Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perlukah Kewenangan BIN Ditambah
Oleh : Opini
Rabu | 16-03-2016 | 11:11 WIB

Oleh: Andreawati*

UNDANG-UNDANG Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ada saat ini diilai tidak berbanding lurus dengan meluasnya aksi dan jaringan terorisme yang terjadi, pasca-serangan teroris di Plasa Sarinah jalan Thamrin Jakarta, aparat kepolisian dari Densus 88 telah melakukan penangkapan di sejumlah daerah terkait dengan peristiwa tersebut.

Dalam penangkapan yang dilakukan di berbagai daerah baik di Pulau Jawa maupun  Kalimantan dan Bima NTB, aparat juga berhasil menyita amunisi serta senjata api. Umumnya mereka yang ditangkap memiliki hubungan dengan Bahrun Naim, warga negara Indonesia yang sudah bergabung dengan ISIS di Suriah sejak 2012.

Mengingat UU Terorisme yang ada sekarang masih membatasai ruang gerak aparat keamanan, Pemerintah sepakat memperkuat aturan melawan terorisme sebagai langkah meredam kreativitas pelaku terorisme. Pemerintah merasa apa yang sudah berlaku saat ini relatif sudah berjalan cukup baik, tetapi karena perkembangan ekstrimisme, dan radikalisme dunia maka perbaikan aturan tersebut diperlukan dan momen serangan di Plasa Sarinah pun dijadikan sebagai awal perubahan dimaksud.

Terdapat tiga pilihan dalam penguatan aturan antiterorisme itu, yakni merevisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau menerbitkan Undang-undang baru.

Dari ketig pilihan diatas, akhirnya pemerintah dan dewan sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, dan bukan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang karena beberapa alasan. Akan terjadi perdebatan hangat kalau Perppu karena tidak terdapat kegentingan yang memaksa dan jika Perppu tersebut ditolak DPR maka langsung batal semua, sementara itu  jika dilakukan revisi masih ada ruang untuk berdialog dengan parlemen.

Beberapa poin yang diusulkan untuk direvisi, adalah pencabutan status kewarganegaraan dan paspor bagi WNI yang pernah mengikuti latihan terorisme, penambahan masa penahanan selama masa penyelidikan atau penyidikan serta  pemberian persetujuan alat bukti terkait dengan terorisme yang semula harus diberikan ketua pengadilan negeri menjadi oleh atasan.

Namun menjadi polemik ketika Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso meminta agar dalam revisi tersebut juga dimasukan tambahan kewenangan kepada institusi telik sandi tersebut untuk bisa memanggil terduga teroris, separatis dan radikal diperiksa guna mendapatkan tambahan informasi.

Bang Yos meminta agar BIN  diberi tambahan kewenangan untu bisa menangkap teroris, namun  usulan ini langsung ditolak berbagai lembaga yang konsen terhadap isu HAM, toleransi dan demokrasi. Mereka khawatir dengan tembahan kewenangan itu maka proses demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia akan mengalami kemunduran termasuk dalam hal penegakkan hukum yang berkeadilan.  

Mereka juga menilai kewenangan itu melanggar hak-hak sipil terkait upaya menghalangi hak-hak  tahanan untuk mendapatkan kunjungan dari penasehat hukum, anggota keluarga, dan pihak ketiga lain yang memiliki kepentingan. KontraS juga menyoroti potensi praktik interogasi hitam oleh BIN karena lembaga tersebut selalu merahasiakan seluruh upaya, pekerjaaan, kegiatan, sasaran maupun informasi yang berkaitan dengan fungsi dan aktivitas intelijen.

Namun nampaknya terjadi kesalahan persepsi  pemerintah dalama hal ini Kemenpolhukam dan Kemenhukum dan HAM, DPR serta beberapa LSM, ternyata Kepala BIN bukan meminta kewenangan untuk menangkap seperti polisi, namun hanya memanggil untuk mendalami sebuah informasi yang dimiliki BIN. 

Sementara itu, di sisi lain publik menilai momentum revisi UU anti terorisme sejatinya hanya digunakan untuk mempertegas fungsi koordinasi antar institusi pemerintah. Publik melihat dalam pelaksanaan penanggulangan terorisme selama ini, masing-masing institusi berjalan sendiri-sendiri dan bahkan menunjukkan miskoordinasi padahal semua intitusi harus menghilangkan ego sektoral masing-masing. Kedepan koordinasi antara BIN dan Polri perlu dioptimalkan, jangan lagi ada BIN mencari informasi tetapi polisi juga menangkap teroris berdasarkan informasinya sendiri sehingga BIN jadi seperti tidak dianggap.

Permintaan tambahan kewenangan tersebut nampaknya sulit dikabulkan mengingat dalam rapat kerja gabungan  pemerintah dengan Komisi Pertahanan dan Komisi Hukum DPR mengenai penanggulangan terorisme, kewenangan  tambahan itu sama sekali tidak dibahas. Pemerintah tidak memasukan tambahan kewenangan BIN itu dalam draf revisi UU Terorisme sehingga kecil kemungkinan hal itu diberikan.

Namun sebaiknya permintaan tambahan kewenangan kepada BIN  itu dipirkan dan dibicarakan oleh panitia khusus yang akan dibentuk Komisi I dan Komisi III DPR RI. Tambahan kewenangan itu akan didiskusikan  terlebih dahulu antara Komisi I DPR dengan BIN agar ada batasan yang jelas sehingga nantinya tidak berpotensi pada penyalahgunaan kewenangan  adan masuk ke wilayah pro-yusticia, supaya tidak bertabrakan dengan Polri.

Perlu dibahas secara detil tentang koridor kewenangan BIN agar nanti tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan atau bentrok dengan institusi lain. Kewenangan  untuk memanggil dan memeriksa terduga teroris sangat diperlukan untuk menunjang kinerja intelijen, lagi pula kewenangan tambahan yang akan dimiliki BIN berbeda dengan tindakan kepolisian. 

*) Penulis adalah pengamat politik tinggal di Jakarta.