Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perlukah Kewenangan BIN Ditambah
Oleh : Opini
Kamis | 21-01-2016 | 10:18 WIB

Oleh: Toas H*

PASCA-serangan tembakan dan bom di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/1/2016), muncul desakan agar pemerintah dan DPR merevisi Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme.

Pihak yang mendesak revisi berpendapat bahwa Undang-undang tersebut tidak memberikan ruang bagi intelijen dan penegak hukum melakukan tindakan apabila sudah ditemukan indikasi kuat seseorang melakukan kegiatan terorisme.

Rencana ini menimbulkan pro dan kontra. Kelompok yang pro menilai negara harus lebih tegas terhadap kelompok teroris, namun kelompok yang kontra mengingatkan agar Pemerintah berhati-hati sebelum memutuskan untuk merevisi UU Terorisme.

Menyusul adanya rencana revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Terorisme, muncul wacana penambahan kewenangan untuk BIN. Institusi itu disebut-sebut akan mendapat kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap terduga teroris.

Kelompok yang kontra sudah memvonis bahwa penambahan kewenangan kepada BIN dikhawatirkan akan kembali ke zaman otoritarianisme. BIN dapat langsung menciduk para terduga teroris. Bisa menyalahi HAM, padahal di situ masih pakai KUHAP di mana ada asas praduga tak bersalah.

Menurut pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya khawatir bila salah satu lembaga diberi kewenangan menindak, BIN misalnya, maka akan kembali kepada rezim otoritarianisme. Oleh karena itu proses revisi undang-undang tersebut haruslah transparan.

Komnas HAM melalui Maneger Nasution menilai revisi UU bukan untuk memberikan kewenangan bagi intelijen melakukan penangkapan. Bukan berarti intelijen memiliki kekuatan menjadi penegak hukum. Karena penegak hukum tetap dalam koordinasi Polri. Pemerintah harus menyediakan cukup ruang dan waktu untuk menyerap serta mendengar aspirasi publik. Ada beberapa prinsip pokok sekiranya dilakukan revisi UU nomor 15 tahun 2003 agar pemberantasan tindak pidana terorisme tidak menjadi kontraproduktif.

Maneger memberikan beberapa masukan yang perlu diatur secara lebih detail dalam Revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan terukur untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sehingga operasi di lapangan betul-betul terukur dan publik pun diberi ruang untuk bisa menilai independensi dan profesionalitas aparat kepolisian.

Kedua, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, maka diperlukan rehabilitasi. Aparat penegak hukum berkewajiban meminta maaf kepada keluarga korban salah sasaran penindakan dan kepada publik serta dibarengi dengan melakukan rehabilitasi secara terbuka. Caranya, negara memberikan ganti untung yang laik terhadap korban salah sasaran penindakan penegak hukum.

Ketiga, memberikan kewenangan terukur terhadap pihak kepolisian untuk dapat menangkap atau menahan terhadap terduga teroris atau kombatan yang berasal dari sejumlah daerah konflik. Indikasinya, untuk kombatan luar negeri misalnya, bisa dilihat dari rekam jejak perjalanan orang tersebut di Kementerian Luar Negeri. Orang tersebut bisa dimintai keterangan terlebih dahulu. Jika dianggap sudah clear baru bisa dilepas. Langkah ini dipandang sebagai upaya pencegahan adanya penyebaran ideologi radikal dan kemungkinan perekrutan anggota baru.

Keempat, penegasan terkait kerja dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selama ini, kerja BNPT dinilai campur aduk antara pengambil kebijakan, supervisi, dan operasional. Kendati begitu, pemerintah harus menegaskan klasifikasi ancaman keamanan nasional dan pihak-pihak yang melakukan tindakan atas ancaman tersebut. Harus ditegaskan mana-mana yang masuk dalam kategori ancaman yang mengganggu keamanan nasional, sehingga nanti bisa ditentukan pihak mana yang melakukan penindakan. Namun, semangat dari revisi UU ini harus tetap mengedepakan upaya law enforcement dan penghormatan terhadap HAM. Artinya leading sector-nya adalah pihak kepolisian.

Kelima, pengaturan anggaran melalui APBN. Artinya pembiayaan personil dan operasi penanganan terorisme oleh BNPT dan Polri-Densus 88 hanya oleh APBN. Sehingga rakyat melalui DPR dan lembaga negara pengawas lainnya memiliki ruang untuk mengawasi independensi dan profesionalitas BNPT dan Polri-Densus 88 dalam penanganan terorisme. Dengan demikian kinerja BNPT dan Polri-Densus 88 itu terkontrol. Ini untuk kepentingan kedaulatan hukum Indonesia.

