut tidak lantas membuat investor berduyun-duyun masuk ke Batam.

Tanpa ada pengaturan pemilahan dan kerjasama dalam hubungan tugas kewenangan di bidang pemerintahan ini, maka selama itu pula masalah Batam tidak akan pernah bisa terselesaikan. Ini bukan soal pesimistis, ini realistis.

Sebab, pertama, bagaimana mungkin mencampuradukkan tugas BP Batam yang seharusnya hanya berfungsi tempat untuk mengembangkan usaha-usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, perbankan, asuransi, pariwisata dan bidang lainnya (bandingkan dengan pasal 9 UU KPBPB/FTZ). Sekali lagi, hanya tempat untuk mengembangkan.

Sedangkan BP Batam lebih dari itu tugasnya, yaitu ditambahkan dengan peralihan tugas-tugas dari OB (Otorita Batam). Sehingga PP 46, khususnya pasal 4 tetang KPBPB Batam, mutlak butuh perbaikan dan penyelarasan serta harmonisasi.

Kedua, Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh UU 53/1999 yang membentuk Batam sebagai otonomi daerah, pasal 21, mutlak dipertimbangkan perlu realisasinya agar ada pemilahan dan pemilihan yang mana tugas OB yang sudah beralih menjadi BP Batam, yang mana tugas konkuren yang dapat didelegasikan atau dilimpahkan menjadi kewenangan BP Batam. Serta bagaimana pengaturan anggarannya dan pertanggungjawabannya, dan penanganan masalah yang potensial bersinggungan dengan penanganan kehidupan kemasyarakatan secara langsung. Karena BP Batam tidak berfungsi untuk menangani masalah kemasyarakatan, tetapi BP Batam ada nyata langsung di tengah-tengah kemasyarakatan itu.

Ketiga, mekanisme kerja DK dan BP Batam tidak boleh lagi mengikuti gaya lama. Karena selama ini tugas BP Batam hanya tugas-tugas peralihan dari OB, baik anggarannya dan pengawasannya juga tidak langsung diawasi oleh DK, melainkan hanya numpang lewat untuk diteruskan ke Menteri Keuangan. Dan mitra kerjanyapun hanya Komisi VI DPR-RI. Bagaimana dengan DPRD Provinsi Kepri dan Kota Batam, apakah terus masih tidak diikutsertakan? Ini mutlak harus menjadi perhatian dan perombakan total.

Sebab-sebab yang diuraikan di atas, hanya sebagian kecil dari sebab-sebab lainnya yang dapat memicu munculnya kepastian hukum berinvestasi di Batam. Jika itu diperhatikan dan diperbaiki langsung, maka bobot dari personaliti struktur DK serta tim tehnis dan BP Batam dapat berguna dan membawa harapan baru bagi pengembangan Batam ke depan. Dan kalau tidak, akan sulit harapan baru terwujud. Selamat bekerja bagi struktur baru lembaga DK dan BP Batam.

Kalau disimak butir menimbang dari Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 2016 tentang pengangkatan pengurus baru DK Batam, jelas tertulis yaitu untuk kesinambungan dan efektifitas pelaksanaan FTZ di Batam maka diganti ketua, wakil ketua dan anggota DK FTZ itu. Bukan untuk menggantinya menjadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), sekalipun tidak tertutup kemungkinan ke arah itu.

Dan Batam juga bukan anti terhadap KEK. Kalaupun sudah pernah diterapkan di Batam, namun bukan berdasarkan UU KEK No. 39 tahun 2009, sehingga ranah dan substansi kebijakannya bisa saja lebih atraktif dan inovatif.

Namun, hingga saat ini belum ada muncul ke publik visi dan misi dari konsep pusat untuk menyelesaikan sengkarut dualisme dan tumpang tindih yang ditengarai di Batam. Yang muncul adalah, kegaduhan penggantian konsep FTZ menjadi KEK, yang undang-undangnya beda dan fungsinya juga beda. Dampaknya juga beda. Dan kedua konsep ini tidak dapat serta merta dapat menyelesaikan sengkarut masalah yang selalu dikedepankan selama ini.

Karena sebagai pemerintah daerah dengan konsep otonomi daerah, maka otoritas pemerintahan hanya ada di tangan pemerintah daerah, bukan ada di DK dan atau BP Batam. Sehingga dengan struktur yang dimunculkan sekarang, dualisme kewenangan di Batam malah justru dipertegas dan lebih nampak jelas Pemko semakin termarginalkan. Menjadi samar, bahkan nyaris tak jelas di mana letak otonomi daerah, baik itu di Provinsi Kepri maupun di Kota Batam.

Begitu juga sengkarut masalah pelaksanaan konsep FTZ di Karimun, Bintan, serta sebagian di Tanjungpinang yang enclave (batasnya tertentu), ketua dan anggotanya masih tetap seperti yang dulu yaitu diketuai oleh Gubernur Provinsi Kepri. Maka tampak betul terjadinya perbedaan perlakuan pusat, dan tentunya ini tidak baik bagi pengembangan daerah Provinsi Kepri ke depan, yang seolah luput dari perhatian semua pihak dan terkesan terabaikan.

Sehingga Gubernur Provinsi Kepri perlu menunjukkan pengalamannya untuk menghidupkan dan melaksanakan KPBPB di Karimun, Bintan, dan TPI. Karena pada tahun 2017 struktur kelembagaan DK di ketiga daerah tersebut juga pada gilirannya akan diganti, sehigga perlu menghimpun potensi untuk membenahi pelaksanaannya sebagai salah satu dampak dari perubahan kebijakan yang telah di realisasikan di FTZ Batam.

Semoga struktur yang baru dari DK dan BP Batam dapat disambut oleh semua pihak, serta didukung oleh semua potensi yang ada di Provinsi Kepri, khususnya di Batam. Supaya kesempatan ini dapat membawa perubahan mendasar yang membawa harapan bagi pertumbuhan pembangunan di kawasan strategis nasional yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yang memungkinkan juga sekaligus melakukan persaingan yang menumbuhkan kedua belah pihak.

Penulis adalah Praktisi dan Peneliti Hukum, berdomisili di Batam