Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Agenda Tertutup Pendukung Separatis Papua
Oleh : Opini
Jum'at | 22-01-2016 | 08:45 WIB

Oleh: Andrian Kumolo*

KELOMPOK gerakan separatis Papua sering memberikan pernyataan yang tidak benar kepada dunia Intornasional. Mereka mempolitisasi dan internasionlisasiisu pelanggaran HAM dan genosida serta menganggap bahwa Indonesia telah mengokupasi wilayah Papua secara ilegal. Padahal fakta yang terjadi di Papua adalah banyaknya tindakan kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompok separatis untuk mencapai tujuan mereka, bahkan membahayakan nyawa aparat dan masyarakat setempat.

Menurut sejarahpun Irian Barat resmi menjadi bagian dari pemerintah Republik Indonesia setelah diadakannya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hasil Pepera pada 1 Mei 1963  menunjukkan keinginan rakyat Irian Barat untuk bergabung dengan NKRI. Keabsahan Pepera juga diakui dunia dengan keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969.

Isu-isu tersebut juga dibenarkan oleh beberapa jurnalis asing dan organisasi non pemerintah (NGO). Namun pembelaan yang dilakukan oleh mereka adalah agenda terselebung untuk mengangkat isu HAM Papua ke masyarakat Internasional.Pola kerja yang ditunjukkan oleh mereka adalah dengan menuntut pemerintah membuka pintu bagi jurnalis asing untuk meliput di Papua.

Hal tersebut justru sering dimanfaatkan kelompok-kelompok pendukung gerakan Papua merdeka untuk memainkan isu-isu yang mendiskreditkan Pemerintah Indonesia. Contohnya saja kebakaran hutan yang terjadi di Papua. Melalui situs freewestpapua.org, mereka mengkalim bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Irian Barat (Papua) adalah kesalahan pemerintah Indonesia sehingga menyebabkan masalah kesehatan di Papua New Guinea. Pemerintah dituding tidak menghargai tanah dan orang asli Papua serta hanya ingin mengeksploitasi sumber daya alam Papua.

Pernyataan mereka tidak berdasar serta menuding tanpa fakta yang jelas dan akurat. Pelaku pembakaran belum diketahui dengan jelas. Namun dengan hanya melihat pencitraan satelit yang menunjukkan adanya kebakaran hutan di sejumlah wilayah Papua, mereka langsung menuding pemerintah yang melakukannya. Jelas bahwa kelompok ini sangat ingin memecah Papua dari NKRI.  Pernyataan yang dikeluarkannya justru mengandung unsur-unsur kebencian yang tidak objektif. Bahkan dikait-kaitkan dengan masalah lainnya.

Tuding Pembatasan Pers dan NGO di Papua
Saat ini juga banyak tudingan muncul bahwa jurnalis asing maupun  NGO asing dilarang ke Papua.  Tuduhan tersebut juga disampaikan oleh kelompok separatis papua. Melalui berita yang direleasse oleh CNN, Indonesia telah menutup beberapa kantor NGO internasional dan meninggalkan Papua hingga akhir tahun 2015. Hal tersebut ditanggapi oleh Pemimpin Kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda bahwa penutupan NGO di papua agar pelanggaran HAM yang terjadi di Papua tidak terungkap.

Menurut Human Right Watch, nasib para aktivis LSM Internasional tak jauh berbeda dengan jurnalis asing yang bekerja di Papua. Kehadiran mereka mendapat pengawasan ketat karena dikhawatirkan menyusupkan kepentingan yang berpotensi mengganggu stabilitas keamananan nasional. "Wacana penutupan sebenarnya sudah lama, bahkan sudah dilakukan terhadap beberapa LSM Internasional yang ada di Papua," ujar aktivis Human Right Watch Andreas Harsono kepada CNN Indonesia. Sejumlah LSM Internasional yang telah lebih dulu menutup operasinya di Papua antara lain Catholic Organisation for Relief and Development Aid (CORDAID) pada 2010 dan Peace Brigades International (PBI) pada 2011.

Keterbatasan asing di Papua merupakan aturan hal yang wajar. Selama ini, cukup banyak LSM asing dan jurnalis asing yang datang ke Papua justru untuk memprovokasi terjadinya tindakan separatis. Bukan mengkritisi dan mengajak masyarakat Papua untuk ikut bantu membangun negeri serta menyampaikan pendapat secara santun.

Kebebasan Pers di Papua juga telah dijamin oleh Presiden Jokowi
Sebelumnya, pemerintah memberlakukan izin khusus meliput atau aktivitas jurnalistik lain di Papua. Peraturan ini telah berlangsung sejak lama. Kondisi serupa juga pernah diberlakukan pada Provinsi Timor Timur yang saat ini telah berdiri menjadi negara sendiri bernama Timor Leste. Kepolisian menegaskan telah patuh terhadap perintah Presiden Jokowi untuk menghormati kebebasan pers di Papua. Memang yang harus diwaspadai di balik kebebasan ini adalah adanya upaya asing untuk memisahkan Papua dari NKRI.

*) Penulis adalah Pengamat Sosial Politik