Ketua DPR Ade Komarudin menyetujui usulan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. DPR sudah menggelar rapat khusus membahas revisi UU Terorisme. Namun DPR memiliki sejumlah masukan yang harus jadi catatan dalam revisi UU nantinya. Pemerintah diminta lebih dulu mengeluarkan Perppu karena revisi UU memakan waktu cukup lama.

Terkait dengan rencana untuk merevisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme yang juga dibahas dalam pertemuan itu. Peran serta perangkat di daerah sangat diperlukan. Menurutnya, masalah ini belum tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 itu. Peran serta masyarakat seperti apa dalam UU belum tertampung, orang yang permufakatan jahat orang runding permufakatan jahat mau bom itu belum ada dalam UU ini. Kemudian penindakan itu 1x24 jam dirasa kurang juga perlu, ancaman hukumannya rendah bisa ditambah maksimal.

Dalam revisi UU Terorisme itu seharusnya lebih mengedepankan pada langkah-langkah agar tindakan teror bisa dicegah. Seperti koordinasi antar institusi yang terlibat dalam penanganan teror.

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyatakan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu diperbaharui sesuai kondisi terkini. Namun revisi UU ini ditegaskan Gatot menjadi ranah kewenangan pemerintah.

Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan tak sependapat dengan usulan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso yang meminta BIN diberi kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terkait penanggulangan masalah terorisme.

Kewenangan BIN Perlu Ditambah
Kalau rakyat dan negara ini sudah sepakat semua bahwa terorisme adalah extra ordinary crimes, maka seharusnya negara hadir secara lebih tegas dalam menyatakan perang menghadapi terorisme. Kesigapan Presiden Jokowi yang memerintahkan revisi UU Terorisme sepatutnya tidak disikapi dengan pendapat pro dan kontra, karena hal tersebut sudah merupakan perintah lisan kepala negara untuk dipatuhi semua.

Pemerhati masalah terorisme yang juga alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia, Erlangga Pratama menilai usulan Kepala BIN Sutiyoso agar institusinya diberikan kewenangan lebih yaitu penangkapan dan penahanan terkait penanggulangan masalah terorisme patut mendapatkan atensi dari berbagai kalangan dan tidak ada salahnya dalam revisi UU Terorisme memang kewenangan BIN perlu ditambah.

Alasan penambahan tersebut disebabkan karena era demokratisasi dan HAM sering dijadikan tameng bagi kelompok teroris untuk mengembangkan organisasi dan jejaringnya melalui kegiatan tertutup atau tercover bahkan terbuka, karena mereka menilai di era HAM dan demokrasi negara akan disalahkan jika melarang sebuah organisasi berkembang.

Disamping itu, selama ini aparat intelijen walaupun mengetahui kegiatan membahayakan kelompok teroris, tidak dapat melakukan penindakan karena payung hukumnya tidak kuat, sehingga yang bisa diupayakan antara lain menggalang masyarakat untuk tidak terpengaruh kelompok teror ataupun melakukan kegiatan cipta opini dan cipta kondisi.

Alasan lainnya, secara tidak sengaja sebenarnya dalam tataran hukum dan koordinasi di Indonesia juga berpotensi menimbulkan celah hukum yang berimplikasi munculnya security gap yang dimanfaatkan kelompok teror untuk menyerang kita.

Polisi selama ini bertindak berdasarkan fatsun hukum yaitu baru menindak setelah terjadi kegiatan kriminal, sedangkan intelijen bekerja berdasarkan indikasi, institusi dan laporan awal yang apabila ditemukan adanya bahaya terhadap keamanan nasional harus segera ditindak, namun tidak berdaya karena konstruksi hukum kita di era HAM dan reformasi telah mempersempit ruang gerak intelijen memerangi teroris.

Jika laporan kegiatan pra awal teroris diberikan kepada polisi, mereka juga tidak dapat langsung menangani selama tidak ada aktivitas pelanggaran hukum. “Coordination imbroglio and sectoral echoes conjures security gap. These condition makes terror groups have a chance to launching their attacks to us,” kata Erlangga Pratama.

Sekali lagi kewenangan BIN dalam revisi UU Terorisme harus ditambah, agar mengingat pendapat mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono yang sekarang menjadi anggota Wantimpres bahwa supaya BIN tidak seperti anjing herder yang diikat kakinya, sehingga hanya dapat menggonggong ketika pencuri memasuki rumah kita.

*) Penulis adalah peneliti di Galesong Institute dan LSISI Jakarta.